Menyambut Pagi

1430 Words
189 pesan dari Group XXX Bintang yang hendak istirahat itu membuka pesan yang isinya Winda yang ada diambang kematian. Sebagian teman-temannya ada disana, Maura juga menelponnya beberapa kali tapi tidak diangkat. ME: Gue kesana sekarang. sorry baru pegang hape. Bintang segera berganti pakaian dan langsung pergi dengan menggunakan taksi. Winda ada di ICU, yang sudah ada disana ada lima orang termasuk Maura dan Febri dari Fakultas Hukum. “Gimana keadaannya sekarang?” “Udah mendingan. Katanya bentar lagi dipindahin ke ruangannya,” ucap Maura. Dia memeluk Bintang. “Gue takut banget ini hari terakhir Winda, makannya manggil lu kesini.” “Jangan berfikiran gitu. Winda itu anak kuat, dia pasti bertahan.” Dia sangat disayangi teman-temannya, termasuk Bintang juga. Sebagian teman-temannya ada yang pulang karena ada keperluan, mereka janji akan datang besok pagi saat sudah stabil. Hanya tersisa Bintang, Maura dan Febri. “Kita ke kantin dulu yuk, gue mau minum,” pinta Febri menarik tangan keduanya. “Winda udah stabil dan sadar, jadi bisa nyantai dulu. Kayaknya dia ketemu sama cowoknya dulu.” “Kalian tahu siapa pacar Winda?” “Ketua BEM kita kan?” tanya Maura. “Tahu lah, orang udah lama mereka pacaran. Cuma ya gitu kalau Winda gak suka publish di depan umum, dia lebih suka umpet-umpetan.” “Heran banget gue sama anak itu. masa iya suka liat pacarnya dikerubuni cewek lain, katanya itu tandanya banyak yang minat sama Kak Angkasa dan dia jadi satu-satunya pemenang.” Bintang tersenyum mendengar cerita tersebut. “Tapi bukan berarti dia mau rahasiain sih, gak masalah orang tahu juga. Tapi dia emang gak mau terlalu terang-terangan.” “Kalau gue punya pacar spek Kak Angkasa, udah gue bawa kemana-mana,” ucap Maura tertawa. Di malam pernikahannya, Bintang harus pergi ke rumah sakit dan melihat Angkasa yang sedang memeluk Winda ketika mereka datang ke kamarnya. “Sorry, Kak. Aku pikir udah pulang.” “Mau nidurin dulu Winda,” ucap Angkasa tanpa menatap Bintang. Winda terkekeh. “Kalian gak usah datang. Lagian ini bukan pertama kalinya aku sekarat, jadi bakalan baik-baik aja apalagi udah ada Kak Angkasa disini,” ucapnya memeluk sosok itu. “Sana pulang aja.” “Minimal kasih pelukan lah, Win,” ucap Febri mendekat. Melepaskan dulu pelukan dengan Angkasa, Winda memeluk satu persatu temannya. “Makasih udah dateng, tapi seriusan kalau malem gini kalian gak usah maksain. Besok aja. Aku juga gak bakalan gentayangan kalau emang beneran meninggal.” “Jangan ngomong kayak gitu,” ucao Bintang bagian terakhir memeluk Winda. “Sehat-sehat ya.” “Eh, Bin, kita satu kelompok kan buat Pengantar Hukum Indonesia? Ini aku udah bikin dibantu sama Kak Angkasa, kamu bagian presentasinya ya.” “Oke.” “Semangat bestieku,” ucapnya memeluk Bintang. Dia akhirnya harus pulang meninggalkan suaminya disana. “Gue pulang naik taksi kok, gak usah anterin orang gak searah. Santai aja,” ucap Bintang karena dia ingin sendirian dulu. Duduk merenung di bangku taman rumah sakit dengan alasan menunggu taksi datang. “Bintang?” panggil seseorang. “Eh Tante?” “Kenapa belum pulang, Nak? Belum dapet taksi? Tante anterin ayok.” “Gak usah Tante, udah pesen kok.” TING! Sebuah notifikasi masuk, sang driver membatalkan pesanannya. “Tuh, udah lewat tengah malam jadi mending sama Tante aja. khawatir kalau sama taksi online, banyak kejadian.” Memaksa Bintang ikut dengannya. “Lagipula Tante ada keperluan keluar kok.” Bintang pun menyetujuinya, dia masuk ke dalam mobil Ibunya Winda. “Kamu yang kayaknya satu frekuensi sama Winda. Dulu dia juga deket sama Maura, tapi nggak selengket sama kamu. apalagi kalian satu kelas ‘kan? tolong jaga dia ya.” “Iya, Tante.” “Winda udah sakit-sakitan sejak kecil. Puncaknya dia dinyatakan punya kanker, ibu mana yang nggak sakit hati. Tapi Winda punya harapan hidup karena Angkasa, dia punya niat mau menikah dengan pria itu dan dia berusaha mau sehat. Ditambah sahabat yang support kayak kamu.” Menikah dengan Angkasa? “Winda juga gak suka dipandang orang sakit sama orang lain. Dia juga maksa mau ikut Inagurasi ke Yogya. Bentar lagi ‘kan?” “Iya, Tante.” “Tante mau titipin dia ke Angkasa. Tapi Angkasa gak selamanya ada di sisi dia, jadi ke kamu aja. Pasti Angkasa bisa atur biar Winda sekamar sama kamu.” Begitu sampai di depan gedung apartemen, sosok wanita itu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan dan memberikannya