BAB 25 - Anak Kandung

1264 Words
Suatu pagi, udara begitu cerah dan hawa panas mulai merambat sampai ke dalam rumah. Biasanya aku tidak berkeringat sebelum pukul sepuluh, tapi ini baru pukul delapan dan aku merasa kegerahan. Aku yang sedang berada di ruang keluarga karena bibik sedang merapikan kamarku, berniat untuk mandi lagi saking kepanasan. Baru saja mengangkat tubuhku dari atas sofa, terdengar bel rumah berdentang. Sambil mengernyitkan dan berpikir siapa yang bertamu pagi-pagi seperti ini, rasa-rasanya aku tidak memiliki janji dengan siapapun. Setidaknya tidak di hari ini, di mana aku hanya ingin berdiam diri di dalam rumah saja seharian. Langkahku kubelokkan ke arah ruang tamu, dan membukakan pintu. Untuk sesaat aku mengingat-ingat sosok seorang wanita dewasa yang cantik antara pernah melihatnya tapi aku ragu-ragu. "Pagi … dengan siapa ya?" tanyaku akhirnya bertanya pada wanita itu. Wanita itu tidak segera menjawab, tapi ia tampak sibuk memperhatikanku dari atas ke bawah, kembali ke atas dengan seksama. Aku merasa risi diperhatikan secara berani seperti itu, bagiku terlalu tidak sopan. Bukankah dia yang bertamu? Di samping wanita itu berdiri seorang anak lelaki yang mungkin usianya baru lima tahun, wajah anak itu agak mengganggu hatiku karena aku merasa familiar. Ya, wajahnya mirip dengan mas Daffa. Apakah salah satu anggota keluarga mas Daffa yang belum pernah bertemu denganku? "Maaf, Anda siapa ya?" tanyaku lagi setelah beberapa saat hanya diperhatikan tanpa bicara apapun. "Boleh saya masuk?" Wanita itu malah balik bertanya. Melihat dari penampilan mereka yang bergaya dan berkelas, aku yakin kalau mereka bukanlah orang jahat, aku menggeserkan tubuhku memberi jalan tanpa melepaskan peganganku pada pintu. "Silakan," jawabku lalu menutup pintu karena serbuan udara panas dari luar, membuatku merasa terganggu. Wanita itu menuntun anak kecil masuk ke dalam ruangan lalu duduk di kursi tamu tanpa menunggu dipersilakan. Aku semakin merasa aneh dengan tamu tersebut. "Mau ada keperluan sama siapa ya?" tanyaku lagi. Lagi-lagi aku yang bertanya karena belum juga ada jawaban dari mulut wanita itu. Wanita yang cukup cantik meskipun aku yakin kalau aku jauh lebih cantik darinya. Hanya saja, wajah anak yang tampak polos itu mengganggu perasaanku. "Apa kamu tidak mengenali saya?" tanya wanita itu dengan tatapan heran. Aku menggelengkan kepalaku. Aku memang tidak mengenalnya meskipun perasaanku merasa yakin kalau pernah melihat sosoknya tapi entah di mana. "Poto yang menggantung di dinding sini, belum pernah lihat?" tanya wanita itu. Deg. Saat itulah aku sadar di mana pernah melihat wanita ini, rupanya dialah wanita yang membuat senyum kebahagiaan mengembang pada wajah mas Daffa di poto. Aku menelan salivaku sambil menatap lurus-lurus pada wanita itu. Lalu aku memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut. "Mantan istrinya mas Daffa, ada perlu apa datang ke sini?" "Jelas ada kepentingan yang urgent," ucapnya lalu menoleh pada anak lelaki itu. "Sayang, kamu masih ingat kamarmu di mana kan? Kamu ke kamar dulu gih, mama mau ada yang dibicarakan dengan tante ini." Aku merasa dilangkahi dengan keberanian wanita itu menyuruh anaknya masuk ke dalam kamar. Anak lelaki itu mengangguk lalu berdiri dan melangkah ke arah dalam diiringi tatapanku yang terheran-heran. Terdorong oleh rasa tidak suka atas sikap wanita itu, aku pun menoleh cepat padanya. "Cepat katakan, ada perlu apa?" "Saya akan segera pindah ke luar negeri dan sudah saatnya kalau ayah kandung Zaki mengambil tanggung jawab untuk mengurusnya," tegas wanita itu dalam duduk tegaknya. "Si-siapa ayah kandung Zaki? Zaki yang mana?" tanyaku tergagap karena tiba-tiba saja merasa kebingungan. "Zaki, anak kami yang barusan ke kamar, ayah kandungnya tentu saja Daffa," sahut wanita itu dengan rona wajah keheranan. "Tidak mungkin, anak yang bersama kalian adalah anak adopsi dari saudara Anda. Bukan anak kandung mas Daffa," ucapku meralat pembicaraan wanita itu. Dalam sekejap, wajah wanita itu menggelap dan terlihat kalau tubuhnya bergetar. Ia tampak marah sekali hingga membuatku semakin merasa kebingungan. "Jangan sembarangan kalau bicara ya! Kami, aku dan Daffa, tidak pernah mengadopsi siapapun! Kenyataannya aku mulai hamil tepat di bulan kedua pernikahan kami. Zaki adalah darah daging kami berdua! Siapa yang tega mengatakan kalau Zaki adalah anak adopsi?" Suara wanita itu berapi-api. Aku lebih mempercayai apa yang diucapkan mas Daffa ketimbang apa yang diucapkan wanita itu. Sambil menegakkan dudukku, aku pun menjawabnya, "Kalian mengadopsi seorang anak karena anak itu lahir dalam keadaan orang tuanya tidak sanggup menghidupinya, tapi jangan khawatir, anak adopsi pun tetap harus mendapatkan kehidupan yang layak dari ayah dan ibu yang mengadopsinya," tegasku sambil menatap kedua mata wanita itu lekat-lekat. Tiba-tiba saja, wanita itu berdiri dan tanpa kusadari gerakannya, ia menghampiriku lalu PLAK. Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Terang saja aku terkejut dan emosiku seketika terpancing dengan sangat hebat. Aku segera berdiri dan membalas tamparannya. PLAK! "Berani-beraninya kamu menamparku, hah? Kamu bisa saya laporkan ke polisi karena menyerang tuan rumah di sini!" Ancamku sambil melotot padanya. "Hah? Tuan rumah? Gak salah bicara kamu, heh? Kamu di sini cuma numpang, sadar gak kamu? Tahu gak rumah ini atas nama siapa? Dari dulu aku belum melepaskan hak milikku atas rumah ini! Asal kamu tahu ya, silakan melapor maka aku akan melaporkan balik kalau kamu tinggal di sini tanpa seizin yang punya rumah, yaitu aku!" teriak wanita itu. Seketika tubuhku terasa lemas dan aku pun terduduk tanpa sadar sambil berurai air mata. Aku tidak kesulitan mencerna ucapan wanita itu, tapi hal itu membuatku sangat terkejut dan syok berat. Untuk beberapa saat, aku tidak berpikir apa-apa, bahkan aku tidak lagi mendengar apa yang diucapkan wanita itu kepadaku, yang aku ingat bahwa telunjuknya mengacung-ngacung ke depan wajahku sambil satu tangan lagi berkacak pinggang. Entah berapa lama telingaku seakan berdengung hebat dan aku menyaksikan bagaimana wanita itu membuka pintu lalu memasukkan beberapa koper ke dalam rumah. Aku masih mematung di tempat dalam pandangan yang kabur karena tertutup oleh air mata. Justru di saat-saat terakhir, samar-samar aku mendengar teriakan wanita itu. "Suka tidak suka, Zaki harus bersama ayah kandungnya. Terima kasih!" Wanita itu pun segera berbalik meninggalkan beberapa koper di depan pintu dan yang jelas meninggalkan seorang anak lelaki yang mungkin saja, saat ini sedang berada di atas ranjang mobilnya di dalam kamar. Butuh waktu lama untukku sadar secara penuh dari keterpakuanku. Perlahan tanganku bergerak untuk menghapus air mataku dan saat itulah aku melihat ada setumpuk berkas di atas meja. Perlahan aku meraih berkas tersebut sambil menahan air mataku agar berhenti mengalir, sebab aku butuh melihat segala sesuatu dengan jelas. Berkas tersebut terbungkus map plastik tebal yang bagus, jujur saja, aku baru melihat sejenis map seperti itu. Resleting bagian atas kubuka, lalu aku mengeluarkan isinya. Satu per satu lembarannya aku buka, berkas tersebut terdiri dari beberapa lembar yang semuanya memiliki kop surat negara. Pertama kali yang aku lihat adalah surat kelahiran dari rumah sakit. Tertera di sana keterangan bahwa pada tanggal sekian tahun sekian, seorang wanita bernama Anisa Fatmawati telah melahirkan seorang putra yang diberi nama Zaki Putra Perdana dengan berat tubuh sekian dan tinggi badan sekian. Lengkap dengan dua cap telapak kaki yang kecil tertera pada kertas rumah sakit tersebut. Kemudian, lembar kedua adalah fotocopy surat permohonan akta lahir yang ditandatangani oleh Muhammad Daffa, pengurusan pengajuan melalui rumah sakit yang membantu persalinan Anisa. Lembar berikutnya sudah terlaminating adalah surat akta lahir autentik yang tidak terbantahkan. Jelas di sana tertera keterangan bahwa telah lahir seorang anak dari pasangan suami istri Anisa Fatmawati dan Muhammad Daffa, seorang anak lelaki serta keterangan lainnya. Aku pun merasa sangat jelas bahwa akta lahir bisa saja dikarang atau dibuat nama siapa pun bisa tercetak di sana, tapi surat keterangan dari rumah sakit bahwa Anisa Fatmawati telah melahirkan seorang anak di sana dengan operasi caesar jelaslah bukan sebuah kebohongan. Jika Anisa yang melahirkan sudah pasti mas Daffa adalah lelaki yang menghamilinya. Lalu, kenapa dengan gamblangnya mas Daffa tidak mengakui Zaki sebagai anak kandungnya? Kepalaku seketika berputar-putar dan aku pun kehilangan kesadaranku entah berapa lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD