Perusahaan Adiwiguna Corporation menjadi gempar, begitu mendengar kabar jatuhnya pesawat berisi salah satu pewaris kerjaan bisnis mereka, membuat para petinggi dan pemegang saham melakukan rapat mendadak untuk menentukan siapakah yang akan meneruskan tampuk kepemimpinan Adiwiguna Corporation.
Salah satu opsi yang kemungkinan dipilihnya adalah menunjuk adik perempuan Ganindra yang bernama Ayodia Putri Adiwiguna yang saat ini berkeliling dunia, dan entah berada di negara mana sekarang. Kemampuan Ayodia tentu saja masih diragukan tetapi hal ini perlu dilakukan tindakan yang nyata dikarenakan urgensi.
Begitu banyak wartawan dan pencari berita berkumpul di depan gedung pencakar langit milik Adiwiguna Corporation, demi memastikan kabar yang beredar sekarang. Semuanya hanya berharap, salah satu orang penting atau petinggi di perusahaan tersebut bisa bersuara dan mengonfirmasi kabar yang simpang siur ini.
Sementara itu,
Pesawat jet dengan logo AC di ekornya telah bersandar aman di bandara Halim Perdana Kusuma. Hanya mobil jemputan berlogo RR menjadi saksi bahwa seorang pewaris Adiwiguna Corporation, Ganindra Perkasa Adiwiguna dalam keadaan hidup.
Mobil itu menembus jalanan ibukota, dengan pengawalan seadanya. Tentu saja ini adalah niat dari Ganindra yang ingin merahasiakan kedatangannya. Alangkah tidak eloknya, mengacaukan pesta dan impian para penjilat dan pengecut yang bahagia mendengar kabar kematiannya. Bukankah lebih baik, memberi kejutan di akhir agar semua para orang-orang yang berlindung dan menikmati kerja kerasnya, terperangah tak percaya.
Tiba di depan gedung pencakar langit, senyum di sudut bibir Ganindra terbit melihat kerumunan wartawan dan pencari berita. Mungkin pesta harus berakhir lebih cepat dari semestinya, pikirnya.
Tentu saja kedatangannya, disambut tatapan takjub dan tak percaya. Dia berdiri dengan gagah setelah turun dari mobil yang ditumpanginya, mengancing jasnya dan berjalan menuju kerumunan wartawan. Adimas dengan sigap berada disisi Ganindra dan memberi jarak kepada pencari berita.
“Tuan Ganindra, apa betul berita yang beredar bahwa anda berada di dalam pesawat yang jatuh pagi tadi?” tanya wartawan dengan menyodorkan alat perekam di depan wajah Ganindra, sontak mendapat sedikit dorongan dari Adimas.
“Tentu saja tidak. Toh sekarang saya sudah berdiri di hadapan anda,” jawab Ganindra dengan senyum dingin khasnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi, apakah anda bisa mengonfirmasi ke kami?”
“Ternyata, Tuhan masih mencintai saya dan melindungi Adiwiguna Corporation masih berada di bawah kekuasaan saya. Maaf kepada pihak yang harus kecewa dengan ketidakbenaran kabar kematian saya,” ucapnya lagi, dan akhirnya berjalan membelah kerumunan wartawan.
Para bodyguard dan pengamanan gedung bersiap untuk melindungi pemimpin tertinggi mereka.
“Tuan, apakah kita menuju ke ruang rapat?” tanya Adimas saat keduanya sudah berada di dalam lift.
“Tidak Dimas, jangan rusak kesenangan mereka. Kita ke ruanganku saja, ada sesuatu yang harus saya lakukan,” Ganindra berjalan dengan langkah yang tegap menuju ruangannya. Seperti biasa tidak ada yang berani untuk menatapnya sepanjang berjalan di koridor kantor.
“Baik Tuan.”
Setibanya Ganindra di ruangannya, dia akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya dia juga mempunyai rasa khawatir, bahwa dirinya ternyata hampir berada di ambang kematian, apakah dirinya terlalu kejam berbahagia di balik kematian seseorang yang harus menikah dengan gadis pujaannya.
Apakah ini tidak terlalu kejam, bahwa kematian dan kehidupan hanyalah segaris tipis yang tak kasat mata. Apakah dirinya merasa perlu bertanggung jawab terhadap kehidupan pria itu. Bagaimana perasaan keluarga pria itu, bagaimana perasaan tunangannya. Entahlah, Ganindra tidak mampu untuk menerkanya.
“Hmm…Dimas. Kamu bisa tinggalkan ruangan ini,” perintah Ganindra tapi tetap menatap buku di hadapannya.
“Baik Tuan!” ucap Adimas mengangguk patuh tanpa mendebat, namun ada rasa penasaran dari Adimas. Bahwa atasannya sedari tadi di atas pesawat membaca dengan serius tanpa jeda, halaman per halaman dari buku yang tetap dipegangnya. Seberapa berhargakah benda itu bagi atasannya.
Selepas kepergian Adimas, gawai Ganindra berbunyi.
“Halo Mas, kamu beneran masih hidupkan. Kamu baik-baik aja kan?” suara di seberang sana terdengar cemas
“Hey-hey…santai, jangan kalap gitu kalo ngomong. Iya sayang aku baik-baik aja. Aku gak mungkin mati semudah itu.”
“Mas, kamu inget kan Papa dan Mama. Hanya kamu yang aku miliki di dunia ini.”
“Iya cantik. Udah ah jangan khawatir gitu. Mas gak akan secepat itu mati. Aku harus lihat kamu nikah dulu.”
“Mas tuh yang harus nik…eh gak boleh. Mas gak boleh nikah. Ya udah mas. Tiga hari aku balik ke Indonesia. Aku harus hadirin fashion week di Paris dulu baru balik.”
“Iya, kamu seneng-seneng aja. Aku tunggu kamu yah, mas kangen banget.”
“Iya mas aku juga. Aku kangen dan sayang mas banyak-banyak.”
Setelah selesai menutup panggilannya dari seseorang yang sangat disayangi oleh Ganindra. Ada satu hal yang mesti dilakukan Ganindra.
“Halo.”
“Halo, ya Tuan.”
“Aku kirimin kamu informasi. Tolong kamu cari tahu pria ini dan wanita itu. Aku tunggu kabarnya secepatnya,” perintah Ganindra memberikan informasi berisi nama Baskara Adiwisastra, dan Amelia Anandita, lengkap dengan usia, pekerjaan dan alamatnya. Tentu saja semua itu ada di dalam buku yang ditinggalkan pria itu di Bandara.
“Baik Tuan, akan segera saya laksanakan.”
Sedangkan di tempat terpisah, Amelia dengan perasaan cemas mengunjungi keluarga Baskara tunangannya untuk mencari tahu kabarnya. Setidaknya dia berharap bisa saja Baskara lebih dahulu memberi kabar ke keluarga mengenai keberadaannya.
“Assalamu alaikum ibu,” sapa Amelia menyapa ibu Baskara.
“Eh walaikum salam nak Amel. Masuk nak,” sambut Ibu Baskara dengan wajah tersenyum. Dia menghentikan sementara pekerjaannya saat melihat kedatangan Amelia. Tidak tampak persiapan pernikahan di rumah Baskara, karena tentu saja semua diserahkan ke Amelia untuk mengurusinya.
“Ibu…hm….apa ada kabar dari Mas Baskara?” tanya Amelia ragu, takut pernyataannya ini malah menimbulkan rasa khawatir di hati Ibunda Baskara.
“Gak ada nak. Ibu kira, Mas Bas dateng kan hari ini?” tanya ibu Baskara balik.
“Iya bu, rencananya. Tapi sampai sekarang hapenya gak bisa dihubungi bu.”
“Oh begitu. Tapi apa semua baik-baik aja nak? Soalnya sejak pagi kok perasaan ibu gak enak yah?”
Deg
Amelia merasa dia dan ibu Baskara mempunyai firasat yang tidak enak. Apakah benar Baskara baik-baik saja.
“Oh mungkin mas Baskara, gak jadi pulang hari ini bu. Apa mungkin tiketnya gak dapet atau ada halangan dari kantor. Ibu tenang aja. Amel akan tetap berusaha hubungin mas Baskara bu.”
“Iya nak, tapi pernikahan kalian kan sisa 7 hari lagi.”
“Iya bu. Tapi aku percaya dengan mas Baskara dia pasti akan menuhin janjinya,” ucap Amelia, tanpa sadar ikut menyemangati dirinya sendiri.
Amelia sempat berbincang-bincang dengan keempat saudara Baskara, Denok, Endang, Ajeng dan Galih. Semuany menyambut bahagia kedatangan calon kakak iparnya. Amelia berusaha menutupi kegundahan hatinya dengan bercanda dengan mereka. Semua rasa khawatirnya dicoba ditepisnya.
Malam telah datang, berselimut kegundahan Amelia. Malam yang tidak biasa, begitu panjang dan penuh tanda tanya semuanya berujung pada satu tanya dimana Baskara sekarang.
Tak kunjung lelah, Amelia mencoba sekali lagi menghubungi ponsel Baskara, tapi hanya jawaban dari operator saja yang terdengar.
Tok…tok…tok…
“Assalamu alaikum, nak kamu udah tidur?” suara ibu Amelia terdengar di balik pintu
Krek
“Iya bu, belum,” jawab Amelia dengan wajah lesu.
Ada sedikit rasa khawatir dari ibu Amelia, sepulangnya anaknya dari rumah tunangannya Baskara. Ajakan makan malam yang ditolaknya hanya ada wajah lesu dan sendu putrinya. Setiap ibu pasti memiliki kontak batin dengan anaknya, tanpa perlu bertanya, ibu pasti sudah bisa menebak apabila anaknya punya masalah yang disembunyikannya.
“Kamu kenapa nak? Ada masalah? Udah ada kabar dari nak Bas?” tanya Ibu Amelia, saat mereka berdua sudah duduk di tepi ranjang.
“Belum bu…Mas Bas…,” air mata yang sedari tadi dicoba ditahan oleh Amelia akhirnya jatuh juga. Rintihan dan tangisan penuh sesak.
“Eh, jangan buat khawatir nak. Kamu kenapa?” ibu Amelia panik dan memeluk putrinya sayang.
“Aku…aku gak tahu mas Bas dimana sekarang bu, sampai sekarang hapenya gak bisa dihubungi. Aku takut dia salah satu penumpang yang ada di pesawat yang jatuh tadi pagi bu,” lepas, semua kata-kata yang sedari tadi ditahan Amelia untuk dilontarkan, akhirnya keluar juga. Semua rentetan kejadian demi kejadian, dicoba untuk disatukan dalam suatu asumsi yang dicoba ditepisnya.
“Ah jangan ngaco kamu. Gak mungkin, berita korban yang jatuh itu gak ada nama Baskara. Kamu berdoa yah nak. Semoga dia masih dalam perjalanan kesini. Dia pasti menuhin janjinya ke kamu. Ibu yakin. Dia pria yang bertanggung jawab.”
“Iya bu, terima kasih bu.”
“Jadi kapan kamu mulai cuti?”
“Besok hari terakhir Amelia kerja bu. Setelah itu baru cuti.”
“Iya masih ada 6 hari lagi. Jangan khawatir yah nak.”
“Iya bu. Aku sayang ibu.”
“Ibu juga, ayah apalagi.”
Setelah melepas pelukannya. Ibu Amelia meninggalkan kamar putrinya.
“Gimana bu, Amelia baik-baik aja?” tanya Ayah Amelia dibalik tembok sedari tadi bersembunyi.
“Iya dia agak khawatir dengan kabar nak Baskara. Tapi semoga semuanya baik-baik aja.”
“Iya bu. Ayah percaya nak Baskara tidak akan pernah mengecewakan putri Ayah.”
Semua pembicaraan ini ternyata terdengar oleh Amelia yang belum menutup pintunya. Rasa kasih sayang orangtuanyalah yang membuatnya bisa bertahan.
Amelia mencoba memejamkan mata, semoga keadaan bisa saja berubah besok pagi dan harapannya adalah kabar bahagia yang sangat diharapkannya.