pada Bintang. “Buat kamu jajan.” “Ih nggak usah, Tante.” “Gak papa, Nak. Tante emang mau kasih sama kamu. Tolong terima ya, buat ongkos kamu kalau bolak balik ke Rumah sakit. Winda mau ketemu terus sama kamu.” “Tapi Bintang emang mau ketemu sama dia juga kok, Tante. Gak perlu kasih uang.” “Ini kasih sayang Ibu ke anaknya. Anggap kayak gitu. Terima ya.” Bahkan memaksanya memasukan ke dalam tas. Bintang tidak bisa menolak lagi. “Terima kasih, tante.” Dia menunggu sampai mobil itu pergi dari sana. Menatap tas yang mengembung karena uang. Bintang dikelilingi oleh orang-orang baik. kenapa Tuhan seolah memberikannya celah untuk menjadi peran antagonis? *** Tidur yang tidak terlalu nyenyak, apalagi Bintang dibangunkan oleh suara hujan petir yang cukup keras. Dia ketakutan dan menyembunyikan dirinya dalam selimut. Untung jadwal masuknya siang nanti. “Enak banget kalau makan soto ayam, ditambah sama nasi anget. Jangan lupain cokelat panas.” Bintang ingin ke dapur dan membuatnya, tapi dia takut petir dan Guntur. Mungkin ini halusinasi ingin soto, Bintang sampai mencium aromanya. “Gak papa, aku bisa sendiri.” biasanya dia mencari manusia jika sudah ketakutan seperti ini. Tapi Angkasa tidak mungkin. Dia tidak suka. “Hallo, Ma?” menganggkat panggilan. “Hujan petir, Nak. Kamu lagi apa?” “Sama Abang, jangan khawatir, Ma. ini lagi dipeluk sama dia.” “Jangan lupa sarapan. Udah masak?” “Belum lapar, Ma.” “Kalau Mama disana pasti dibuatin soto.” Bintang terkekeh. “Bang Angkasa juga mau buatin soto kok buat Bintang. Jangan khawatir, dia bakalan layanin Bintang.” “Mana angkasa? Mama mau ngomong sama dia.” “Malah tidur lagi nih sambil peluk Bintang.” Terpaksa berbohong sampai sang Mama merasa puas menelpon dengannya. Bintang mematikan telpon. JDERRR! “Aaaa!” dia refleks melempar ponselnya dan bersembunyi di bawah selimut. Takut sekali apalagi ada kaca besar di kamarnya yang memperlihatkan langsung keadaan diluar. Kalau hari cerah, ini akan terasa sangat menyenangkan, namun tidak dengan cuaca buruk seperti ini. Bintang takut. Apalagi harus ke kamar mandi dimana seluruh dindingnya hampir kaca. Tapi dia tidak bisa menahan keinginan buang air kecil. Dia terpaksa kesana dengan memakai penyumbat telinga. Setiap kali ada petir, Bintang menutup matanya. “Kenapa sih ini dindingnya kaca? Mana gak ada gordennya! Kan aku takut!” teriaknya melampiaskan kekesalan. JDERRR! BRUK! “Awwww!” kali ini guntur sangat keras hingga Bintang terjatuh di kamar mandi. Dia menutup wajahnya ketakutan karena cahaya kilat tidak kunjung berhenti. Sampai Bintang merasakan seseorang tiba-tiba memeluknya. “Abang?” panggilnya pasrah saat tubuhnya diangkat oleh Angkasa. Karena jatuh, sebagian baju Bintang basah. Dia dibawa ke walk in closet. “Bisa berdiri?” “Agak sakit.” Didudukan dulu di meja, Angkasa memijat kaki Bintang. Perempuan itu memejamkan mata lagi ketika kilat menyambar. Astagaaa! Semua kamarnya didominasi oleh kaca! Dia kaget lagi saat Angkasa tiba-tiba membawanya berdiri. “Ganti baju kamu.” Lalu? Dia akan sendirian lagi? “Aku tunggu disini.” membalikan tubuhnya. Daripada ketakutan oleh petir lagi, Bintang membiarkan Angkasa disana. “Jangan ngintip,” ancamnya dengan tegas. Bintang mengganti pakaiannya saja. namun ketika hendak dibawa melangkah, kakinya kembali terasa sakit. “Aww!” “Masih sakit?” “Aku bilang aw, artinya sakit ‘kan?” “Harus diangetin,” ucap Angkasa tiba-tiba menggendong Bintang lagi hingga perempuan itu memekik. “Mau dibawa kemana?” teriaknya saat pria itu membawa Bintang keluar kamar. Berhenti berontak saat melihat meja makan yang sudah penuh dengan makanan. Ada soto, s**u cokelat dan nasi hangat disana. Bintang menoleh ke dapur, ada bekas memasak disana. Apa angkasa yang melakukannya? Atau ada pelayan yang datang? Dia didudukan di kursi makan. Dengan pria itu disampingnya dan mengurut kakinya. “Sambil makan,” perintahnya. Aromanya sangat menggoda. “Kamu yang bikin?” tanya Bintang. “Makan,” perintahnya lagi. “Nanya doang. Lagian mana bisa sih kamu masak. Aww! Sakit jangan diteken! Kalau gak niat obatin gak usah.” “Diem.” Perintahnya lagi. “Makan semuanya.” “s**u juga buat aku?” Angkasa diam dan focus pada pergelangan kaki Bintang. Sementara perempuan itu mencicipi masakan yang ternyata lumayan enak juga. Pagi itu tidak terlalu buruk untuk Bintang meskipun kakinya terkilir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD