“Ada apa, nyah?” Ima menyadari ketidak beresan pada nyonyanya ketika Vania kembali ke dalam kamar. Wajah sendu, sepasang mata sembab yang memperlihatkan jelas kepadanya bahwa ia habis menangis saat berada di luar beberapa lama. Sayangnya pertanyaan itu tidak direspon oleh Vania, majikannya itu lebih memilih menggeleng perlahan seraya berjalan mendekati Jordan yang terlelap.
“Apa dia rewel tadi?” Tanya Vania sembari menatap wajah putranya yang begitu polos saat terlelap. Di saat itu pula Laurent menghampiri Vania dan berdiri di samping, seakan meminta jatah perhatian juga dari ibunya.
“Tidak, nyah. Tuan muda kecil nyenyak sejak habis minum s**u. Nona Laurent juga sibuk main sendiri.” Jawab Ima yang tampak sudah pasrah karena pertanyaannya tidak mendapatkan tanggapan. Ia bisa menebak kira-kira apa yang terjadi pada majikannya. Melihat tampang Vania yang sedih itu sudah bisa dipastikan bahwa bukan kabar baik yang akan disampaikan nyonya muda itu. Sekalipun tuan Daniel-nya sudah pulang, rupanya kehadiran pria itu tidak membuat Vania merasa aman dan di posisi yang diuntungkan.
“Mama kok kelihatan sedih? Mama habis nangis lagi ya? Nenek galak itu jahatin mama lagi ya?” laurent menyentuh wajah Vania yang sembab, sentuhan dari tangan kecilnya itu memberikan kehangatan yang berarti bagi Vania. Betapa jitu tebakan seorang anak kecil yang tidak tahu apa apa itu. Hati yang lembut dan polos yang bisa merasakan beban yang dipendam oleh ibunya.
Vania mengalihkan tatapan kepada Laurent, gadis kecilnya itu tampak murung, tak ada semangat yang terpancar dari sepasang mata teduhnya. Ia menyentuh puncak kepala putrinya kemudian mengelus dengan lembut. “Mama tidak nangis kok, tadi waktu anterin papa ke depan, mata mama kelilipan. Laurent mandi dulu ya, jangan terlalu sore mandinya nggak baik.”
Laurent mengangguk patuh, cukup polos untuk percaya apa yang dikatakan oleh Vania bahwa dia baik-baik saja. “Iya ma. Laurent mandi di kamar mama ya?”
“Iya, mandi di sini saja nak. Sementara ini kita sama-sama dulu di kamar ini ya.” Ujar Vania yang sebisa mungkin memberikan senyuman terbaiknya meskipun getir karena dipaksakan setengah hati. Laurent berjingkrak kegirangan lantaran mendapatkan akses menggunakan kamar mandi utama di kamar ini. Dia sudah antusias bermain di dalam bak mandi dan bermain dengan busa sabun. Kebahagiaan yang cukup polos dan mudah didapatkan oleh anak sekecil itu. Dan Vania cukup lega serta berusaha menutupi apa yang terjadi sebisa mungkin agar tidak menyakiti hati putrinya. “Asyik, Laurent mau mandi busa.” Celetuk Laurent kemudian berlari menuju kamar mandi dan menghilang di balik pintu yang tertutup rapat itu.
***
Vania menghela nafas kasar, rahangnya terasa kaku karena terlalu memaksakan diri untuk tersenyum padahal hatinya sesak. Ima sedari tadi memperhatikan gerak gerik Vania, ia bukan Laurent yang polos dan mudah tertipu oleh kata kata manis. Ima tahu ada yang tidak beres dengan majikannya dan mengerti bahwa nyonya muda itu berusaha menyembunyikan di hadapan buah hatinya.
“Nyonya, saya minta maaf tadi agak kepo.” Ujar Ima penuh penyesalan, ia menunduk demi menunjukkan sikap menyesalnya.
Vania menatap asisten rumah tangganya itu seraya menggeleng. “Nggak perlu minta maaf kok, aku mengerti kalau kamu peduli. Aku hanya tidak ingin anak-anak ikut menanggung beban pikiranku. Mereka masih terlalu kecil untuk tahu masalah orang dewasa. Aku tidak mau menyakitinya, terutama Laurent. Cukup di masa lalu saja dia terluka, di masa sekarang ini aku akan melindunginya.”
Ima ikut sedih mendengar curahan hati Vania. Walau bukan ia yang mengalaminya, namun prahara rumah tangga majikannya itu sudah menjadi rahasia umum baginya. Ima bisa mengerti keresahan yang dirasakan oleh Vania tetapi tidak tahu harus berbuat apa untuk membantu meringankan beban penderitaan nyonya muda itu. “Nyonya kalau perlu teman bicara, Ima siap mendengarkan. Sebenarnya apa yang terjadi tadi? Tuan Daniel tidak berada di pihak anda?” tebak Ima, walau terdengar lancang tetapi ia mengandalkan feelingnya. Jika Daniel mendukung Vania, lalu untuk apa kesedihan itu mendera batin Vania sekarang?
Vania menghela nafas kasar, terlalu rumit dikatakan meskipun ia percaya bahwa Ima ada di pihaknya dan bisa menjadi pendengar yang baik. Sambil mengatur nafasnya, Vania pun meresponnya. “Aku ... tidak habis pikir. Mengapa kebahagiaan itu sulit didapatkan? Terlalu naif berpikir semua sudah baik-baik saja, tetapi ternyata semakin dikejar, kebahagiaan itu semakin kencang berlari meninggalkan aku.”
Ima yang belum melepas lajang jelas tidak paham definisi kebahagiaan yang semakin lari ketika dikejar itu. Ia hanya menjadi penyimak dari lika liku rumah tangga tuan dan nyonya-nya, namun secara pengalaman, ia sama sekali belum pernah merasakannya langsung. “Ng ... Mungkin ini yang namanya ujian, nyah. Siapa tahu setelah ujian ini berakhir, nyonya akan mendapatkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Yang sabar ya, nyah. Pokoknya tenang saja, Ima akan selalu ada di pihak nyonya. Tidak peduli tuan bagaimana, Ima berdiri di sisi nyonya jika lawannya adalah nenek lampir itu.” Cebik Ima yang memang gemas dengan tingkah semena mena wanita tua yang muncul dengan pengakuan mengejutkan itu. Sungguh belum bisa diterima dengan nalar, bagaimana kemunculannya serta hubungannya dengan Daniel.
Vania masih bungkam, terlalu lemah untuk menjelaskan benang kusut di antara ia dan Daniel serta wanita yang mendadak wajib ia panggil ibu mertua. Butuh waktu baginya untuk menenangkan diri dari shock, diam memang yang paling tepat untuk masa penyembuhan hatinya. Sambil menunggu waktu yang terasa panjang dan tak kunjung mengantarkan malam tiba. Ia tak sabar ingin melihat Daniel kembali ke rumah agar rasa percaya dirinya sedikit bertambah. Rumah ini kembali membuat Vania merasa sangat tidak betah. Ia merasa kamar adalah tempat berlindung yang paling aman. Sebisa mungkin tidak ingin keluar dan berurusan dengan wanita tua itu.
“Tapi nyonya, maaf maaf ini kalau Ima boleh tanya. Itu wanita tua sebenarnya siapa? Apa tuan Daniel sudah mengusirnya?” Ima buka suara lagi, berupaya menggali informasi sedetail mungkin terkait si biang kerok. Namun bukan hal mudah untuk mengorek informasi dari Vania, nyatanya wanita itu masih terdiam membiarkan Ima terkatung katung menunggu jawaban darinya.
Vania mendengar suara Laurent yang kegirangan bermain air di kamar mandi, sekaligus menyadarkan dirinya bahwa ia hanya punya waktu yang terbatas untuk bicara empat mata dengan Ima. Kesempatan itu tidak boleh ia sia-siakan jika ia tidak ingin Laurent ikut menguping pembicaraan yang tak layak didengar oleh anak seusianya. “Ima, dengarkan ini baik baik dan jaga suaramu! Aku tidak mau Laurent sampai tahu, kamu jangan membahas masalah ini di hadapan dia. Mengerti!?”
Ima mengangguk mantap, mendadak bersikap serius demi meladeni Vania yang mengajaknya bicara secara serius pula. “Mengerti, nyah! Saya janji saya bisa dipercaya.”
***