Tampak Alva mengaruk belakang lehernya. Ia merasa tidak enak, karenanya Adam harus repot-repot datang ke rumah pada pagi.
"Papa cuman mau bilang bahwa proyek kita itu biar Papa yang wakilin ke Prancis. Kan kamu pengatin baru, jadi di disini aja sama Dellia."
"Tapi kan bisa di bahas di Kantor," balas Adam dengan nada yang sangat tampak dengan kekesalan.
"Iya sakalian kamu ke sini, kan kamu jarang ke sini kalau nggak disuruh."
Sial, Adam ingin mengumpat di depan wajah pria tua ini. Sungguh berita yang tidak penting, bahkan hal seperti ini bisa di bahas melalui pesan.
Tidak ingin banyak bicara, Adam putar balik dan hendak pulang kembali ke rumah.
"Adam, ayo ke Masjid bareng Papa," teriak Alva yang sekarang emang sedang berada di lantai atas, berbeda dengan Adam yang sudah berada di lantai satu.
"Adam nggak mau," balas Adam ikut berteriak, setelahnya Adam hanya mendengus dan mengambil buah anggur di atas meja makan dan hanya menatap dengan datar Alva yang melewatinya menuju pintu utama untuk ke Masjid.
Buah anggur adalah favorit Adam, jika tidak Adam tidak ingin berlama-lama di rumah ini. Setelah sekiranya ia sudah puas, Adam hendak kembali ke rumahnya.
"Kakak," teriak Ayi dari atas dengan pipi perempuan itu yang mengeluarkan banyak air mata.
Adam melirik ke arah Ayi, hingga gadis itu tiba di depannya dan memeluk Adam dengan erat.
"Kak, tolong Ayi. Hiks, tolong Ayi," Adam terdiam beberapa saat setelahnya ia mendorong bahu Ayi hingga pelukan mereka terlepas.
"Kak, bang Haikal ancam Ayi Kak. Dia bilang, dia bakalan bunuh Ayi kalau Ayi nolak dia. Kakak kan tau Ayi nggak mau sama berandalan kayak dia. Ayi bilang sama dia, kalau Ayi punya Kakak yang bakalan jaga Ayi, dan Haikal bilang Kakak teman dekatnya. Dan yang bikin Ayi nggak percaya, Haikal bilang Kakak malah bakalan bahagia kalau liat Ayi mati."
Adam hanya diam mendengar penjelasan Ayi, padahal Adam tidak bertanya.
"Bilang aja sana sama Papa kamu, dia kan sayang tu sama kamu," setelah itu Adam langsung ke luar dari rumah. Ia tidak perduli dengan teriakkan Ayi.
Adam tidak perduli, ia juga tidak berharap Ayi mati tapi ia juga tidak berharap Ayi akan terus hidup. Adam memang sudah seperti mati rasa, ia tidak perduli dengan kedua adiknya. Sekarang pun Adam tidak tau ia sayang dengan siapa, karena Adam merasa tidak ada seseorang yang manjadi kelemahannya.
Di lain tempat, Dellia terus melihat pesan yang barusan di balas oleh Adam. Dellia lagi-lagi terkejut saat bangun dari tidur ia tidak menemukan keberadaan suaminya. Sungguh Dellia tidak suka ditinggal saat ia belum bangun dari tidur.
"Nona jangan gerak terus, nona kan lagi sakit."
Ini mungkin sudah ketiga kalinya Dellia di tegur. Dellia bersyukur ia mempunyai tempat curhat saat tinggal di sini, awalnya Dellia merasa ia pasti akan bosan. Tapi semua ketakutannya sinar.
"Udah nggak papa kok Mbok."
Mbok Ira tampak menghela nafasnya lelah. Ia sebenarnya tidak tega melihat majikannya yang tampak pucat tapi masih mau berusaha memasak untuk suaminya.
Entah kenapa sejak melihat Nona barunya, Ira sudah merasa nyaman dengan Dellia. Melihat tutur kata Dellia yang lembut, membuat Ira sadar jika Dellia tidak sombong.
Selanjutnya Dellia memasak sayur kangkung. Ia melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dan jam segini pun Adam belum pulang, hal ini membuat Dellia khawatir kepada suaminya.
Kepalanya masih sedikit pusing, tapi tetap saja Dellia merasa tidak enak jika tidak memasak untuk suami.
Masakan sudah terhidang di atas meja. Dan tidak lama dari itu, suara langkah kaki yang terdengar membuat Dellia langsung melihat siapa yang datang. Langsung saja Dellia mendekat dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dan Adam menyambutnya. Rasa senang memuncah, ia senang saat melihat suaminya yang sudah pulang dari kerja.
Dengan cangung Dellia menarik pelan kedua tangan Adam dan menuntunnya ke maja makan dan syukurnya Adam tidak menolak.
"Makan Mas," tawar Dellia, setelahnya perempuan cantik itu ikut duduk di samping Adam. Setelah itu meja makan hanya dihiasi dengan detingan suara sendok yang beradu dengan piring.
"Alhamdulillah," syukur Dellia saat makanannya sudah habis, ia melirik Adam yang ternyata sudah selesai makan juga.
"Enak Mas?" tanya Dellia. Ia meremas kedua tanganya gugup, ia tidak sanggup menerima kenyataan jika Adam tidak menyukai makanannya.
"Kok beda ya rasanya."
Dellia semakin deg-degan mendengar jawaban dari Adam.
"Rasanya lebih enak dari biasanya. Apa hari ini beda yang masak?" tanya Adam.
"Aku Mas yang masak," dapat Dellia lihat Adam yang tampak memandang Dellia intens, hal itu membuatnya semakin malu.
"Makasih, tapi kamu nggak perlu gini De. Mereka digaji emang untuk menjalankan tugasnya."
"Sama-sama Mas. Nggak masalah, ini emang sudah tugasku sebagai istri."
"Ni," Adam menyerahkan sebuah kartu ATM lalu mendorong pelan ATM itu ke hadapan Dellia. Dengan sedikit canggung Delia mengambil ATM itu.
Adam tidak terlalu paham tentang agama tapi bukan berarti ia bodoh dengan hal seperti ini. Sebenarnya Adam engan jika harus memberikan sebagian penghasilannya kepada Dellia, tapi ia hanya berjaga-jaga akan sangat rumit jika Dellia mengadu kepada kedua orang tuanya.
"Makasih Mas."
"Nggak perlu makasih, ini emang sudah tugas saya sebagai suami," jawab Adam sambil terkekeh hambar, ia mengikuti nada bicara Dellia tadi.
Dellia mengangguk pelan tanpa menghadap ke arah Adam. Terkadang Adam heran wanita ini sering kali menunduk saat berbicara dengannya.
"Mas, Dellia izin buat kuliah ya besok. Nggak enak juga kalau kelamaan izin, nanti makin banyak tugas yang menumpuk."
"Iya, biaya kuliah kamu bakalan aku tanggung semuanya. Dan uang belanja sehari-hari pun sudah saya beri pada kepala pelayan, jadi ATM yang saya beri itu hanya untuk kamu seperti membeli tas atau apa pun yang istri Mas perlukan."
Kata keperluan istri Mas membuat pipi Dellia memerah, ia senang saat ucapan itu keluar dari bibir Adam. Ia terus berdoa supaya penikahan mereka bisa abadi bahkan di akhirat nanti.
****
Tidak terasa penikahan mereka sudah berjalan selama tiga bulan, dan hubungan mereka pun berjalan semestinya. Dan mereka pun belum pernah bertengkar, mungkin karena Dellia dan Adam sama-sama mengerti satu sama lain.
Dellia sangat bersyukur ia bisa mempunyai suami yang sangat pengertian dan perduli seperti Adam, walaupun terkadang Adam pulang sangat larut malam. Tapi setiap akhir pekan suaminya itu pasti mengajak Dellia jalan-jalan. Dellia merasa sangat bersyukur memiliki suami seperti Adam.