Bab 10 Makan Malam

1259 Words
"Mainnya juga sama orang-orang kaya. Hebat!" Suara perempuan-perempuan racun itu kembali terdengar, sangat jelas sampai di telinga Hanna. Hanna menatap layar komputernya dengan sikap acuh tak acuh. “Pembantu miskin itu pasti sudah terbiasa menjual diri demi mendapatkan uang. Pantas Non Sheila sangat membencinya.” Hanna mengerutkan bibirnya. Heran, di dunia yang sudah begitu maju dan serba canggih seperti sekarang ini masih ada manusia-manusia yang memiliki insting purba seperti mereka. Hidup yang sangat berharga ini hanya diisi dengan mengintip, bergunjing dan menyindir orang. Apa otak mereka sudah beku hingga tidak berfungsi lagi? Mereka tidak menyadari betapa banyak hal baik yang bisa dilakukan bahkan hanya dengan jari-jarinya saja. Ponsel berkamera bagus malah hanya diisi dengan foto-foto selfie tak berguna hingga penyimpanan penuh. Hanna sungguh prihatin. Waktu dalam setiap detik yang seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk hal-hal baik dan berguna malah habis untuk menumpuk dosa ghibah dan fitnah. Sepertinya mereka memang manusia-manusia purba dengan otak yang sudah membatu. Sudahlah. Tidak perlu diladeni. Hanna segera melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertunda. Laporan pembukuan logistik masih perlu dibenahi sebelum dicetak dan diserahkan pada manajer divisi logistik. Hanna butuh waktu lebih dari setengah jam untuk merampungkan laporan itu sampai akhirnya bisa mendarat cantik di meja pak manajer. "Terima kasih, Hanna." Pak manajer yang masih berusia awal empat puluhan itu memegang laporan yang Hanna serahkan dengan senyum lega dan mengucapkan terima kasih dengan tulus. Hanna sudah membantunya mengurai benang kusut dalam pembukuannya yang sebelumnya membuat dia pusing tujuh keliling. "Sama-sama, pak. Senang bisa membantu." Hanna berkata sambil tersenyum. Setelah itu dia pamit pulang. Menu makan malam yang dia siapkan sudah menunggu di rumah. Idealnya makan malam itu jam setengah tujuh. Jadi Hanna hanya punya waktu tak sampai dua jam untuk menyiapkan semua itu. Untung saja ada tante Rita di rumah yang sudah menyiapkan bahan-bahannya. Hanna pun pulang dengan menggunakan taxi online dan tiba di rumah sudah hampir jam lima sore. Coba kalau bersama si butut, pasti tidak sampai 20 menit dia sudah di rumah. Kalau jam-jam pulang kantor seperti tadi, Manado memang tidak pernah bebas dari macet. "Semuanya sudah lengkap, tante?" Hanna bertanya pada tante Rita sambil menaruh tasnya di atas lemari kecil di depan kamarnya. "Sudah, Non. Pak tukang kebun mau bantu bakar ikannya." Hanna tersenyum lega. Syukurlah ada bala bantuan, jd dia yakin semua akan tersedia tepat waktu. "Ikan, cumi sama udang sudah dibersihkan, tante?" "Sudah, Non. Ikan sama udangnya sudah saya marinasi juga. Hanya cumi yang baru saya bersihkan dan belum diapa-apakan. Takut salah potong, Non." "Kalau untuk digoreng tepung hanya dipotong bulat saja, Tante. Setelah digoreng jadinya kelihatan seperti gelang. Cantik dan enak." Hanna segera mencuci tangan dan mengenakan apron. Lalu dengan cekatan dia memotong cumi menjadi potongan-potongan bulat yang tidak terlalu lebar, lalu dimarinasi dan disisihkan dulu. Dia memberi petunjuk sebelumnya pada tante Rita untuk menyiapkan bumbu juga, jadi semua sudah siap. Hanna tinggal mengolahnya sesuai kebutuhan. Karena memasak adalah hobinya sejak remaja, jadi semua aktivitas itu terasa begitu menyenangkan. Untuk mendukung hobi itu Hanna sampai mengikuti kursus masak selama 6 bulan waktu masih kuliah di negeri kangguru. Dasarnya memang sudah memiliki naluri chef secara alami dalam dirinya, walaupun hanya enam bulan menjalani kursus, Hanna sudah tergolong mahir. Gayanya dalam penyajian makanan saja hampir terlihat seperti chef hotel bintang lima. Tante Rita sampai terkagum-kagum melihat Nona Mudanya begitu lincah di dapur. Setengah jam menjelang jam makan malam Hanna sudah hampir menyelesaikan semua menu. Hanya cumi goreng yang dan tumis kangkung yang sengaja dipending biar nanti dimasak sesaat sebelum makan malam dimulai sehingga rasanya lebih enak. "Tolong dijaga sebentar ya, Tante. Saya mau mandi dulu. Biar tidak mengganggu selera makan tamu yang akan menikmati makan malam sebentar." Hanna berkata sambil tertawa dan dengan langkah cepat menuju ke kamarnya. Tante Rita ikut tertawa. Nona mudanya ternyata benar-benar jago masak. Waktu yang Hanna butuhkan untuk mandi dan berganti pakaian hanya 15 menit. Dia kembali ke dapur dengan tubuh wangi dan segar dengan mengenakan dress rumah sederhana berbahan katun warna hijau lumut yang panjangnya selutut. Terlihat semakin cantik dan segar. Tante Rita sudah menyiapkan meja makan. Hanna mengambil beberapa bahan dari lemari es untuk dibuat garnish. "Itu apa, Non?" Tante Rita bertanya penasaran melihat Hanna mengambil pisau kecil tipis dan mulai memotong tomat dan timun. "Ini namanya garnish, Tante. Menjadi bagian penunjang dalam penyajian makanan. Membuat tampilan penyajian makanan lebih menarik dan menggugah selera." Hanna menjelaskan dengan sabar. Benar saja. Makanan yang tersaji di atas meja jadi terlihat seperti penyajian chef hotel berbintang. Kakek dan mitra kerjanya tiba di rumah lewat lima menit dari waktu yang ditetapkan. Mereka langsung disambut bau harum masakan yang sudah tertata apik di meja. Kakek tidak dapat menahan rasa senangnya melihat beberapa jenis masakan seafood yang mengundang selera tersaji di depannya. Ruang makan itu dipenuhi bau sedap masakan-masakan itu. Rasanya seperti di restoran. Kakek tersenyum puas. Dia segera memanggil Hanna. Hanna datang dari dapur yang bersebelahan dengan meja makan sambil membawa tumis kangkung yang masih mengepul-ngepul. "Semua ini kamu yang masak?" Kakek menatap Hanna yang masih mengenakan apron sambil tersenyum. "Iya, Pak." Hanna mengangguk kecil. "Hebat! Ayo, Ronald. Jangan biarkan makanan lezat ini menjadi dingin." Bau masakan yang memenuhi meja makan membuat kakek tidak bisa menunggu lebih lama lagi. "Ayo, makan sama-sama, Han." Kakek mengajak Hanna juga. Hanna tersenyum kikuk. "Biar saya belakangan saja, pak." "Ah, kamu ini. Ayo sama2. Nikmati hasil kerja kerasmu selagi masih hangat. Ayo!" Hanna menarik napas panjang. Mana mau kakek dibantah? Jadi Hanna segera melepaskan apron dan bergabung bersama kedua pria itu. Ronald, mitra kerja kakeknya menatapnya dan mengangguk. Membalas anggukan Hanna sebelum menarik kursi dan duduk. Hanna melihat senyum samar di bibir pria itu. Kakek yang memberi isyarat pada Hanna untuk duduk di situ sehingga dia berhadapan langsung dengan pak Ronald. "Dia ini asistenku. Jadi semua keperluanku dia yang mengurus, sehingga aku tidak perlu repot-repot lagi. Dan bonusnya, ternyata dia jago masak juga." Kakek memperkenalkan Hanna pada pria itu. Ada nada bangga tak tersembunyikan dalam suaranya. Pria itu mengangguk. "Kamu pernah sekolah tata boga?" Dia bertanya sambil matanya menatap Hanna sekilas sebelum tangannya terulur dan mengisi piringnya dengan nasi dan ikan tuna bakar. "Hanya kursus masak selama enam bulan, pak." Hanna menjawab sambil mengisi piringnya juga. Berusaha menyembunyikan rasa gugup dan malu yang tiba-tiba merambat di hatinya. Pak Ronal mengangguk-angguk sambil menggigit daging ikan tuna yang empuk berpadu dengan sambal matah yang memberi rasa asam segar dan pedas. "Enak." Dia berkomentar pendek sambil dengan santai mengunyah makanannya. Terlihat sangat menikmati. Hanna menghembuskan napas lega. Dia senang karena pria itu menyukai masakannya. Pria itu terlihat masih sangat muda dan sangat tampan. Mungkin usianya baru sekitar 30an tahun. Dia masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang Hanna lihat tadi siang. Terpancar aura pria yang kuat dan tegas. Tatapan matanya tajam, membuat Hanna salah tingkah. Hanna menyembunyikannya dengan berpura-pura sibuk menikmati makanannya. Kakek dan pak Ronald lalu berbincang-bincang soal rencana proyek mereka. Hanna hanya diam mendengarkan. Sambil sesekali menjawab pendek ketika mereka bertanya. "Kamu akan sering bertemu dengan Hanna, karena aku ingin dia juga menjadi asistenku dalam menangani proyek ini. Jadi tolong bantu dan bimbing dia." "Oh. Siap, pak Samuel." Hanna terkesiap. Kakek apa-apaan? Menangani proyek? Hanna jujur tidak berani, karena dia tidak pernah menangani pekerjaan seperti itu. Gambaran kasarnya saja tidak ada dalam benaknya. Hanna tidak dapat menyembunyikan kekuatirannya dan menatap kakek sambil menggelengkan kepalanya. Kebetulan saat itu pak Ronald sedang menambah cumi goreng tepung ke dalam piringnya. Kakek hanya tersenyum dan mengangkat jempolnya. Hanna meringis melihat senyum kakek. Dia segera beranjak ke dapur. Dia sudah menyiapkan buah potong untuk desert yang dia simpan sementara di lemari es. Saat Hanna kembali, lauk pauk di meja nyaris tandas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD