GAJAH

2447 Words
H-6 MENUJU PERNIKAHAN Pagi hari terasa lebih dingin dan menusuk di hati Amelia. Suara kicauan burung, memenuhi telinganya untuk memberikan kabar yang tidak bisa dicernanya. Terdengar riang tapi dirasakan sebagai nyanyian kesedihan bagi Amelia. Dia bergegas menuju kamar mandi, memakai pakaian seragamnya dan menuju ke lantai bawah untuk sarapan bersama kedua orangtuanya. “Pagi Yah,” sapa Amelia ceria “Pagi nak. Kamu masih kerja hari ini?” sapa Ayah Amelia sembari menyuap satu sendok nasi goreng buatan istri tercintanya. “Iya Ayah. Hari ini hari terakhir Amelia untuk bekerja setelah itu Amelia cuti.” “Oh begitu. Iya kamu kan harus dipingit kan. Bentar lagi pernikahan kamu kan.” Pernikahan Kata-kata ini kenapa bukan membuat Amelia bahagia tetapi juga cemas. “Iya Yah,” jawab Amelia, tanpa berani membantah. Padahal di lubuk hati ketiganya, semua merasa cemas dengan hari-hari menuju pernikahan ini. Apakah sang mempelai pria akan datang memenuhi janjinya dan tidak membuat malu putri dan keluarganya. Setelah berpamitan, mencium punggung tangan kedua orangtua Amelia dan melambaikan tangan kepada ibunya akhirnya Amelia bergegas menuju kantor. Sesampainya di kantor, dia kembali duduk di kursinya. Pukul delapan pagi tepat, pintu kantor dibuka untuk nasabah. Semua nasabah yang datang telah mengambil nomor antriannya satu persatu dan menunggu dengan sabar untuk dilayani oleh Amelia dan Yanti. Keduanya duduk di posisi customer service. “Selamat pagi!” suara berat menyapa gendang telinga Amelia yang menunduk mencari barang di bawah mejanya. “Selamat pagi. Silahkan duduk pak,” sapa Amelia sopan dan mempersilahkan untuk duduk di kursi depannya. “Eh pp-pak. Bapak disini. Apakah saya tidak salah lihat?” kepala kantor cabang turut menyambut pria itu dan takjub didatangi tamu yang sangat tidak mungkin mengunjungi kantornya. “Iya, apa saya bisa buka tabungan disini?” tanya pria itu. “Oh bb-boleh pak, sangat boleh. Bapak langsung naik ke lantai atas saja. Biar saya yang tangani langsung.” “Gak usah. Saya sudah di depan customer service kan, bukankah ini sudah tugasnya.” “Oh iya pak. Silahkan dilanjutkan pak. Mbak Amelia, tolong dilayani dengan baik,” titah Pak Herman, kepala kantor cabang Amelia dan Amelia hanya mengangguk mantap. “Selamat pagi pak. Saya Amelia, ada yang bisa saya bantu.” “Saya ingin membuka rekening tabungan.” “Oh baik pak. Tapi berdasarkan peraturan dari bank kami. Nasabah tidak bisa membuka rekening dengan identitas yang sama. Jadi saya mohon maaf sebesar-besarnya, saya tidak bisa memproses permintaan bapak.” “Anda mengenal saya?” tanya pria itu menebak bahwa lawan bicaranya sudah mengenal siapa dirinya. “Tentu saja pak. Anda adalah Ganindra Perkasa Adiwiguna, CEO Adiwiguna Corporation. Nasabah prioritas kami. Bahkan saya sangat kaget bapak terjun langsung, padahal kami akan menyempatkan diri untuk mendatangi bapak langsung bila bapak punya kendala dalam transaksi di perbankan kami. Terlebih lagi ini hanyalah kantor cabang. Sekelas bapak, hanyalah kantor pusat yang pantas melayani.” Menarik Satu kata terbersit dalam pemikiran Ganindra akan sosok Amelia. Wanita yang tegas, percaya diri terlihat jelas dengan tatapan matanya yang tidak goyah terlebih tatapan atasannya yang tadi hanya menggigit bibir khawatir dengan jawaban Amelia, disertai tatapan tajamnya ke Amelia yang dianggapnya lancang. Menurut pemikiran Herman, demi pewaris Adiwiguna Corprotation, peraturan apapun itu akan dibuat sefleksibel mungkin demi nasabahnya yang hampir memiliki jumlah tabungan 50% dari jumlah kesemua tabungan nasabah se-Indonesia jika digabungkan. “Hahaha…begitu yah. Okey ya udah, kalau gitu. Adimas,” Jentikan jari Ganindra ke arah Adimas, sudah bisa dimengerti olehnya apa keinginan atasannya. “Baik Tuan.” Adimas berjalan ke luar kantor sedangkan yang lain menatap dengan tanda tanya, khususnya Amelia dan Herman atasannya. Ganindra hanya fokus menatap wajah wanita di depannya. Kesan pertama yang menyenangkan, persis seperti apa yang diceritakan oleh Baskara. “Permisi Tuan. Cahyo sudah disini,” ucap Adimas dan membawa seorang pria berusia dua puluh tahunan. “Yah silahkan. Cahyo kamu kesini.” “Bb—baik tuan” jawab Cahyo menunduk hormat. “Iya ibu Amelia, ini OB saya di kantor. Cahyo. Dia baru saja masuk belum genap sebulan. Saya minta tolong buatkan dia rekening baru.” “Baik pak.” “Tapi saya masih bisa dampingi dia kan disini.” “Tidak masalah pak. Saya tidak terganggu.” Lagi-lagi jawaban Amelia membuat Ganindra tersenyum di sudut bibirnya. Betul-betul wanita yang percaya diri. “Tolong identitas dirinya pak,” Amelia menjulurkan tangannya ke arah cahyo. “Ini bu.” Amelia dengan cekatan mengetik di komputer di hadapannya. Tampak tidak terganggu dengan tatapan intens Ganindra ke arahnya. Dia tahu bahwa dirinya ditatap seperti itu, mengandalkan lirikan di ujung matanya tepatnya. “Bu Amelia. Disini bersih yah, Gajah pasti suka,” Ganindra memecah kesunyian diantara semua orang di sekeliling mereka. Adimas dan Herman yang berdiri dan memperhatikan setiap kejadian di depannya. Cahyo yang gugup dan hanya mengikuti arahan atasannya. “Kok Gajah yah pak?” tanya Amelia melirik sekilas kemudian fokus kembali ke komputer. “Menurut kamu, Gajah apa yang suka kebersihan?” tanya Ganindra. “Gak tahu pak,” jawab Amelia singkat. Entah, dia benci berbasa-basi ataukah dia tidak mampu membagi fokusnya. “GAJALAH KEBERSIHAN.” Lelucon yang dikeluarkan oleh Ganindra, membuat Adimas dan Herman serta Cahyo hampir menyemburkan tawanya jika ini disertai Amelia di dalamnya. Tetapi kenyataannya Amelia hanya menatap datar dan tidak terpengaruh oleh lelucon yang coba dilontarkan Ganindra. Bagaimana mungkin Amelia bisa menganggap itu lelucon, sedangkan pria yang melontarkan lelucon itu hanya menatap datar tanpa ekspresi. Adimas sekuat mungkin menahan tawanya, hingga memukul-mukul pahanya agar dia melupakan tawanya dan beralih ke rasa sakit di pahanya. “Baik pak Cahyo. Silahkan tanda tangan disini” ucap Amelia menyodorkan buku tabungan ke Cahyo. “Disini sekali lagi” “Baik, tolong masukkan PIN ATM bapak. 6 digit, dan bapak sebaiknya mengingat dengan jelas untuk transaksi perbankan anda di kemudian hari,” Cahyo hanya mengangguk. “Baik terima kasih. Ini pak Cahyo, buku tabungan dan ATM serta identitas diri bapak. Apa adalagi yang bisa saya bantu pak?” tanya Amelia menatap Cahyo. “Gg-gak ada kali mbak.” jawab Cahyo setelah hanya mengikuti arahan Amelia sejak tadi. “Apakah saya boleh mengajak ibu Amelia makan siang?” tanya Ganindra, Cahyo yang hendak berdiri terpaksa duduk kembali. “Dalam rangka apa yah pak?” “Hmm, hanya makan siang biasa,” “Maaf saya bawa bekal pak.” “Kalau gitu makan malam. Tapi kalau ini anda tentu saja tidak bisa menolak.” “Apa ini sebuah ancaman?” “Tentu saja tidak. Jika anda menerima undangan ini setengah hati, anggaplah peringatan. Jika anda menolak undangan ini sepenuh hati, tentu saja ini ancaman. Bisa begitu pak Herman.” “Tt-tentu saja pak. Amelia, kamu harus menerima undangan ini.” “Yah baiklah,” Amelia tidak sanggup membantah, toh ini hanyalah makan malam biasa. Amelia juga akan mengungkapkan statusnya ke pria aneh di depannya. Bukan dia merasa percaya diri bahwa bisa saja pria ini menaruh hati padanya, tetapi setidaknya dia harus lebih awal menolak kehadiran pria lain selagi statusnya sebagai tunangan Baskara. Ganindra akhirnya beranjak meninggalkan kantor Amelia menuju gedung pencakar langit miliknya. Masih ada waktu hingga sore bagi dirinya untuk makan malam bersama Amelia. Ganindra didampingi Adimas disambut oleh pengamanan ketat gedung itu. Semua karyawan berhenti sesaat, saat atasannya dengan gagah berjalan, sontak semuanya menunduk hormat. “Pagi...” sapa Ganindra ramah. Jangankan semua karyawan, Adimas yang disampingnya saja mengernyit heran. Sejak kapan Ganindra atasannya menyapa dengan ramah orang-orang di sekitarnya. “Maaf pak, Bapak Hartawan dan Bapak Lukito sudah menunggu di ruangan bapak sejak tadi. Mereka mendesak masuk. Saya tidak bisa mencegahnya,” ucap sekretaris Ganindra sesaat melihat atasannya hendak masuk kedalam ruangannya. “Tidak masalah. Mungkin mereka merindukan saya,” melirik sekilas ke arah sekretarisnya kemudian menunggu Adimas membukakan pintu untuknya. Pintu dibuka, kedua pria paruh baya yang berbincang-bincang ringan sontak menoleh ke arah pintu masuk. Pria yang ditunggu mereka sejak tadi pagi akhirnya datang juga. “Halo om, apa kabar?” “Halo Ganindra, apa kabar nak. Syukurlah kamu baik-baik aja. Kamu membuat om khawatir” kedua pria paruh baya itu memeluk erat Ganindra bergantian. Tentu saja ini hanyalah ucapan basa-basi keduanya. Semua orang tahu kedua pria tua itu, adalah pria yang selalu merongrong jabatan Ganindra dan mencari celah kesalahan Ganindra, dan sayangnya itu semua berbuntut kecewa. Ganindra dengan semua keputusannya selalu berakhir sukses, bahkan keputusan riskan sekalipun. “Baik om. Oh iya, maaf saya gak enak mengganggu rapat om kemarin. Saya lelah dengan perjalanan yang panjang dan tentu saja mendebarkan,” ucapan Ganindra ini membuat raut wajah keduanya yang ceria berubah menjadi raut wajah orang yang tertangkap basah melakukan kesalahan. “Oh tentu saja nak. Iya kami menganggap perlu melakukan tindakan cepat demi keberlangsungan perusahaan. Kami pasti khawatir dengan keadaan kamu, tapi kami juga harus tetap memikirkan perusahaan. Lagian kami juga akan menunjuk adik kamu Ayodia, sebagai pengganti kamu. Maafkan tindakan terburu-buru kami,” ucap Hartawan, pria paruh baya yang pasti tampan di masa mudanya. Badannya terawat dengan baik, dan wajahnya masih kelihatan segar. “Iya om, terima kasih atas semua perhatiannya. Maaf saya membuat om semua khawatir.” “Iya nak gak masalah. Kalau begitu kami pamit. Orang tua seumuran kami sudah gak sanggup berlama-lama duduk di depan meja kerja,” ucap Lukito sembari bangkit dari tempat duduknya. Berbeda dengan Hartawan, Lukito pria tambun, perutnya yang membuncit dan kepalanya agak botak. Beberapa helai rambutnya disisirnya untuk menutupi kebotakannya tapi malah terlihat aneh dan lucu. “Hahaha…om bisa saja,” tawa Ganindra. Ketiganya silih berganti berjabat tangan, Ganindra bahkan mengantar kedua sahabat Ayahnya menuju pintu keluar ruangannya. “Adimas, tolong kamu siapkan restoran yang sempurna untuk kami makan malam sebentar” perintah Ganindra sembari mengecek beberapa map dihadapannya. “Apa ada tempat yang mungkin jadi rekomendasi Tuan?” “Lah saya kan nyuruh kamu. Kamu dong yang nyari.” Kedua pria ini sama-sama ditakdirkan menjadi jomblo sejak lahir. Keduanya bahkan tidak pernah sekalipun berkencan dengan lawan jenis. Hidup mereka hanya dilalui dengan menggeluti pekerjaan kemudian beristirahat dan mengulang hal itu setiap harinya. Rekomendasi tempat untuk berkencan ataupun apa saja yang mungkin harus dilakukan tentu saja hal yang sulit bagi mereka laksanakan. Ternyata mendapatkan tugas menemukan restoran lebih sulit daripada tugas yang dibebankan kepada Adimas setiap harinya. Pukul empat sore, Amelia membersihkan meja kerjanya dan menyiapkan semua barang-barangnya. Janjian dengan pria yang bernama Ganindra tidak membuatnya menunggu lama. Setidaknya dia punya jawaban, jika dia pulang terlebih dahulu dan tidak bisa menunggunya. Keinginan Amelia ternyata harus berbalut rasa kecewa. Di parkiran sudah menunggu mobil Ganindra siap menyambutnya, mengantarkannya menuju tempat yang menjadi pilihan Ganindra tentu saja. “Selamat sore bu Amelia, tuan Ganindra sudah menunggu di dalam mobil.” “Saya bisa menyusul pak di belakang. Saya bawa mobil sendiri.” “Oh begitu. Biarkan saya yang mengendarai mobil ibu. Saya akan mengekor di belakangnya,” sia-sia saja bagi Amelia berdebat. Akhirnya dia hanya pasrah menuju mobil hitam legam, yang tampak mewah. Supir turun dengan sigap membukakan pintu untuknya. Ganindra sudah duduk dengan menyilangkan kakinya dan menopang pelipisnya dengan tangannya. Tidak ada pembicaraan keduanya selama perjalanan. Semuanya hanya fokus menatao jalanan. Amelia hanya mencoba mengalihkan rasa canggungnya mengetikkan beberap pesan di ponselnya, memberitahukan kedua orangtuanya bahwa dirinya akan pulang telat malam ini dan menemui seseorang. Miris, Amelia tiba di restoran tempat dirinya dan Baskara melamarnya di malam itu. Sekuat hati dirinya turun, dan mencoba bersikap biasa saja memasuki area restoran itu. Dahulu dirinya dan Baskara duduk di sebuah meja di sudut mengarah pintu masuk. Tapi bersama Ganindra, dia diarahkan menuju lantai dua sebuah ruangan tertutup. Takut, tentu saja tapi berusaha ditutupi oleh Amelia. Dia masih mempunyai ponsel, dengan menekan nomor satu secepat itu akan tersambung dengan kantor polisi tentu saja dilakukannya untuk mencegah pria itu berbuat macam-macam kepadanya. “Silahkan duduk,” Ganindra mempersilahkan Amelia untuk duduk, menarik kursi untuk Amelia kemudian berpindah untuk duduk di kursi depan Amelia. “Terima kasih.” “Jadi…ada alasan apa anda untuk mengajak saya makan malam?” tanya Amelia. “Hmm, sebaiknya kita memesan makanan dulu sebelum berbincang-bincang bukan.” Amelia terpaksa sekali lagi mengikuti pria di depannya ini. Entah, segala perkataan pria ini kadangkala membuatnya terasa lemah untuk berdebat. Pria ini mempunyai sejuta pesona, dan kemampuan untuk membuat setiap lawan bicaranya mengikuti kehendaknya. Setelah memesan makanan yang terlihat familiar di depannya, tentu saja makanan yang berbeda dengan makan malamnya bersama Baskara, makanan mahal dengan porsi yang sedikit. Keduanya kembali hanya duduk dan sesekali berpandangan membuat rasa canggung kembali menerpa mereka. “Setidaknya kita bisa berbincang selagi menunggu makanan kan,” Amelia menegaskan. “Tentu saja” “Sekali lagi, alasan apa anda untuk mengajak saya makan malam,” cecar Amelia dengan pertanyaan berulang. “Hanya ingin mengenal anda saja” “Mengenal, untuk apa?” “Tentu saling mengenal biar kita makin akrab, tentu saja.” Amelia menghela napas sesaat, benar tebakannya. Pria ini mungkin tertarik dengan dirinya. “Maaf saya mungkin sedikit meluruskan. Entah saya yang mungkin terlalu percaya diri. Tapi saat ini saya tidak bisa menjalin hubungan dengan pria manapun karena status saya, saya akan segera menikah dan pernikahan kami akan berlangsung lima hari ke depan,” jelas Amelia. “Calon suami anda dimana?” tanya Ganindra. Deg Pertanyaan yang tentu saja Amelia juga akan bingung menjawabnya. “Dia sedang dalam perjalanan kesini. Dia bekerja di Kalimantan sekarang,” jawab Amelia lugas. Ganindra hanya tersenyum. “Apakah anda yakin dia akan datang?” sekali lagi pertanyaan menohok dari Ganindra. Amelia merasa pria ini sudah sangat lancang mencecarnya dengan segala pertanyaan yang menyudutkannya. “TEN...tu saja!” Amelia hampir saja meninggikan suaranya, andaikan pelayan tidak menjeda perbincangan keduanya. “Silahkan anda nikmati dulu makanan di depan anda. Baru kita bisa melanjutkan pembicaraan tadi. Anda kelihatan kesal sepertinya,” Kelihatan kesal, oh tentu saja. Pria itu pasti buta, jika dia tidak bisa melihat raut wajah kesal Amelia setelah diberondong dengan pertanyaan yang sensitif menurutnya. Amelia hanya melirik sekilas menu pria itu. Hanya sepiring salad sayuran dan air putih. Apakah pria ini terlalu berhemat, hingga hanya memesan makanan yang sesederhana itu. Amelia kemudian fokus menghabiskan makanannya dan berharap sesegera mungkin meninggalkan tempat ini, berpisah dengan pria yang dengan tidak tahu malu mengorek kehidupan pribadinya. “Baik, saya sudah menghabiskan makan malam saya. Terima kasih atas makan malam ini” ucap Amelia. “Oh baiklah. Ini kartu nama saya. Takutnya besok, anda mungkin hendak menemui saya. Saya bisa luangkan waktu di kantor saya” ucap Ganindra menyodorkan secarik kartu nama dirinya. “Semoga saja tidak,” ucap Amelia lugas dan berjalan cepat menuju lantai bawah. Dia menemui Adimas yang masih menghabiskan makan malamnya dan meminta kunci mobilnya kemudian menuju parkiran dan kembali ke rumah. Ganindra menyusul Amelia tidak lama, turun ke lantai bawah dan menghampiri Adimas. “Adimas, beritahu pewarta berita mengenai kabar itu. Kasihan mereka sudah menahan sehari berita ekslusif dari kita.” “Baik Tuan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD