Bab 3 Viral

1268 Words
Hanna telah lebih dulu melangkah keluar dari antrian tamu hingga tubuhnya berada di luar jangkauan tangan Sheila. Alhasil, karena bergerak dengan kekuatan penuh namun hanya meraih angin, Sheila terjerembab dengan sukses. Hanna hanya menoleh sekilas dan terus melanjutkan langkahnya menuruni tangga pelaminan. Dia mendengar u*****n dan kata-kata kotor Sheila dalam keributan di belakangnya. Namun dia tidak peduli. Dia tidak lagi terpengaruh dengan semua drama itu. Senyum menghiasi bibirnya saat dia melintasi ruangan besar itu dengan langkah lebar. "Hanna!" Pekikan kaget bercampur senang terdengar lalu tiba-tiba Hanna merasakan pelukan erat di tubuhnya. Dan bukan hanya satu orang, tapi ada beberapa orang yang ikut memeluknya dengan suara ribut. Ketika semua pelukan itu berakhir, Hanna menatap wajah-wajah itu satu per satu. Mereka adalah sahabat-sahabat SMAnya. Mereka pun melangkah keluar dari tempat itu sambil bercanda melepas rindu. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sampai di pintu utama, Hanna melihat sebuah mobil hitam dengan mesin menyala telah menunggunya. Dia pun segera berpamitan pada teman-temannya. "Wow! Lexus. Kamu sudah kaya raya rupanya, Han?" Seorang temannya menatap takjub. Hanna tertawa. "Tidak. Itu mobil bosku. Aku beruntung bisa bekerja sebagai pengurus rumah tangga di keluarga kaya raya." Hah? Teman-temannya melongo. Seorang lulusan terbaik dari Australia bekerja sebagai pengurus rumah tangga? Hanna kembali tertawa melihat ekspresi teman-temannya. "Sudah ya, teman-temanku sayang. Sampai ketemu lagi. Kabari aku via Wa untuk acara kita selanjutnya, ya." "Oke, Han. Hati-hati." Teman-temannya merelakannya pergi dengan enggan. Pengemudi berdiri di pintu samping kursi penumpang mengangguk hormat dan dengan sigap membuka pintu begitu gadis itu melangkah mendekat. Teman-temannya terperangah melihatnya. Hanna mengatakan kalau dia bekerja sebagai pengurus rumah tangga pemilik mobil mewah itu. Tapi anehnya, pengemudi mobil itu terlihat sangat menghormati Hanna. Adalah suatu hal yang luar biasa melihat hal seperti itu. Melihat teman-temannya yang saling bertukar pandang dengan ekspresi penasaran, Hanna segera naik dan duduk di kursi belakang supir. Dia lalu melambaikan tangannya kepada teman-temannya sambil tersenyum. Teman-temannya membalas lambaiannya dengan senyum lebar. Rasa penasaran mereka lenyap tersapu kegembiraan karena melihat sahabat mereka baik-baik saja. Bahkan Hanna mampu melakukan sesuatu yang luar biasa malam itu. Mereka yakin Edward dan Sheila tidak akan pernah melupakannya. Bibir Hanna masih menyunggingkan senyum bahkan setelah mobil itu telah meluncur dengan kecepatan sedang di jalan raya Manado yang ramai di malam minggu itu. Semua kegembiraan itu masih membekas jauh setelahnya. Hanna menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata sejenak. Dengan mata terpejam dia tersenyum puas. Misinya berhasil. Sheila dipermalukan oleh sikapnya sendiri. Dan dia pasti akan menyerang Edward karena telah mengundang dirinya. Padahal kesalahan Edward hanyalah mengkhianatinya. Edward tidak mengundangnya. Dia membawa undangan kakeknya hanya untuk memberikan sedikit hiburan di malam pengantin mereka. Dan kata-kata yang dia ucapkan yang mengundang interpretasi negatif itu baru terlintas saat dia melihat wajah Sheila yang penuh kemarahan dan terus mengucapkan kata-kata menghina. Itu bukan untuk menggambarkan perasaannya, tetapi hanya sekedar permainan kata-kata yang iseng dia ucapkan untuk mempermainkan Sheila. Perasaannya terhadap Edward sudah mati. Edward sendiri yang membunuh seluruh rasa cintanya. Ini adalah kisah cinta yang telah kandas, dan selalu ada luka yang ditimbulkan. Rasa sakit di dadanya masih terasa, tapi setidaknya sudah berkurang. Masih di perjalanan, Hanna terusik dengan notifikasi pesan yang tak henti-henti berbunyi. Dia meraih ponselnya dengan malas dan melihat teman-temannya begitu ramai di group. Rupanya media sosial sudah ramai dengan tayangan kejadian di pesta tadi. "Mantan pacar menghadiri pesta pernikahan, pengantin wanita mengamuk." Ada video gaya anggun Hanna yang memperlihatkan undangan di tangannya dan Sheila yang jatuh terjerembab sambil mengumpat dan meneriakkan kata-kata kotor. Ini benar-benar kejutan. Setelah itu ada banyak komentar dari netizen yang sebagian besar menghujat Sheila dan Edward. [Pengantin perempuannya mengerikan!] [Cuma pelakor yang bisa begini.] [Lakinya juga tidak beres. Mau-maunya sama perempuan mulut comberan.] [Aku padamu kakak mantan. Gayamu keren. Aku suka dan sukaaa..] [Beda kelas. Pengantin perempuannya seperti penghuni kebun binatang yang baru kabur.] [Hahahahahaha] Netizen sekarang semakin menakutkan. Hanna memutuskan untuk berhenti mengikuti komentar para netizen. Dia tidak berharap akan berkembang sejauh dan separah itu. Dia hanya ingin memberi pelajaran yang akan selalu Edward dan Sheila ingat di sepanjang hidup mereka. Kejadian itu menjadi viral karena semakin banyak dibagikan dan dikomentari oleh banyak orang. Lalu sebuah video lain muncul. Video itu memperlihatkan Hanna yang sedang masuk ke mobil jemputannya. Netizen pun kembali ramai. [Itu Lexus, kan?] [Wah, kakak mantan dijemput mobil mewah.] [Kakak mantan keren.] Komentar di media sosial semakin bertambah. Kebanyakan menghujat Sheila sebagai pelakor dan sebagian lagi menghujat Edward sebagai laki-laki tidak setia. Bahkan ada yang terang-terangan menyumpahi pasangan itu. Hanna tidak tahu apakah dia harus gembira atau prihatin untuk itu. Sheila benar-benar memalukan. Karakternya sangat buruk sejak dahulu dan sama sekali tidak ada perubahan. Dan itu perempuan yang Edward pilih menjadi istrinya, menjadi ibu bagi anak-anaknya nanti. Bibir Hanna mengerucut. Itu pilihan Edward. Pria itu, menendang dirinya hanya demi perempuan yang akan mempersulit hidupnya. Mengabaikan hati dan perasaannya. Mengingat apa yang telah dilakukan Edward, Hanna kembali merasakan tekanan yang membuat pelipisnya berdenyut-denyut. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Untunglah tak terlalu lama mereka sudah sampai di rumah. Apa yang disebut rumah itu adalah sebuah bangunan dua lantai yang sangat besar dengan arsitektur klasik bergaya Eropa yang dikelilingi taman yang luas. Melihat penampakan luarnya, bisa dibayangkan semewah apa dalamnya. Dan pemilik rumah itu sudah pasti bukan orang sembarangan. Rumah itu milik keluarga Samuel Maranta. Keluarga kaya raya yang sangat terkenal di kota Manado. Tidak ada pengusaha atau pebisnis yang tidak mengenal nama itu. Keluarga itu berada di puncak daftar keluarga terkaya di Kota Tinutuan dan sekitarnya. Hanna menekan bel pintu dan berdiri menunggu sambil bersandar di kusen pintu. Denyutan di pelipisnya semakin terasa. “Selamat malam, Non.” Senyum tante Rita, pelayan di rumah itu menyapa Hanna begitu pintu terbuka. “Selamat malam, Tante.” Hanna membalas sapaan itu sambil tersenyum. “Ada apa, Non? Wajah non Hanna pucat.” Tante Rita menatap Hanna kuatir. “Tidak apa-apa, Tante. Pasti karena kelelahan.” Hanna berkata tenang dan baru saja akan melanjutkan langkah menuju ke kamarnya ketika suara berat itu menyapa. “Hanna! Pestanya sudah selesai?” “Sudah, Opa.” “Bagaimana pestanya?” “Lumayan, Opa. Oh ya, aku mau tidur duluan ya, Opa. Kepalaku sakit.” “Kamu kelelahan. Pergilah istirahat dan tidak usah buru-buru bangun. Tidur yang lama biar sakit kepalamu sembuh.” “Iya, terima kasih, Opa.” Hanna terharu oleh perhatian kakek. Hanna segera masuk ke kamarnya dan menghempaskan tubuhnya di ranjangnya yang besar dan empuk. Semua sudah selesai. Edward sudah tidak menjadi bagian hidupnya lagi. Dan Hanna hanya akan mengingatnya sebagai pria palsu yang tidak berperasaan. [Edward akan menikah, Han. Dalam minggu ini. Tebak siapa calon istrinya? Sheila.] Berita buruk itu diterima Hanna pagi-pagi sekali. Saat itu dia sudah berada di lobby bandara Kingsford Smith Sydney untuk memulai perjalanannya pulang ke tanah air. Pulang ke Manado, kampung halamannya tercinta. Kebahagiaan yang sangat besar dia rasakan karena akan kembali bertemu dengan Edward kekasihnya. Semua rasa bahagia itu lenyap seketika karena berita buruk itu. Selama ini dia sangat mempercayai laki-laki itu. Dia tidak pernah meragukan kesetiaan Edward sedikit pun. Dan tidak pernah terlintas dalam pikirannya kalau pada akhirnya Edward akan berkhianat. Senyum Edward dan Sheila di pelaminan tadi kembali membayang di benaknya. Seperti mengejek dirinya yang begitu t***l, hingga dengan mudahnya bisa dipencundangi. ‘Kenapa harus dia?’ Rasa terhina membuat sakit hati itu kian perih. Teganya Edward melakukan itu. Lima tahun yang lalu pria itu sudah berjanji untuk menunggu. Dia sudah berjanji akan setia. Dan ia begitu mempercayai janjinya karena mengira cinta pria itu demikian kuat. Tapi beberapa menit yang lalu dia menyaksikan ekspresi bahagia di mata pria itu. Dia bahagia menikahi Sheila. Sheila Dharmawan. Dia masih mengingat jelas pemilik nama itu dan tidak menyangka Edward mengkhianatinya dengan memilih gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD