Bab 4 Dia Bahagia

1182 Words
Edward Sanjaya. Pria yang telah berkhianat itu adalah cinta pertama Hanna. Mereka tumbuh dan menjalani masa remaja bersama. Sejak mereka bertemu, saat itu Hanna berusia dua belas tahun dan Edward empat belas tahun, Hanna sudah menyukai pria itu. Tidak ada pria lain yang mampu mengalihkan pandangannya dari Edward sejak saat itu. Hanya Edward dan hanya Edward, pria yang di mata Hanna paling tampan dan paling baik sedunia. Makin hari Hanna semakin mencintai pria itu. Cinta yang sebetulnya bertumbuh dalam keraguan dan rasa tidak percaya diri, mengingat status mereka yang seperti langit dan bumi. Cintanya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, Edward tiba-tiba menyatakan cinta. Saat itu Hanna sudah berusia empat belas tahun. Dan cinta monyet di masa remaja itu pun berkembang menjadi cinta pertama. Hanna mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Rasanya konyol sekali dia menangisi Edward. Tapi hatinya sakit sekali. Pengkhianatan Edward bukan hal yang mudah diterima. Ini terlalu menyakitkan. Dia sangat mencintai pria itu. Cinta yang telah memberinya kekuatan untuk tetap setia pada pria itu. Cinta yang menyemangati dirinya untuk serius mengikuti semua aktivitas kuliah hingga bisa selesai tepat waktu. Impian Hanna sesungguhnya begitu sederhana. Ia ingin menjadi istri Edward dan menjalani hidup keluarga yang bahagia bersama pria itu. Hanya itu harapan dan impiannya. Selama hampir enam tahun tinggal di Australia, Hanna tidak pernah melirik pria lain. Sekalipun teman-teman kuliahnya yang datang dari berbagai negara banyak yang berusaha mendekatinya, tapi Hanna tidak pernah tertarik. Hanya Edward satu-satunya pria yang Hanna cintai. Dan Hanna setia pada pria itu. Namun kenyataan yang dia hadapi sungguh jauh dari impiannya. Edward berpaling pada perempuan lain. Hanna ingat bagaimana raut wajah pria itu di pesta tadi. Edward terlihat sangat bahagia. Dia menggenggam tangan Sheila dengan erat sambil sesekali menatap perempuan itu dengan tatapan lembut. Hanna sungguh heran apa yang membuat Edward bisa jatuh cinta pada si kutilang judes itu. "Aku akan menunggu kamu, Han. Kuliah yang baik dan cepat pulang, ya." Kata-kata Edward saat mengantar Hanna di Bandara kembali terngiang-ngiang. Kata-kata itulah penyemangatnya, hingga menjalani masa-masa kuliah dengan baik. Dia selalu semangat mengikuti semua mata kuliah dan tidak pernah bermalas-malasan di jam-jam bebasnya. Hanna sering sekali tidur larut malam untuk belajar dan perpustakaan menjadi satu-satunya tempat favoritnya. Dia berusaha keras untuk selesai tepat waktu, sehingga bisa pulang ke Manado dan berkumpul lagi dengan Edward, kekasihnya yang tampan dan sangat dia cintai. Dua tahun Hanna di Australia, Edward lulus kuliah. Tak lama setelah diwisuda, dia berkabar kalau sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan. Hanna senang sekali. Hal itu semakin menambah semangatnya untuk menyelesaikan kuliah secepatnya. Dia ingat janji Edward dan sudah tidak sabar untuk mewujudkan impian mereka. Ketika akhirnya bisa menyelesaikan kuliah, Hanna sangat bahagia. Akhirnya dia bisa pulang ke Manado. Namun dia tidak memberi tahu Edward karena ingin memberi kejutan pada pria itu. Pagi itu Hanna sedang menunggu jadwal keberangkatan pesawat yang akan membawanya ke Manado. Tiba-tiba ada pesan WA masuk dari mantan teman sekelasnya di SMA. Ada beberapa teman yang masih lancar berkomunikasi dengannya sampai hari ini. Hanna juga masih tergabung dalam WAG Alumni. Teman-temannya meneruskan undangan pernikahan elektronik. Ketika Hanna membukanya, dia melihat foto dua orang yang sangat dikenalnya dalam balutan jas dan gaun pengantin. Ternyata undangan pernikahan Edward dan Sheila. Seketika jantung Hanna berdetak cepat. Tangannya mendadak mati rasa, hingga membuat ponselnya nyaris terjatuh dari genggamannya. Edward! Hanna merasa linglung. Tidak mungkin itu Edward. Pacarnya itu sudah berjanji akan menunggunya dan mereka akan menikah. [Bukannya kamu yang pacaran dengan Edward, Han? Kenapa dia malah menikah dengan Sheila?] Seorang temannya bertanya bingung. Hanna yang masih syok tidak bisa menggerakkan jarinya untuk mengetik balasan pesannya. Rasanya ini tidak nyata, tapi dia merasakan ponsel di tangannya yang bergetar terus menerus, dapat mendengar suara orang-orang di sekitarnya dan bisa merasakan terpaan angin yang membuat tubuhnya seketika menggigil. Beberapa temannya mengiriminya pesan WA tapi Hanna memutuskan untuk tidak membacanya saat itu. Dia masih sangat syok dan tidak tahu harus menjawab apa. Hanna pun menguatkan hatinya. Dia harus bertahan untuk melewati penerbangan panjang dari Sydney sampai di Manado. Dia harus tiba di rumah dengan selamat. Penerbangan yang membawanya ke Manado terasa makin lama. Sepanjang waktu itu, semua kenangan dengan Edward terus membayang di benaknya, membuat dadanya semakin sakit. Pantas saja sebulan terakhir Edward jarang menghubungi. Hanna pikir waktu itu Edward pasti sibuk sekali dengan pekerjaannya. Jadi Hanna memaklumi dan memutuskan untuk tidak menambah beban pria itu. Ternyata penyebabnya karena Edward sudah punya rencana lain. Hanna selama ini hanya bermimpi, mengira dia punya masa depan yang indah dengan Edward. Semua impian indah Hanna telah hancur berantakan. Dan pulang ke Manado bukan lagi hal yang membahagiakan. Dia hanya membawa hatinya yang sudah terpecah belah. Melihat sosok kakeknya di bandara membuat Hanna terhibur. Keberadaan kakek memberinya rasa aman dan cukup menguatkan hatinya yang telah hancur lebur. “Opa..” Hanna memeluk kakeknya erat. Air matanya jatuh. Kakeknya yang begitu gembira dengan kepulangannya sama sekali tidak memperhatikan wajah murung Hanna. dan memeluk cucunya itu sambil tertawa senang. Kakek sama sekali tidak mengetahui kegelisahan di hatinya menghadapi berita mengejutkan tentang pernikahan Edward dan Sheila di tengah perjalanan pulangnya. *** Pernikahan Edward dan Sheila dilaksanakan hanya tiga hari setelah Hanna sampai di Manado. Hanna memutuskan untuk menghadiri pesta tersebut, menggunakan undangan yang diterima kakeknya. Kebetulan kakeknya sedang menangani pekerjaan yang mendesak dan tidak bisa ditinggal. “Mereka teman-teman SMAku, Opa. Kalau boleh, aku ingin menghadirinya.” Hanna berkata saat melihat undangan pernikahan Edward dan Sheila yang baru diantar. Hanna ingin menghadiri pesta itu hanya untuk melihat satu hal. Edward bahagia dengan pernikahannya atau tidak. Setidaknya dia bisa mengetahui kenapa Edward memilih Sheila. Dengan demikian dia tidak membuang-buang waktu dan energinya untuk menduga-duga apa alasan Edward. Edward terlihat sangat bahagia. Hanna telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Berarti Edward menikahi Sheila karena memang dia mencintai perempuan itu. Bukan karena sesuatu alasan yang membuat Edward mengambil keputusan itu dengan terpaksa. Hanna tertawa miris sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini tidak seperti cerita sinetron yang kadang-kadang ceritanya menjadi super duper lebay. Edward bahagia menikahi Sheila karena dia mencintai perempuan itu. Hanya itu alasannya. Dan Hanna sudah melihat ekspresi bahagia itu di wajah Edward. Itu sebuah ekspresi alami yang tidak dibuat-buat. Hanna kembali tertawa miris. Tanpa bisa dicegah, air mata kembali membanjiri pipinya. Kesedihan membuat kepalanya tambah sakit. Akhirnya Sheila yang memenangkan cinta Edward. Selama ini Hanna hanya bermimpi. Cukup sudah. Hanna akan melepaskan semua rasa cintanya untuk Edward. Toh pria itu yang telah lebih dulu membuangnya. Hanna menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. Cukup sudah semua air mata ini. Dia harus melupakan Edward. Bagaimana pun Edward sudah menjadi suami perempuan lain. Perempuan yang sepanjang tiga tahun masa SMA telah merundungi dirinya. Hanna tersenyum kecut. Tadi dia tergoda untuk membalas dendam dengan melakukan tindakan yang bisa mengacaukan pesta pernikahan itu. Tapi untunglah akal sehatnya masih berfungsi. Dia hanya melakukan sedikit manuver halus yang akan diingat kedua orang itu sepanjang hidup mereka. Hanna bersyukur bisa mengendalikan diri sehingga bisa melangkah anggun meninggalkan pesta itu tanpa dipermalukan oleh drama konyol perempuan patah hati yang mengenaskan. Sudut bibir Hanna kembali berkerut. Semoga Edward tidak mengambil keputusan yang salah. Semoga tidak ada penyesalan setelah hari ini. Mungkin Edward sudah melupakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD