TAWARAN

2294 Words
H-5 PERNIKAHAN Rasa lelah menghampiri Amelia sejak semalam, lelah batin lebih tepatnya. Pria itu berhasil memporak porandakan semua keteguhan hatinya. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkannya seakan mengajak dirinya kembali ke dalam rasa khawatirnya yang sempat ingin ditepisnya. Tok…tok…tok… “Amelia, bangun nak. Sarapan!” ketukan pagi hari, aktivitas rutin Ibu Amelia. Bentuk kehangatan yang tetap dijaga oleh mereka adalah menikmati sarapan bersama keluarga. Amelia bangun dengan rasa malas membuka pintu dengan mata setengah terpejam. “Iya bu, Amelia cuci muka dulu!” ucap Amelia membuka pintu. “Iya nak. Ayah udah tungguin di bawah.” “Iya ” Setelah menutup pintu, Amelia menuju kamar mandi mencuci muka dan mengikat rambutnya dengan asal. Hari ini rencananya dia akan fitting baju mempelai pria untuk Baskara. Tapi jangankan untuk melaksanakan rencana itu, keberadaan Baskara adalah hal yang lebih utama untuk diketahuinya. Amelia kemudian bergabung di meja makan bersama kedua orangtuanya. Ayahnya menikmati sarapan sembari memencet tombol televisi mendengarkan berita pagi. Breaking news Setelah dua hari pencarian atas menghilangnya dari radar, pesawat rute Batu Licin-Banjarmasin yang lepas landas dari Bandara Bersujud Batu licin, hampir semua identitas penumpang telah diketahui berdasarkan manisfestasi pesawat berjumlah 10 orang pria, 29 orang wanita dan 5 orang balita dan anak-anak. Dua hari lalu diberitakan bahwa pesawat tersebut berisi salah satu pewaris Adiwiguna Corporation. Namun belakangan diketahui, bahwa informasi yang beredar adalah salah. Ganindra Perkasa Adiwiguna berhasil selamat dan lolos dari kejadian naas tersebut. Sedangkan berdasarkan informasi dari pihak terkait bahwa pria bernama Baskara Narendra, adalah pria yang berada di dalam pesawat tersebut. Pihak KNKT masih belum mendapatkan kejelasan mengenai hilangnya pesawat tersebut dan terus menyelidiki kejadian hingga hari ini. Kami tetap akan melaporkan berita dan perkembangan terbaru mengenai pesawat yang hilang ini. Prang… Semua menoleh ke arah suara berisik itu. Piring yang hendak dibawa Amelia menuju wastafel jatuh dan pecah. Badan Amelia bergetar dan kakinya seakan tidak sanggup untuk menopang tubuhnya. Nama itu, yah Baskara Narendra. Terlalu kebetulan, walaupun banyak orang yang mempunyai kesamaan nama. Tapi bukankan semua ini terlalu jelas. Hari itu Baskara akan berangkat dari lokasi dan tujuan yang sama, semua persis tempat dan waktu kejadiannya. “Amel…” ibu Amelia sontak berdiri memeluk putrinya yang tertunduk dan menutup kedua wajahnya menangis sesenggukan. Putrinya yang ceria dan terbiasa bercanda, beberapa hari belakangan ini kehilangan jati dirinya. Hanya aura gelap yang mengelilinginya. “Ibu, ayok bawa Amelia ke kamarnya.” Saran Ayah Amelia. Ibu Amelia menggandeng putrinya menuju kamarnya dengan Ayah Amelia menyusul di belakanganya. Semua syok dengan berita pagi ini. Tidak percaya, tentu saja. Ini adalah fakta yang sebisa mungkin ingin mereka tolak. “Ibu, Mas Bas…” terbata-bata dan tak mampu melanjutkan kata-katanya, Amelia hanya mampu merintih. Kepedihan dan rasa kehilangan datang bersamaan, bahkan tak mampu untuk diterimanya. “Iya nak kamu tenang dulu,” ibu Amelia mengelus punggung putrinya dengan lembut. “Berita ini gak bener kan Yah,” tanya Amelia memastikan kebenaran yang diharapkannya hanyalah sebuah lelucon atau istilah jaman sekarang prank. “Nak…istighfar nak. Kamu jangan begini,” Ayah Amelia mengenggam tangan putrinya yang dingin dan bergetar. “Ayah, kenapa Ayah. Mas Baskara gak mungkin ninggalin Amelia,” penolakan demi penolakan hanya itu kata yang mampu diucapkan oleh Amelia. “Iya nak. Semua ini adalah takdir dan yakinlah Tuhan pasti akan menunjukkan kemana, dan yakinlah menuju muara kebaikan.” “Tapi Yah, Ayah gak ke kantor?” tatap ibu Amelia ke arah suaminya menjeda perbincangan keduanya. “Gak usah bu. Ayah bisa ijin hari ini. Ayah khawatir dengan Amelia,” “Tapi Ayah, ada kegiatan kan di kantor walikota. Undangan dari bapak Walikota” “Tapi bu…” “Gak kok Ayah. Ayah berangkat aja, Amelia baik-baik aja. Ada ibu disini. Lagian ini hanya kabar simpang siur. Semoga saja ini salah Yah,” ucapan penyemangat bagi Amelia, terkesan naif tapi tetap diyakininya. “Iya nak. Kamu yang sabar yah. Sampai ini ada kepastian, kamu gak boleh menyerah.” “Iya Ayah. Amelia sayang Ayah,” pelukan erat Amelia ke Ayahnya dirasanya mampu meredam rasa sakitnya. “Ayah dan Ibu lebih sayang kamu. Putri kami satu-satunya.” “Terima kasih Yah.” Sepeninggal Ayahnya, Amelia meminta ibunya agar memberikan waktu untuk dirinya sendiri. Meratapi, tentu saja. Tapi alangkah sedih ibunya, melihat dirinya yang terpuruk. Tiba-tiba ingatannya menjadi sebuah flashback. Bagaikan menyusul puzzle-puzzle rahasia yang saling terkait. Berujung pada satu nama. Ganindra Perkasa Adiwiguna. Sosok pria itu yang mendatanginya kemarin di kantor. Tepat saat kejadian, berita mengenai dirinya menjadi salah satu penumpang pesawat yang naas kembali menyadarkan Amelia. Setelah itu, sehari setelah kejadian hilangnya pesawat, pria itu mendatangi ke kantornya, mengajaknya makan malam dan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan aneh mengenai Baskara. “Calon suami anda dimana?” “Apakah anda yakin dia akan datang?” Semua pertanyaan ini kembali berulang dalam pikiran Amelia. Apakah mungkin pria itu sudah lebih dahulu mengetahui kejadian yang menimpa tunangannya Baskara. Apakah keberadaan Baskara di pesawat ada hubungannya dengan Ganindra. Mengapa Ganindra tidak berterus terang dan condong menjebaknya kepada pertanyaan yang tidak mampu dijawabnya. Apakah alasan dibalik semua ini. Amelia bangkit, menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap menuju ke suatu tempat. Dia membuka sesaat tas yang dipakainya kemarin. Kartu nama Tatapannya dengan jelas menyiratkan satu nama yang baginya perlu menjelaskan semuanya. “Amelia, kamu kemana nak?” tanya ibu Amelia mendapati putrinya turun dari lantai atas kamarnya, hendak keluar rumah melihat dari pakaian yang dikenakannya. “Ibu, Amel perlu menemui seseorang. Setelah itu mungkin Amelia akan ke tempat Ibu Baskara. Kami perlu saling memberi dukungan bu.” “Kamu hati-hati yah nak. Kabari ibu. Jangan ngebut.” “Iya bu. Gak kok. Aku gak akan buat ibu khawatir.” Perjalanan menuju sebuah tempat yang dilalui oleh Amelia. Tatapannya kadangkala kosong tapi sebisa mungkin ditepisnya mencoba menguatkan dirinya, untuk mengetahui satu kebenaran. Tiba di gedung berpuluh-puluh lantai. Amelia menuju meja resepsionis. “Maaf saya bisa bertemu dengan Tuan Ganindra.” “Apakah ibu sudah ada janji sebelumnya” “Tidak, tapi dia memberikan saya kartu nama ini kemarin. Katanya kapan saja saya bisa menemui dia.” “Oh baiklah bu. Nanti kami arahkan ke lantai ruangan beliau langsung.” Resepsionis itu bergegas mengarahkan Amelia menuju lantai teratas gedung tersebut. Satu yang tidak diketahui oleh Amelia. Kartu nama itu adalah kartu sakti. Kartu yang tidak akan diberikan oleh sembarang orang oleh Ganindra. Cukup memperlihatkan kartu nama itu, maka semua karyawan di gedung tersebut, akan segera hormat kepada tamu tersebut tanpa diminta. Selama di dalam lift, berkali-kali Amelia menghela napas panjang. Tindakannya menemui pria itu lumayan membuatnya berdebar. Yah berdebar, bukan dalam artian ketertarikan kepada lawan jenis tapi akan sosok pria yang dihadapinya dengan kekuasaan dan kewibawaan tersendiri yang dimilikinya. Bertemu dengan seorang perempuan terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangan Ganindra. Tok…tok..tok… “Permisi Tuan, ibu Amelia ingin ketemu.” “Silahkan masuk,” suara yang didengar itu bukan suara Ganindra, itulah yang ditangkap oleh Amelia. Ternyata benar, ada dua orang pria di dalam ruangan itu. Ganindra dan sosok pria yang sempat mengendarai mobilnya kemarin. “Apa maksud semua ini?” tanya Amelia dengan napas menggebu-gebu. “Wah…wah...Ibu Amelia tenang dulu. Silahkan duduk dulu. Baru kali ini ada tamu yang datang ke ruangan saya dengan wajah menyeramkan seperti itu,” lagi-lagi kalah. Amelia menuruti permintaan Ganindra. Pria itu bangkit dan duduk dengan angkuh menghadapi Amelia yang terlihat frustasi dan marah. “Tolong, apakah bapak bisa menjelaskan mengenai kabar berita pagi ini?” “Berita apa?” tanya Ganindra, bukan tidak ingin menebak tapi dirinya tidak ingin terjebak dalam pertanyaanya sendiri. “Berita mengenai pesawat yang hilang. Apa benar tunangan saya berada di dalam pesawat itu. Mengapa kemarin anda tidak memberitahukan hal ini. Apa maksud anda?” “Berita itu benar seperti adanya. Mengenai tunangan anda, itu bukan hak saya untuk memberitahukan kebenarannya, ada pihak terkait yang tentu saja punya kewenangan di dalamnya. Apa lagi dengan keyakinan anda yang besar mengenai keberadaan tunangan anda. Apa saya tidak terlalu kejam memupus harapan anda.” “Kejam lebih baik daripada harus menutupi kebenaran,” potong Amelia dengan sinis “Apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa anda masih hidup dan tunangan saya malah yang menjadi korban” “Hmm...sebenarnya…andaikan saya tidak bersimpati akan kematian tunangan anda.” Amelia mendelik tajam ke arah Ganindra. “Maaf maksud saya menghilangnya tunangan anda, ucapan anda sebenarnya terdengar kasar. Anda seperti menyesali bahwa saya masih hidup hingga sekarang.” “Maaf bukan maksud saya…” “Oke baiklah. Saya akan menjelaskan semuanya, tolong anda dengarkan dengan baik. Tidak ada pengulangan. Hari itu tunangan anda menemui saya, dan memohon untuk mengganti tiketnya ke hari berikutnya. Dia harus segera kembali ke Jakarta pada hari itu. Tentu saja saya menolak. Anda tahu saya lebih dari mampu untuk membeli tiket bahkan pesawat tersebut,” terdengar sombong dan angkuh tapi Amelia tidak bisa membantah dan tahu kekayaan yang dimiliki oleh Ganindra. “Wajahnya sangat frustasi, dan saya tidak tega melihatnya karena sejatinya saya memang mempunyai rasa iba kepada siapa saja,” kali ini, Amelia hanya mampu tersenyum sinis, kali ini benar-benar berbeda. Bahasa yang dikeluarkan terkesan menyombongkan diri. “Akhirnya saya menyetujui permintaannya. Naas, pesawat itu ternyata hilang saat lepas landas. Terus siapa yang harus disalahkan disini. Saya tidak pernah sekalipun ingin menjebak tunangan anda dalam kondisi seperti itu. Saya bukan peramal yang bisa meramalkan kejadian di masa depan. Jadi apa saya di posisi yang salah?” Amelia hanya mampu menggeleng. Kata demi kata yang dikeluarkan pria itu tidak ada yang salah. Sekali lagi dia tahu tidak ada yang salah disini. Hanya keberuntungan Baskara yang direnggut oleh Ganindra. “Baiklah, terima kasih atas penjelasan anda. Maaf saya salah sangka kepada Anda. Saya permisi!” Amelia bangkit dari tempat duduknya. “Tapi…saya bisa bertanggung jawab.” “Bertanggung jawab…!?” Amelia menoleh dan kembali mengulangi perkataan Ganindra “Yah, saya akan menggantikan Baskara menikahi anda. Setidaknya itu menebus rasa bersalah saya.” “Tuan!” Adimas yang hanya sebagai pendengar sedari tadi terkejut dengan pernyataan atasannya itu. “Apa!?” Amelia ikut pula terkejut. Kembali memastikan telinganya berfungsi dengan baik. “Tunggu, menggantikan…menebus rasa bersalah. Astaga, apa anda waras. Ini bukan soal membeli baju online yang bisa digantikan saat salah memilih size. Ini masalah kehidupan, pernikahan lebih tepatnya. Terus rasa bersalah....beberapa menit lalu anda mengatakan anda tidak bersalah, kenapa harus menebus apa yang bukan menjadi kesalahan anda. Saya benar-benar tidak habis pikir Tuan Ganindra yang terhormat.” “Pernikahan kamu tinggal enam hari lagi kan. Semuanya sudah siap. Apakah kamu sanggup menghadapi semua cemoohan orang yang mungkin saja akan menghina kamu gagal menikah.” “Saya tidak peduli. Orang tua saya pasti mengerti. Mereka lebih menginginkan kebahagiaan saya daripada pernikahan pura-pura yang anda tawarkan.” “Baiklah, itu terserah anda. Saya sudah memberikan penawaran. Tapi anggap saja saya ada di pilihan terakhir anda.” “Semoga saja saya tidak berada di pilihan terakhir itu.” “Saya suka rasa percaya diri anda” “Terima kasih. Saya permisi.” Amelia meninggalkan ruangan Ganindra dengan perasaan lebih kacau dibandingkan sebelumnya. Bukannya niatnya tadi untuk menenangkan perasaannya tapi yang terjadi perasaannya lebih buruk dari pagi tadi. Tawaran pernikahan. Terdengar lucu bagi Amelia, pernikahan pura-pura dengan pria yang bahkan tidak bisa tersenyum ke orang lain, menyedihkan. Sungguh kepribadian yang sangat jauh berbeda dengan Baskara. Kepribadian yang jelas bertolak belakang. Baskara yang gemar bercanda, mengayomi dan menyenangkan. Pria itu sekali lihat saja dia adalah sosok pria yang dingin dan tanpa kasih sayang. “Maaf Tuan, saya lancang. Apakah benar yang saya dengar tadi,” cecar Adimas setelah kepergian Amelia. “Benar, apa ada yang salah?” “Tapi tuan. Anda tidak boleh memiliki perasaan itu. Itu bisa berbahaya tuan.” “Saya tidak akan jatuh cinta pada wanita itu.” “Tapi Tuan, anda menatapnya dengan pandangan berbeda. Bahkan Rachel Hartawan yang terang-terangan menyukai anda. Tidak pernah mendapatkan perhatian seperti itu.” “Itu hanya rasa iba Dimas. Kamu jangan berlebihan.” “Akh terserah Tuan saja. Saya takut dengan reaksi Nona Ayodia andaikan dia tahu kabar ini.” “Saya yang akan bertanggung jawab.” Adimas hanya mampu menghela napas panjang. Sekuat apapun dia menolak keputusan atasannya. Tentu saja Ganindra tidak akan mengikuti kecuali satu, hanya Ayodia yang mampu mengubah keputusan Adimas. Dia yakini itu. Sementara itu, Amelia kembali menenangkan perasaannya menuju tempat berikutnya. Benar, kediaman Baskara. Dia tidak mampu membayangkan reaksi keluarga Baskara. Bagaiman dengan kehidupan mereka semua. Apakah adik-adik Baskara mampu melanjutkan pendidikannya. Rasanya otak Amelia bekerja lebih keras hari ini. “Assalamu alaikum,” sapa Amelia memasuki rumah sederhana berpagar putih. “Wa alaikum salam,” hanya ada sambutan dari adik pertama Baskara, Denok yang saat ini menempuh pendidikan guru bahasa inggris di salah satu kampus negeri. “Mba…,” satu ucapan tapi mampu menimbulkan kerisauan dalam diri Amelia. “Hey, kamu kenapa?” “Ibu, mba. Ibu jatuh pingsan tadi.” “Astaghfirullah. Jadi ibu dimana sekarang. Kamu gak panggil dokter,” titah Amelia tetapi Denok hanya menggeleng dan menangis. “Ibu ada di dalam. Kami udah mijitin dia dari tadi. Ibu hanya menangis mba. Bahkan menolak makan.” Setengah berlari Amelia masuk ke dalam kamar yang sudah dihapalnya. Rumah ini sudah sangat familier bagi Amelia. “Ibu…” “Nak Amelia,” Ibu Baskara mencoba bangkit menyapa Amelia. Tapi Amelia menahannya dan memaksanya untuk segera tidur. “Nak…apa kamu denger kabar tadi pagi. Anakku Baskara, di dalam pesawat itu nak. Bagaimana nasibnya. Ibu…” “Ibu…ibu tenang dulu yah bu,” Amelia mendekati ibu Baskara dan memeluknya, kemudian mengusap punggungnya lembut. “Ini hanya kabar simpang siur bu. Belum jelas kebenarannya. Kita masih punya harapan, Amel yakin Mas Baskara masih hidup.” Benar dugaan Amelia, dirinya dan keluarga Baskara perlu saling memberi dukungan dan kekuatan untuk menghadapi cobaan ini. Amelia mencoba bangkit, dan menyadari perlu segera mengambil alih tanggung jawab terhadap kehidupan ibu dan adik-adik Baskara. Tapi tetap berdoa semoga Baskara masih dalam keadaan hidup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD