Bintang menunduk, bertingkah tidak mengenal Angkasa ketika pria itu duduk di samping Winda dimana sang sahabat bergelayut manja padanya. Bintang duduk di sofa dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan. “Langsung kesini berarti kan?” tanya Ibunya Winda yang sedang mengupas kulit apel.
“Iya, Tante. Karena ada persiapan buat Ingurasi nantinya dan saya ikut.”
“Fakultas Hukum aja atau seluruhnya?”
“Seluruhnya, yang fakultas Hukum aja nanti Latihan Dasar Kepemimpinan di Batalyon.”
“Dengan keadaan Winda yang sekarang, emang gak papa?”
“Gak papa dong,” ucap Winda menyela. “Kan ada Kakak yang jaga Winda disana. Ya, Kak, ya?”
“Gak papa kok, Om. Yang sakit nanti difokuskannya ikut materi, kalau bagian outbond bisa nunggu aja.”
Winda memekik senang dan menggesekan pipinya ke bahu sang kekasih. “Eh, itu temen aku yang baru, Kak. Yang kata aku satu kelas, dia yang paling deket sama aku. Jagain aku sama dia juga ya.”
Tatapan Angkasa dan Bintang saling bertabrakan. Angkasa mengalihkan pembicaraan, “Yang lainnya nggak kesini?”
“Enggak, mereka udah kesini pas aku ke Rumah Sakit awal. Bintang juga gak lama ya, kamu mau ke kampus kan?”
“Nanti aja,” jawab Bintang. Dia ingin Angkasa pergi dulu.
“Kakak mau langsung ke kampus,” ucapnya pada Winda. “Pencairan dana buat persiapan inagurasi.”
“Sebelum pulang, ngomong dulu sama Om ya, Ka,” ucap wakil Rektor III meninggalkan ruangan lebih dulu.
Winda merentangkan tangan dan memeluk Angkasa, merengek manja hingga tangan Angkasa mengusak rambutnya. “Cepet pulih.”
“Kalau udah pulih mau gimana? Ajak aku maen?”
“Kan katanya mau ke pantai.” Angkasa membiarkan perempuan itu mengecup pipinya.
Bintang berpaling dan diam sejenak sampai Angkasa benar-benar keluar. “Bin? Kaget ya aku punya pacar Ketua BEM?”
“Nggak juga sih, woth it lah dapet kamu yang cantik baik gini.”
“Halahhhhh! Diem jangan goda gitu ah,” ucapnya malu, dia menerima piring buah dan meminta Bintang duduk disampinngnya. Winda yang menyuapi Bintang. “Kita udah pacaran sejak aku SMA kelas 2, dulu dia jadi guru less aku. Terus dia bantu aku belajar sampe keterima di Universitas Kalingga jalur prestasi. Sampe sekarang deh.”
“Orang-orang di kampus tahunya Angkasa itu gak punya pacar.”
“Sebagian pasti tahu dia udah punya pacar, Cuma gak tahu siapa ceweknya. Aku gak mau diekspos buat sekarang, nikmatin aja kayak gini deh.” Sambil menyuapi lagi Bintang. “Makan lagi. Ma, ini banyak buah. Potongin dong biar dibawa sama Bintang.”
“Eh, gak usah, Win.”
“Harus ah.”
Winda memang sangat baik. Tapi Bintang tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajah kecewanya. “Bintang kenapa?”
“Gak papa, makasih buahnya. Nanti aku kesini lagi sama yang lain. Bye.” Berpelukan dulu dengan sang sahabat. Begitu keluar ruangan, Angkasa sudah tidak ada disana. “Permisi, Om.”
Winda sudah berpacaran dengan Angkasa selama 2 tahun, dan sekarang pria itu akan menikah dengannya? Kenapa semuanya sangat rumit? Bintang tidak bisa berfikiran jernih apalagi saat melihat Angkasa sedang bicara dengan supir pribadinya.
“Non Bintang, kata Den Angkasa mau bareng ke kampusnya?”
“Enggak, Mang, dianter sama Mang aja.”
“Jangan keras kepala.” Angkasa menahan tangan Bintang dan membawanya masuk ke mobil audi hitam.
“Lepas ih! Sakit kamu nariknya kekencengan!”
“Kalau kamu gak lawan, gak akan kerasa sakit.”
Bintang mendengus kesal ketika dipakaikan seabelt oleh Angkasa. Dia terdiam dengan wajah berpaling.
“Sejak kapan berteman sama Winda?”
“Bukannya aku yang harus nanya sejak kapan berhubungan sama Winda?”
“Dua tahun yang lalu.”
Bintang terdiam. “Lalu apa yang bakalan terjadi? Gagal nikah atau putusin Winda, salah satunya pasti terjadi ‘kan?”
“Kamu tahu kondisi Winda gimana?”
“Jadi Abang mau gimana? Aku nikah sama Abang dan biarin Abang tetep punya hubungan sama Winda?”
“Kamu tega buat dia sedih saat dia sekarat sama penyakitnya?”
Bintang tidak bisa berkata-kata lagi, dia berpaling dengan mata berkaca-kaca. “Bintang kasih tahu Mama. Kita gak akan nikah.”
“Jangan coba-coba kamu berani ngomong gitu, Bintang.”
“Terus Bintang harus diem aja gitu?! Nggak, Bintang juga mau bahagia.” BRAK! Memuntup kencang pintu mobil saat keluar dari sana. Ini terlalu rumit, Bintang butuh waktu sendiri.
***
“Eh ada si ini…..,” gumam Melda bersama satu temannya masuk ke kamar mandi. “Gue gak salah lihat deh, kalau lu keluar dari mobil Kak Angkasa, bener ‘kan?”
“Lu kenapa bisa sama dia huh?”
Lagi-lagi Bintang dipojokan, dia benar-benar kesal dan mengepalkan tangannya siap untuk membebaskan dirinya. Namun, Maura lebih dulu datang. “Heh! Ngapain lu b*****t! Minggir gak!” teriaknya kesal. “Berani lu keroyokan sama temen gue, mau gue penyet lu? Mau anak dekan sekalian, kalau kata gue penyet ya penyet!” teriaknya kesal kemudian membawa Bintang keluar dari sana. “Lu nggap diapa-apain kan?”
“Enggak, mereka nanya doang.”
“Lawan kenapa, Bin. Jangan takut bikin masalah, kali-kali kan hidup harus bermasalah.”
“Gue udah kebanyakan masalah,” ucap Bintang sambil tertawa.
Mengantar dulu Maura yang ingin membeli cilok sebelum masuk kelas. “Eh, gue gak bawa duit. Pinjem?”
Bintang tertawa dan membuka dompetnya. Itu membuat Marwa tidak sengaja melihat tanda pengenal Bintang. “Loh, umur lu udah 20 tahun, Bin?”
“Hooh, gue telat masuk sekolah karena sakit.”
“Gue bulan depan 19 tahun sih. Cuma beda setahun juga,” gumamnya menggandeng tangan Bintang kembali ke kelas. “Yang hebat mah Presiden Mahasiswa kita, dia umurnya 20 tahun udah semester 5 aja. Keren ya?”
Bintang mengangguk. Dia lebih banyak merenung seharian itu meskipun dihibur oleh teman-temannya yang tidak mengetahui apa yang terjadi. Tapi Bintang tidak akan tinggal diam, dia akan menikah dengan Angkasa. Setidaknya pria itu bekerja sama dengannya dan membangun pernikahan yang tidak dipermainkan.
Saat jam pulang, Bintang ditarik Maura untuk menjenguk Winda lagi. Melihat bagaimana Winda yang kembali dipasang alat-alat di tubuhnya. Wajahnya pucat dan tatapannya layu. “Gue udah baikan, udah dijenguk sama laki gue,” ucapnya sambil terkekeh menahan sakit.
Keadaan Winda yang seperti ini membuat Bintang tidak tega. Jadi yang ada dalam pikiran Bintang, menggagalkan pernikahan mungkin salah satu cara supaya Bintanng bahagia dan Winda tetap bersama dengan Angkasa. “Gue gak bisa lama, Nyokap gue minta pulang ada perlu,” ucapnya meminta izin pada teman-teman. “Winda, aku pulang dulu ya.”
“Okeyyy! Hati-hati dijalannya, sini peluk dulu kasih aku tenaga.”
Mama Sena menunggu Bintang di salah satu butik. Bintang pulang dengan sang supir. “Hallo, Mbak? ada Mama Sena?”
“Ibu Sena ada di ruangan VIP. Mari saya antarkan.”
Melihat Sena yang sedang merentangkan baju pengantin di tangannya. “Lihat, Nak,” ucapnya dengan mata yang berbinar. “Kamu pake ini pas nikah nanti.”
***
“Ini list yang bakalan datang. Yang bakalan hadir hanya kerabat dekat aja buat sekarang. resepsi kedua bisa dilaksanakan enam bulan kemudian. Mama mau kamu sama temen-teman kamu bersenang-senang. Jadi rencananya di Bali. Gimana?”
Bintang tersenyum ketika mata mereka beradu. “Bagus, Ma.”
“Maaf ya Mama gak bisa izinin kamu undang temen buat sekarang. Karena Mama gak mau kerabat dicampur sama mereka, takut ada pembicaraan yang gak sesuai fakta.”
“Its okay, Ma. gini aja dulu.” menggenggam tangan Sena supaya sosok itu merasa lebih baik. Senyuman itu sedikit redup saja, Bintang langsung merasa tidak nyaman. Bagaimana dia akan membicarakan tentang Angkasa?
“Habis ini kita makan malam diluar ya, Papa kamu udah izinin Bintang sama Mama ng-date berdua aja.”
“Lah, yang lainnya gimana dong, Ma?”
“Ada Mbak yang masak. Mama mau sama kamu berdua. Udah lama gak jalan sama anak gadis Mama.” Sena mengecup pipi sang anak. dalam perjalanan mereka, Sena beberapa kali berucap, “Mama bersyukur banget punya anak kayak kamu. Bisa salonan bareng kayak gini, terus pilih kutek yang senada.”
Selayaknya ibu dan anak perempuan bersenang-senang, mereka focus pada make-up. Bintang masih mencari keadaan yang pas untuk bicara, tapi tetap tidak tega menghilangkan senyuman itu.
“Nah, ini dekorasinya kayak gini. Mama mau satu seragam sama kamu bajunya.” Memperlihatkan ponselnya.
“Bagus, Ma.”
Sena menghela napas dalam. Menggenggam tangan Bintang. “Mama tahu ini masih sulit diterima. Mama gak membenarkan apa yang Angkasa lakukan. Tapi dengan kalian bersama, Mama lebih tenang karena Mama tahu kalian satu sama lain.”
“Mama…. Mami Tiara itu kakaknya Mama kan?”
“Iya, tapi Kak Tiara gak sedarah sama Mama. Dia anak oranglain yang ditukar dengan kakak kandung Mama yang udah meninggal. Jadi kamu sama Angkasa bisa menikah karena gak terikat darah.”
“Apa Mami Tiara memperlakukan Mama dengan baik?”
Sena tersenyum. “Apapun yang kamu denger, itu hanyalah masa lalu. Mungkin dulu Kak Tiara gak memperlakukan Mama dengan baik, tapi dia pasti punya alasannya sendiri. Jangan menyalahkannya.”
Dengan jawaban seperti ini, Bintang tahu kalau itu adalah fakta. Tiara berprilaku tidak baik pada Sena. Mungkinkah ini karma?
“Nyari camilan yuk buat si adek, dia masih marah sama Kakaknya.”
Akhirnya, Bintang tidak mengatakan apapun tentang pernikahannya yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Hanya persiapan satu bulan yang mereka lakukan.
“Udah bersenang-senangnya kalian?” tanya Samudera begitu keduanya masuk. “Abang baru pulang nih, dia bawa oleh-oleh.”
“Oleh-oleh apa?” tanya Sena antusias.
“Punya Mama ada di kulkas. Yang ini buat Bintang,” ucap Angkasa memberikan papperbag pada Bintang.
“Makasih.” Bintang menghindar cepat saat Angkasa mengusak rambutnya beberapa detik. “Bintang mau ke kamar ya.”
Tapi Angkasa menyusulnya, dia masuk saat Bintang hendak menutup pintu. “Gak sopan,” ucapnya ketus.
“Gelangnya ketinggalan. Kemaren ke tempat wisata.”
Bintang berdecak. “Gak ada orangtua disini, gak perlu sok baik.” dengan memalingkan wajah berusaha menguatkan diri sendiri. “Keluar.”
“Gimana Mama?”
“Gimana apanya?”
“Perlu aku yang bilang kalau kamu gak mau nikah?” Angkasa memberi jeda. “Oke.”
“Jangan,” ucap Bintang pada akhirnya. “Jangan bikin Mama sedih.”
“Aku gak bisa ninggalin Winda.”
Tangannya mengepal. “Tetep… tetep bersikap baik di depan Mama dan sembunyiin pacar kamu dengan baik.”
“Baguslah, kamu tahu diri.”