Masa yang Hilang

1597 Words
Tidak tega untuk menyakiti salah satunya, Bintang mengorbankan perasaannya. “Lagian meskipun mereka putus, Abang gak tentu bakalan perlakukan aku dengan baik ‘kan?” tanya Bintang pada dirinya sendiri. “Dia bakalan tetep benci, nyalahin aku dan gak akan peluk aku lagi kayak dulu.” air matanya menetes merindukan sang kakak yang dulu. “Itu gak akan terjadi lagi. Oma gak bisa hidup lagi.” “Non, udah sampai,” ucap sang supir menyadarkan. Bintang datang ke rumah Opa dengan makanan yang dititipkan Mamanya. Rumah yang sama tempat kebakaran. Opa sangat mencintai Oma-nya hingga tidak bisa meninggalkan tempat ini. direnovasi menyerupai bangunan lama, ini menjadi siksaan sendiri untuk Bintang. “Cucu Opa. Sini, Nak.” Pria yang sedang berkebun itu menyimapn dulu selangnya dan merentangkan tangan. “Sendirian?” “Iya, Mama ikut acara Papa, jadi Bintang yang anterin.” “Makan siang bareng Opa ya. Opa kupasin kentangnya buat kamu.” Opa sedang menginginkan makanan buatan menantunya dan meminta dikirim. Makan bersama Bintang, dan tetap mengupaskan kentang untuknya seperti di masa lalu. “Nah, makan yang banyak.” “Makasih banyak, Opa.” Sosok itu tersenyum, bahkan menyiapkan air untuk Bintang. “Bintang, kalau nanti di hari pernikahan ada banyak ucapan yang bikin kamu gak nyaman, jangan dibawa ke hati. Mama Papa dan Opa sangat sayang ke kamu terlepas siapa kamu sebenarnya. Meskipun darah kami gak mengalir di kamu, tapi kamu adalah permata kami. Jadi jangan pernah berfikiran jelek ya.” Bintang mengangguk sambil menahan tangisannya. “Makasih Opa masih sayang sama Bintang, bahkan setelah….” “Jangan ngomong kayak gitu. Yang udah terjadi di 3 tahun yang lalu itu bukan karena kamu, tapi kecelakaan. Penyebab Oma meninggal bukan hanya karena asap, tapi memang tubuhnya sudah lemah. Oma sudah ditempat yang lebih baik, dia tidak merasakan sakit lagi. Bukankah itu bagus?” Air mata Bintang tetap menetes. “Opa bahagia kamu nikah sama Angkasa. Kalian memang cocok, meskipun ini agak canggung di awal. Apalagi Angkasa melakukan hal itu, Opa tetap gak membenarkan. Tapi percaya kalau di masa depan, kalian bakalan menjadi keluarga yang utuh.” Bintang tidak berani membayangkan masa depan, itu terlalu menyakitkan. Ditambah Winda mengirimkan foto Angkasa yang sedang menjenguknya dan membawakan bunga. Mereka tampak serasi, si cantik dan si tampan. “Bintang, mau tidur?” “Hmmm… iya, Opa mau kemana?” “Mau ketemu temen bentar di café. Nanti telpon aja kalau mau jajan sesuatu, Opa beliin.” Bintang mengacungkan jempol dan kembali berbalik menatap ponselnya. Dia tidur di kamarnya sendiri, Oma dan Opa menyiapkan ini untuk cucu-cucunya. Bintang tidak sendiri, ada banyak pembantu dan penjaga. Jadi dia bisa tidur dengan nyaman. Ringgggg! Ringggg! “Eunghhhh? Opaaaaa? Bintang mau batagor, terus es campur yang dipertigaan. Nah, yang batagornya dikuah ya. Makasih.” Kemudian mematikan panggilan dengan mata yang masih tertutup. Bintang lanjut tidur dan bangun 1 jam kemudian. Tidur terlalu lama ternyata membuatnya kelelahan juga. “Wahhhh! Es buah!” teriaknya saat melihat ada di meja makan. Bintang menikmati batagornya juga. “Opa-nya mana, Mbak?” “Tuan Besar belum pulang, Non.” “Terus makanan ini siapa yang anterin dong?” “Den Angkasa, tapi dia langsung pergi lagi.” Bintang diam, dia melihat riwayat panggilan. Kaget karena itu ternyata dari Angkasa. Ringgggg! Baru kali ini benar dari Kakeknya. *** Bintang ingin berterima kasih pada Angkasa, tapi melihat wajah pria itu kembali mengingatkan Bintang pada malam dirinya dihancurkan. Rasa marah dan sedih bercampur, yang pada akhirnya dia berpaling tidak mau membicarakan hal tersebut. Winda juga semakin gencar menceritakan selama pengobatannya, dia lebih cepat sembuh karena ada sang kekasih yang mendampinginya. Membicarakan Angkasa yang menyuapinya, bermain gitar dan bernyanyi, bahkan sampai membiarkan Winda tidur di pangkuannya. Itu semua…. Dilakukan oleh Bintang dan Angkasa di masa lalu. “Mama maunya kamu sama Bintang tetep di rumah. Gak di apartemen.” “Tapi kami juga butuh waktu dan ruang, Ma. Angkasa juga sibuk di BEM pasti lebih sering di apartemen, kalau Bintang mau di rumah ya gak masalah sebenarnya.” “Masalah lah, masa udah nikah kepisah,” ucap Sena tidak setuju. “Mama takut Bintang di apa-apain sama kamu.” “Kalau pasang CCTV bikin Mama tenang, ya lakuin aja.” “Gak gitu juga kali, Bang. Janji aja kamu jangan bikin Bintang lecet. Ada satu aja luka, Mama gak akan maafin kamu.” “Jadi boleh kalau kami tinggal di apartemen kalau udah nikah nanti?” “Boleh.” Samudera juga menyetujui pada akhirnya. Sebagian barang sudah diangkut supaya langsung ditempati setelah pernikahan berlangsung. Di hadapan kedua orangtuanya, Bintang dan Angkasa juga bersikap biasa saja. berbeda jika sudah tidak ada mereka, keduanya hanya saling melemparkan tatapan dingin. Hingga akhirnya sampai di hari pernikahan, Bintang memakai gaun putih dan mahkota. Sena mendampinginnya. “Cantiknya anak Mama.” Bintang pernah membayangkan tentang pernikahan, tapi bukan berakhir dengan Angkasa. Diantarkan menuju altar oleh Samudera, bannyak pandangan kerabat yang terkejut, bahagia, terharu dan juga meremehkan. Focus Bintang pada Angkasa yang menunggunya dengan mengenakan jas. Abang ganteng bangetttt! Abangnya siapa ini? Cium Bintang dong! Kan udah muji! Kalau dulu, Bintang akan melakukan itu. “Abang, jaga Bintang ya. Papah pecayain anak gadis Papa ke kamu. Bahagiain dia.” “Angkasa akan berusaha,” ucapnya terdengar menggelikan di telinga Bintang. Namun ketika mengucapkan janji suci, Angkasa dengan tegas, tanpa keraguan ketika mengatakannya. Berbeda dengan Bintang yang sedikit gugup. Ketenangan dia dapatkan saat tangannya diusap halus oleh jemari Angkasa. “Coba lagi,” ucap pria itu tenang. Bintang mengulanginya lagi, sampai pastor akhirnya menyatakan kalau mereka sepasang suami istri. **** “Bilangnya sih kalau Sena sama Samudera gak mau kehilangan keduanya jadi dinikahkan aja. Tapi otak mereka gak sedangkal itu, nyatanya Angkasa yang perkosa Bintang waktu mabuk.” “Iya? Tapi sepadan sih sama apa yang dilakukan Ibu kandungnya Bintang di masa lalu. Katanya nyoba pembunuhan ke Sena ‘kan?” “Udah untung Sena mau adopsi itu anak. kalau aku, gak mau tuh besarin anak yang udah mau bunuh kita.” Benar kata Opa, dia mendengar banyak hal disini. “Ngapain disini?” tanya Angkasa. “Abis dari kamar mandi.” Menoleh kaget. “Jangan sendirian.” Pria itu menggenggam tangannya yang refleks langsung dihempaskan oleh Bintang. Pria itu menatapnya tajam. “Ini tempat umum dan berprilaku baik, jangan kayak Ibu kamu.” Hati Bintang langsung merasa sakit. Angkasa tahu apa yang dilakukan Mama kandungnya pada Sena. pria itu menghela napasnya. “Diem dan berprilaku baik.” membawanya pergi dari sisi timur. Jika dalam keadaan gunah, Bintang selalu ingin makan yang manis-manis. “Eh?” Bintang kaget saat Angkasa membawanya ke jajaran makanan. mendekati sang koki. “Ini pesanannya, Tuan.” Menyajikan makanan cokelat dan s**u hangat dengan marshmallow. “Makan dulu.” “Emang gak papa aku makan?” “Jadi pengantin bukan berarti gak boleh makan.” Bintang akhirnya duduk dulu, menyantap makanan manis ditemani Angkasa disampingnya. Ketika ada tamu yang hendak mendekat, Angkasa memasang wajah tidak suka. “Sebentar ya, Pak, pengantin tidak ingin diganggu.” Kata sang pengatur acara. Meskipun hanya kerabat yang datang, tapi cukup banyak juga. “Makannya udah. Ayok kesana lagi, banyak tamu yang mau ketemu sama kita ‘kan?” “Kenapa gak habis?” “Nanti lagi,” rengeknya tidak mau mengecewakan orangtua. Angkasa membawa makanan itu, dan tangan lainnya menggenggam Bintang. Disimpan di meja samping. “Makan aja kalau lapar,” ucapnya dengan tatapan dingin. “Bintaanggggg! Astaga selamat ya, Tante gak nyangka ternyata kalian malah berakhir bersamma. Sebenarnya Tante udah duga sih kalau kalian gak punya hubungan darah. Orang keliatan jelas Bintang ini bule banget, Angkasa Asian banget.” “Sayang tapi berawal dengan nggak baik ya.” “Nasib kamu baik banget. Setelah kejadian 3 tahun lalu, kemu bener-bener jadi anggota keluarga surawisesa ya.” “Dia selalu jadi anggota surawisesa,” ucap Angkasa memeluk pinggang itu posesive. Bintang jadi ingin ikut membalas. “Makasih ucapannya. Ditunggu undangannya ya Tante, masa kesusul sama bocah kayak kita.” “Heh, Tante itu mau dapetin yang setara lah.” Beralih pada yang satunya lagi. “Sama Tante satunya lagi, nasibnya baik banget sampai anaknya nikah sama Jendral TNI. Eh, tapi udah pisah lagi ya Tante?” “Gak sopan kalian.” “Bukan gak sopan, Tante sedang sensitive,” ucap Angkasa. Bintang tertawa setelah mereka berdua pergi, Angkasa juga terkekeh. “Dan acara selanjutnya adalah dansa yang dipimpin oleh pengantin kita.” Salah satu pengatur acara mendekat. Bintang menatap kaget Angkasa. “Bukannya udah dihapus ya acara itu? Bintang gak bisa dansa,” ucapnya merengek refleks. “Kayak dulu aja. Injak kaki.” Perintah Angkasa. Bintang pun melakukannya, menginjak kaki Angkasa saat dibawa berdansa. Ini benar-benar seperti masa lalu, sampai music berubah menjadi lebih ceria. Gaya dansa pun berubah. Bintang memejamkan mata sambil sesekali melompat-lompat karena ini bukan lagi dansa ala princess. Dia menikmati malam itu, menunjukan pada orangtuanya kalau mereka bahagia. Sampai harus dihadapkan lagi dengan kenyataan, dia pulang bersama Angkasa ke apartamen. Suasana kembali sepi, keheningan mendominasi. Angkasa hanya diam, begitupun dirinya. Dibawa lagi ke tempat buruk ini, Bintang menepis tangan Angkasa yang hendak menggenggamnya. “Gak ada orang. Dan aku bisa sendiri.” “Terserah,” ucap pria itu melangkah lebih dulu. Tapi sekarang, Bintang heran karena lantai apartemennya ada di 22? “Apartemen baru?” Tanya Bintang terkejut. Angkasa tidak menjawab, dia mengangkat telpon. “Hallo, Sus?” mengabaikan Bintang dan masuk ke kamarnya. “Hmm.. kamar aku pasti yang itu.” melangkah ke kamar sampingnya. Membukakan pintu supaya melihat apa yang akan dilakukan Angkasa. Dia keluar dengan pakaian yang sudah berganti. “Mau kemana?” tanya Bintang. “Nemenin Winda,” jawabnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD