Melukai Terlalu Dalam

1025 Words
Daniel membuka pintu ruang tamu yang sudah lama tidak difungsikan di rumah mereka. Tak menyangka bahwa Amita akan menempati ruangan itu padahal sebagian perabot di dalam sudah ia jual. “Ibu tidak keberatan kan tidur di sini? Nanti Daniel carikan ranjang yang lebih baik. Sementara pakai kasur busa dulu tidak apa apa kan?” Tanya Daniel yang merasa tidak enak hati, semuanya terjadi terlalu mendadak, ia tak punya persiapan untuk menyambut kehadiran ibunya. ‘Sialan, kamar ini malah lebih buruk daripada kamar pembantu. Dia sengaja memperlakukan aku seperti ini biar nggak betah? Ini pasti akal-akalan wanita jalang itu.’ Amita mencari kambing hitam yang paling tepat sasaran. Siapa lagi yang lebih enak dituduh punya niat jahat kepadanya jika bukan Vania. Orang yang punya motif balas dendam atas perlakuannya yang buruk saat pertama. Amita yakin, Vania tidak akan membiarkan ia leluasa berkuasa di sini. Amita menyingkirkan sejenak pikirannya sejenak agar tidak mempengaruhi mimik wajahnya. Ia mengusap pelan lengan Daniel seraya tersenyum. “Ibu tidak masalah, tidur di mana pun juga sama saja bagi ibu. Asalkan bisa kembali diterima dalam kehidupanmu, nak. Kamu pasti mengalami masa masa sulit sehingga kehidupanmu belum membaik. Tetap optimis berjuang ya. Dulu ayahmu juga merintis dari nol, ibu juga mendukungnya. Benar kata orang-orang, kesuksesan seorang pria itu tergantung dari pasangannya. Di balik suami yang sukses, pasti ada wanita hebat yang mendukungnya.” Daniel terdiam, ia mendengarkan nasehat ibunya dan merasa memang cukup masuk akal. “Ibu benar, dan aku juga merasa beruntung karena memiliki Vania. Dia wanita yang hebat serta ibu yang baik untuk anak-anakku.” Ujar Daniel mengungkapkannya dengan penuh rasa bangga, terlihat jelas dari pancaran sinar matanya yang berbinar. Amita terkejut melihat ekspresi Daniel yang di luar ekspektasinya. ‘Segitu cintanya dia kepada wanita itu. Aku harus berhati-hati bicara kalau tidak mau berkesan buruk di matanya.’ Suara hati Amita berseru, di kala bibirnya tak berani mengungkapkan kata-kata itu kepada Daniel. Ia menutupi ganjalan dalam hatinya dengan tersenyum lembut lalu mengangguk pelan. “Beruntunglah kamu memiliki dia, ibu harap dia juga mau menerima ibu dengan tulus.” Resah Amita, helaan nafasnya terdengar seakan sangat berat. Daniel mengerutkan dahinya, mengamati mimik ibunya yang tampak tidak dibuat-buat. “Ibu jangan cemas, Vania wanita yang baik. Dia pasti bisa menerima dan menyayangi ibu. Ng ... Aku masih harus kembali kantor, banyak kerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan dan mungkin malam ini aku terpaksa lembur. Ibu tidak apa apa kan kalau aku tinggal kerja? Maafkan aku ya, bu.” Amita mengangguk, tak perlu berpikir terlalu lama baginya untuk memberikan jawaban tentang permohonan maaf putranya. “Kamu tidak perlu mencemaskan ibu. Lakukanlah kerjaanmu, yang semangat bekerja supaya kamu segera kembali pada kehidupan yang dulu. Kita keluarga yang mempunyai kekayaan luar biasa, ibu yakin kamu juga bisa mengumpulkan harta seperti yang ayah dan ibu lakukan dulunya.” Daniel merasa semakin termotivasi mendengar dukungan positif yang diberikan Amita. Ia terbawa suasana sehingga tak canggung mengambil inisiatif untuk memeluk ibunya. “Makasih, ibu. Aku akan berusaha semampuku.” *** “Mas, kita perlu bicara, please!” Vania membisikkan kepada Daniel ketika pria itu hendak melangkah menuruni tangga. Vania sejak tadi sudah mengintai suaminya yang tak kunjung keluar dari kamar bersama ibunya. Ada banyak ganjalan dalam hati yang tak sabar ingin ia lontarkan kepada Daniel. Menunggu kesempatan agar bisa berdiskusi dengan suaminya secara pribadi. Tangannya sudah merangkul erat lengan Daniel, hendak menarik pria itu agar bersedia menuruti kemauannya. Tetapi sayangnya Daniel malah menyipitkan sepasang mata, menatapnya dengan setengah hati. “Va, bisa dipending sampai nanti malam nggak? Aku harus buru buru kembali ke kantor. Kamu tahu kan tadi aku pulang mendadak dan tidak seharusnya aku meninggalkan pekerjaanku. Aku nggak mau mengorbankan pekerjaan sampai terbengkalai. Kamu tahu sendiri, aku sedang berjuang keras untuk memperbaiki ekonomi kita.” Pinta Daniel, berupaya keras membujuk Vania agar mengerti posisinya. Vania meringis, ingin menitikkan air mata namun rasa sakit serta alasannya belum begitu kuat. Ia akan terlihat sangat egois jika sampai menetaskan air kelemahan itu di hadapan Daniel hanya demi mempertahankan egonya, ia justru akan dinilai tidak pengertian. “Masalahnya mas, aku nggak tahu harus gimana berhadapan dengan dia. Di depan kamu, sikap dia lain kepadaku. Aku yakin nanti kalau kamu nggak di rumah, dia pasti akan bertingkah seenaknya lagi kepadaku.” Daniel menghela nafas kasar, hal yang paling dikhawatirkannya dalam menjalani kehidupan rumah tangga adalah berhadapan dengan masalah antara ibu mertua dan istrinya. Ia pun tidak menyangka akan merasakan drama klasik dalam rumah tangga seperti yang terjadi pada pria malang lainnya. Kini Daniel tidak bisa menghindari drama itu, ia terlibat, harus merasakan rumitnya bersikap adil dan tak memihak kepada salah satunya, antara ibu atau istrinya. “Va, aku tahu kamu khawatir. Ya, aku nggak bisa menyalahkan kamu kalau berpikiran seperti itu. Tetapi nggak ada salahnya juga kan kamu memberi kesempatan pada ibu untuk lebih mengenal kamu. Ya, aku tahu dia pernah nampar kamu. Mungkin itu karena gejolak emosinya sebagai manula, kita ngertiin sedikitlah posisinya. Pokoknya sebisa mungkin kamu jangan ladeni dia. Jangan beri dia celah untuk menyakiti kamu. Bersikap manis sedikit lah, kalau kamu bisa mengambil hatinya, kamu aman.” Vania berdecak, tak menyangka saja kalau Daniel akan ikutan menjadi penguji kesabarannya. Bukannya memberikan dukungan, Vania malah merasa mendapatkan ceramah yang tidak dibutuhkan. “Bersikap manis? Kamu menyuruh aku menjadi penjilat agar disayang? Kamu yakin meskipun aku sudah merendahkan diriku seperti itu, dia akan luluh dan menyayangiku? Mas, jangan naif! Sekalipun aku menginginkan hal itu juga, tapi realistis sedikit mas. Aku nggak merasakan ketulusan sama sekali dari penyataannya tadi. Dia pintar banget bersilat lidah mas, aku takut ....” “Vania please! Yang kamu jelekin itu adalah ibuku. Telingaku bisa panas kalau kamu terus terusan bicara buruk tentang dia. Dia itu ibuku, kamu harusnya hormat dan mengalah sama yang lebih tua. Bisakan bersikap baik sedikit saja, huh!?” Semenjak mereka berbaikan, Vania baru kali ini kembali melihat sikap Daniel yang tidak menyenangkan kepadanya. Image buruk itu masih melekat jelas, bagaimana dulunya pria itu berulang kali membuat kesalahan dan selalu meminta pengertiannya. Dan sekarang ia menambahkan satu beban baru kepadanya, yakni memaklumi ibunya. Senyum Vania menyeringai, Daniel kembali mencetak goal dalam prestasi melukai perasaannya. Fix! Vania kembali terluka. ‘You hurt me ... so deep!’ **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD