Bab 2 Semoga Bahagia Sampai Tua

1194 Words
“Ayolah. Kamu jangan gampang curiga seperti itu. Kita baru saja resmi menjadi suami istri, dan kalau kamu tidak mempercayai suamimu sendiri, bagaimana jadinya rumah tangga kita ke depannya?” Edward berkata sambil melangkah kembali ke pelaminan. Kata-kata Edward telak mengenai sasaran. Sheila mengerutkan bibirnya dan mengikuti Edward tanpa bicara lagi. Dia agak kerepotan mengikuti langkah lebar Edward karena gaun pengantinnya yang panjang dan mengembang. Ketika menaiki tangga yang hanya tiga undakan itu, hampir saja dia tersandung. Namun Edward tidak melihatnya karena Edward berjalan menuju kursi di pelaminan itu tanpa menoleh sama sekali. Seketika wajah Sheila memerah. Dia merasa diabaikan oleh Edward. Rasa egoisnya tercubit. Tapi untung saja tidak ada orang lain yang memperhatikan. Semua orang sibuk menikmati makan malam dengan menu istimewa yang disiapkan oleh tim catering hotel bintang lima tempat pesta itu diselenggarakan. Edward duduk di kursi dengan tenang. Dia memilih untuk berbicara seperti tadi untuk menyadarkan Sheila yang sekarang telah menjadi istrinya. Dia sudah mengorbankan cinta dan semua impiannya. Mulai sekarang seluruh hidupnya telah terjebak dalam perkawinan yang tidak didasari cinta. Sekalipun Edward tidak pernah bermimpi akhirnya akan tiba di titik ini, dia sudah mengikhlaskan semuanya. Karena itu Edward tidak mau mengacaukan pesta pernikahan yang telah dipersiapkan dengan penuh antusias oleh kedua keluarga. Terutama mama dan kakaknya, mereka sudah memberikan perhatian penuh untuk pesta ini. Jadi Edward merasa bertanggung jawab atas kesuksesan pesta ini. Semua demi kebahagiaan keluarganya. Bukan kebahagiaannya. Karena dia melakukan ini semata untuk membahagiakan mereka. Kebahagiaannya sendiri sudah dia kesampingkan sejak ayahnya mengajaknya bicara malam itu. Ada masalah mendesak yang memerlukan pengorbanan Edward, dan Edward mengiyakan tanpa banyak protes. Semua demi kelangsungan hidup keluarga Nicolas Sanjaya. "Ed, melamun lagi! Kamu kenapa sebenarnya?" Sheila yang kesal karena merasa Edward abaikan menepuk lengan pria itu keras. "Kamu kenapa, La? Sudah dibilang tidak apa-apa malah ngeyel?" "Siapa yang ngeyel? Kamu yang aneh. Pesta pernikahan kita masih berlangsung tapi mata kamu sudah jelalatan. Pake acara melamun lagi." Nada suara Sheila mulai tinggi. Melihatnya seperti itu, Edward hanya bisa mengerucutkan bibirnya dan berpura-pura menanyakan sesuatu kepada ayahnya yang sudah bergabung dengan mereka. Sheila hanya bisa menghentakkan kakinya kesal. Tapi mau bagaimana lagi? Masak mau teriak-teriak seperti perempuan tidak waras? Bagaimana pun dia ratu pesta malam ini, jadi harus tetap terlihat cantik. Ketika Edward dan Sheila sedang berdebat, Gadis itu melangkah perlahan kembali ke ruang pesta setelah memperbaiki riasannya di toilet. Kali ini tidak ada yang akan memperhatikan kehadirannya karena saat itu sedang acara jamuan kasih. Banyak tamu undangan yang menikmati sajian makanan sambil berdiri dan berbincang-bincang membentuk kelompok-kelompok acak. Gadis itu menghembuskan napas lega. Dia sudah lebih tenang dan kembali fokus dengan misinya semula. Dia menyelinap masuk dan mendapatkan sebuah kursi di meja yang berada agak di pojok ruangan. Walaupun lokasinya dekat pelaminan, namun karena berada terlalu dekat sound system yang cukup mengganggu kenyamanan, maka tempat itu terlihat sepi. Keberadaannya di situ tidak mengundang perhatian tamu-tamu yang lain. Pasangan pengantin sudah kembali lagi ke pelaminan setelah makan malam. Saat itu dia pun kembali melihat Edward dua kali menoleh ke arah pintu keluar. Dia tertawa dalam hati. Tidak sabar rasanya menunggu bagaimana reaksi pasangan itu atas kehadirannya. Tadi dia sempat melihat Edward beberapa kali menoleh ke arah pintu keluar dengan ekspresi panik. Rupanya pria itu mengenali dirinya. Tapi dia tidak peduli. Hatinya bahkan mulai terasa dingin setelah melihat senyum bahagia di wajah pria itu. Edward bahagia dengan pernikahannya, yang menunjukkan bagaimana perasaan pria itu sesungguhnya. Edward telah memilih Sheila dan meninggalkannya begitu saja. Mengabaikan semua yang telah mereka jalani, mengabaikan perasaannya. Apa yang dia saksikan malam ini membuktikan betapa bagi Edward dirinya hanyalah salah satu pilihan. Pilihan yang pada akhirnya terbukti tidak memenuhi persyaratan dan sudah sepantasnya ditinggalkan. Tentu saja dibanding dengan dirinya yang tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa, Sheila yang merupakan putri seorang pengusaha sukses akan lebih menguntungkan bagi Edward maupun keluarganya. Ketika keluarga mereka bersatu, mereka akan menjadi salah satu raksasa bisnis di kota Manado. Gadis itu tersenyum kecut. Bagi orang-orang seperti Edward cinta ternyata hanya bernilai sebagai komoditas usaha. Dan dirinya hanyalah satu noktah dalam perjalanan cinta Edward. Rasa sakit itu kembali meremas jantungnya. Ketidakpedulian Edward pada perasaannya terasa begitu menyakitkan. Tapi dia tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban pengkhianatan yang akan terlihat begitu mengenaskan. Hei! Dia bukan pemain sinetron yang bisa jadi bulan-bulanan si antagonis. Dia berbeda. Dia akan memberi kejutan pada pasangan itu sebagai mantan pacar yang turut berbahagia atas pernikahan pacarnya. Ya, dia berbeda. Dia tidak akan menghadapi pengkhianatan dan rasa sakit ini dengan tindakan konyol kekanak-kanakan. Cukup sudah semua rasa sakit yang dia rasakan selama beberapa hari ini. Cukuplah semua air mata yang menemani perjalanannya dari Sydney hingga tiba di Manado. Karena semua itu tidak ada gunanya. Hanya membuat dirinya terlihat menyedihkan dan mengingkari semua perjuangan hidup yang berat yang telah dia lewati selama bertahun-tahun. Sungguh dia tidak rela hanya menjadi penonton yang menyesali nasib dengan bersimbah air mata. Tidak. Dia tidak seperti itu. Rasanya bertahun-tahun menunggu pesta itu berakhir. Namun dia duduk diam di sana. Menunggu dengan sabar sambil menatap ponselnya, membaca obrolan ramai teman-temannya di group alumni SMA dan group persahabatan geng sekolahnya. Akhirnya tiba saatnya MC menyatakan pesta telah selesai dan mengundang seluruh hadirin untuk berjabatan tangan dengan kedua pengantin bersama keluarga. Gadis itu berdiri dan bergabung dengan antrian panjang orang-orang yang mulai terlihat tidak sabar. Dia melangkah tenang di belakang seorang pria bertubuh besar sambil menunduk dan begitu sampai di depan Edward, dia mengejutkan pria itu dengan suara ceria. "Selamat, Ed. Kamu sudah memilih pasangan hidup yang tepat. Semoga berbahagia sampai tua, ya.." Tangan Edward yang terulur untuk menyambut jabatan tangannya seketika membeku. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap lurus sambil tersenyum cerah. "Hanna.." Suara Edward serak dan tercekat, nyaris tak terdengar. Saat ini di depannya telah berdiri sosok yang tadi menarik perhatiannya. Tatapan mata mereka bertemu. Edward sangat terkejut, darah di wajahnya menghilang seketika, hingga terlihat sangat pucat. Lidahnya menjadi kelu, tak mampu berkata-kata dan ketakutan itu mulai meremas jantungnya tanpa ampun. “Hiss.. Siapa yang mengundangnya?” Hanna, gadis itu, menoleh mendengar desisan marah dari sampingnya. Di sana berdiri mama dan kakaknya Edward yang menatap marah. Mereka terlambat mengenalinya, padahal barusan Hanna menyalami mereka sambil tersenyum lebar. Namun mereka tidak bisa melakukan apa-apa sekarang, tentu saja karena malu dilihat orang banyak. Jadi mereka hanya bisa memelototinya dengan wajah murka. Sheila yang awalnya tertawa bahagia menyambut ucapan selamat dari para tamu seketika terperanjat melihat sosok gadis jangkung yang berdiri di depan Edward. Sosok itu terlihat sangat berbeda dari yang dia ingat. Gadis itu sangat cantik dan memancarkan rasa percaya diri yang kuat. Sheila seketika dipenuhi rasa cemburu dan iri. Hana tertawa kecil melihat ekspresi Sheila. Wow! Semua sesuai ekspektasinya. Sheila melotot dan berusaha mendorongnya. "Mau apa kamu ke sini, pembantu murahan? Kamu tidak diundang!" Suara histerisnya mengundang perhatian orang-orang. Hanna menghindar dengan gerakan halus, lalu tertawa kecil sambil menatap Edward. "Benarkah, Ed? Ini undanganku. Nanti tolong jelaskan pada istrimu. Apa dia tidak tahu apa arti dirinya dan pernikahan ini bagimu?" Hanna mengibaskan undangan yang telah dia persiapkan di depan wajah Sheila dengan gaya dramatis. “b******k kamu! Pembantu murahan. Perempuan hina!” Sheila berteriak marah dan penuh kebencian. Dia mengangkat tangannya dengan maksud ingin menjambak rambut Hanna. Tapi gerakannya kalah cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD