Sang Pewaris-15

2027 Words
Karlita berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Dengan menjinjing handbag miliknya, bahkan Karlita tidak sempat membawa baju ganti ketika berangkat tadi. Seseorang yang mengaku dari rumah sakit menghubunginya dan mengatakan jika suaminya tengah dirawat di sana. Awalnya Karlita tidak percaya dengan apa yang orang itu katakan. Namun, ketika Karlita mencoba menghubungi ponsel suaminya, benar saja jika Hari Prasetya tengah berada di rumah sakit karena terkena serangan jantung ketika dalam perjalanan dari bandara menuju hotel. Panik tentu saja. Bagaimana Karlita tidak panik mendapati suaminya dalam kondisi tidak baik-baik saja dan sedang bertaruh nyawa. Ah, terlalu berlebihan mungkin pikiran Karlita. Namanya juga suami, belahan jiwa. Jadi wajar jika Karlita memiliki pikiran yang bukan-bukan. Saking gugup dan paniknya sampai-sampai Karlita tak banyak berpikir dan gegas meninggalkan rumah menuju Bandara. Beruntung masih ada tiket yang bisa ia beli secara mendadak saat itu juga. Perasaan campur aduk tidak karuan selama Karlita menunggu pesawat hingga saat ini dirinya sudah berada di rumah sakit tempat suaminya di rawat. "Suster, boleh saya tahu pasien bernama Hari Prasetya di rawat di mana. Saya istrinya." Begitu kira-kira Karlita bertanya dan petugas resepsionis menunjukkan di mana Hari berada. Sudah sore ketika Karlita sampai di tempat ini karena harus melalui banyak tahapan untuknya bisa sampai di luar kota. Mengingat jauhnya jarak yang harus ia tempuh tadi. Mengikuti petunjuk suster, wanita itu berjalan cepat menuju kamar VVIP. Ruangan khusus bagi para orang berduit di mana ruang perawatan yang tersedia lebih menyerupai sebuah hotel daripada kamar perawatan. Kelegaan singgah begitu saja dalam diri Karlita ketika netranya mendapati sebuah kamar yang sejak tadi ia cari. Mendekat dan mengetuk pintunya. Meskipun tak ada jawaban dari dalamnya, nyatanya Karlita tetap saja membuka pintu tersebut. Sedikit memasukkan kepala untuk mengetahui apakah seseorang yang ia cari memang benar sedang berada di dalam sana. Dan yah, tampak dimatanya Hari tengah berbaring dengan mata terpejam. "Papa," lirih Karlita yang langsung berlinangan air mata wanita itu masuk dan langsung mendekati sang suami tercinta, membuat Hari yang tadi tengah istirahat sampai terkejut mendapati kedatangan seseorang yang sedang ia nantikan sejak tadi. Membuka mata ketika mendapati istrinya yang kini sudah tiba. Hari lega sekali karena masih diberikan kesempatan untuk dapat melihat wanita yang ia cintai sekaligus keluarga satu-satunya yang ia punya. Karlita tak kuasa menahan sesak di dalam dadanya dan langsung berhambur memeluk Hari yang tengah terbaring di atas ranjang. "Pa ... bagaimana kondisi Papa?" Tangan Hari terangkat untuk mengusap punggung sang istri. "Jangan khawatir, Ma. aku baik-baik saja." Karlita mengurai pelukannya seraya mengusap kasar air matanya. "Bagaimana aku tidak khawatir ketika mendapati kabar jika papa masuk rumah sakit, Sejak papa berangkat hati ini tidak tenang. Benar saja, pihak rumah sakit menelepon mama." "Mama dengan siapa datang ke sini?" "Tentu saja sendiri, Pa." "Kenapa tidak menunggu papa di rumah saja." Dengan kesal Karlita memukul pelan lengan suaminya membuat lelaki itu meringis. Karlita tentu merasa bersalah saat ia baru menyadari jika sebelah tangan Hari tertancap selang infus. "Ya, Tuhan, Pa. Maafkan aku tidak sengaja. Lagian Papa ini jangan bercanda. Bagaimana aku bisa menunggu di rumah saja, jika pikiranku ini cemas dan tidak karuan membayangkan papa kenapa-kenapa di sini." Sungguh, Hari tidak ingin terus saja merepotkan istrinya seperti ini. Kasihan Karlita yang harus repot-repot mengurusnya. Hanya Karlita yang bisa Hari andalkan karena keluarganya pun tak bisa Hari harapkan. Memang Hari tak dekat dengan keluarganya. Dulu Hari adalah orang biasa saja. Bukan orang kaya. Bahkan dia selalu dikucilkan oleh keluarganya juga tak dianggap oleh saudara-saudaranya. Dan yang paling menyakitkan ketika istrinya sendiri yang kini sudah menjadi mantan, lebih memilih meninggalkannya karena terlibat affair dengan sang bos yang tentu saja lebih kaya. Bahkan anak mereka yang baru berusia satu tahun dibawa juga oleh mantan istrinya. Hari tak bisa berbuat banyak kala itu. Dalam pemikiran Hari, mungkin saja anaknya akan mendapat kehidupan yang jauh lebih layak daripada harus hidup susah bersamanya. Dan begitu Hari berubah menjadi orang kaya, saudara juga keluarga mau dekat dengannya karena hanya ingin memanfaatkannya saja. Tidak ada yang tulus. Hanya Karlita satu-satunya orang yang tulus mencintai juga menyayanginya dengan sepenuh hati meski dia penyakitan begini. Oleh sebab itulah kenapa Hari juga sangat menyayangi istrinya itu. "Sudah jangan sedih begitu. Aku sudah tidak kenapa-kenapa. Hanya butuh pemulihan saja." "Aku akan di sini menunggui Papa sampai diijinkan pulang dan kita kembali ke rumah." "Sepertinya aku belum bisa kembali ke rumah dalam waktu dekat, Ma. Meski aku sudah keluar dari rumah sakit nanti, untuk sementara waktu aku akan stay untuk beberapa saat di kota ini sampai kondisiku kembali stabil." Jujur saja sebebarnya Hari masih sedikit trauma naik pesawat. Ia takut kondisinya ngedrop kembali. Sedikit menyesal karena tidak mau mendengar saran sang istri agar anak buahnya saja yang datang ke tempat ini karena dia sedang bermasalah dengan kesehatan. Hanya karena Hari merasa tidak enak hati pada pejabat pemerintahan kota ini, dia memaksakannya diri tetap pergi hingga berujung kondisinya yang seperti ini. "Aku ikut saja apa rencana Papa. Aku juga tidak keberatan menemani Papa untuk tinggal sementara di kota ini." Inilah Karlita. Selalu mengerti segala hal yang berhubungan dengan sang suami tercinta. Karlita tidak pernah egois dan selalu menurut dengan apa yang Hari minta. Seperti saat ini. Wanita itu tahu jika rentan bagi Hari untuk kembali ke kota tempat mereka tinggal untuk beberapa waktu ini karena kondisi Hari harus benar-benar stabil dulu. "Terima kasih, Ma." Keduanya saling menggenggam tangan. Di usia yang tak lagi muda, tak sedikit pun mengurangi kadar kemesraan keduanya. *** Dengan motor matic miliknya, Andaru kembali mendatangi rumah sakit tempat Hari dirawat. Sebenarnya Andaru ragu meninggalkan Arimbi di rumah seorang diri di malam hari seperti ini. Selama ini, hampir tidak pernah Andaru meninggalkan ibunya di rumah seorang diri ketika malam menjelang kecuali di saat Andaru memang benar-benar ada keperluan. Dengan tangan kosong tanpa membawa apa-apa ketika malam ini Andaru datang. Karena Andaru sendiri juga bingung ingin membawa buah tangan apa. Di rumah sakit ini segala keperluan pasien sudah dipenuhi. Baiklah. Tak ada masalah sekali pun Andaru hanya membawa diri saja. Yang penting adalah niatnya yang ingin menemani juga menjaga Hari karena tak akan tega membiarkan penumpangnya tadi tergolek lemah seorang diri di rumah sakit tanpa ada keluarga yang menemani. Merapatkan jaket yang melekat di badan. Malam ini angin berembus cukup kencang menyalurkan hawa dingin di sekujur badan. Ketika malam seperti ini, kondisi rumah sakit jauh lebih sepi ketimbang siang hari yang tak henti dan ramai orang berlalu lalang. Di malam yang sepi Andaru mencoba menahan bulu kuduknya yang entah kenapa dia merasa kurang nyaman saja berada di tempat ini. Mempercepat langkah agar ia segera sampai di ruangan tempat Hari Prasetya dirawat. Beberapa kali Andaru juga sempat berpapasan dengan perawat juga keluarga pasien. Namun, Andaru tetap berjalan lurus dengan kepala menunduk. Seolah sudah menjadi ciri khas seorang Andaru yang selalu merasa tidak percaya diri acapkali bertemu dengan banyak orang. Dan menundukkan kepala adalah jurus andalan Andaru untuk menyembunyikan wajahnya. Ah, sampai juga dia di depan ruang perawatan Hari Prasetya. Rasa lega melingkupi hatinya. Merapikan jaket lalu tangannya terulur mengetuk pintu yang berdiri kokoh di hadapannya. Sekali ketukan lalu dengan inisiatifnya sendiri Andaru memutar handelnya hingga pintu dapat ia buka. Maju selangkah dan menerobos pintu yang hanya ia buka sedikit. Niat Andaru adalah ingin melihat sedang apa seorang Hari Prasetya di dalam sana. Namun, betapa Andaru terkejut ketika mendapati seorang perempuan yang langsung berdiri dari duduknya ketika mendapati kehadirannya. Sungguh Andaru merasa tidak enak hati. Pria itu langsung bisa menebak jika wanita itu adalah istri Hari Prasetya yang tadi katanya sedang dalam perjalanan menuju ke tempat ini. Dengan gugup Andaru pun menyapa, "S-selamat malam, Bu." Karlita mengerutkan keningnya karena merasa tidak kenal dengan lelaki yang tengah berdiri di balik pintu kamar perawatan suaminya. Namun, karena Hari langsung menyadari kehadiran seseorang, lelaki itu sedikit mendongakkan kepala dan melemparkan senyuman. "Ndaru!" Panggil Hari membuat perhatian Andaru teralih dari Karlita pada Hari Prasetya. "Selamat malam Om Hari." "Ayo masuklah, Ndaru. Jangan hanya berdiri di situ." Andaru mengangguk dan menurut. Masuk ke dalam kamar lalu menutup pintunya dengan pelan. Sedikit kikuk karena adanya Karlita di sana. "Kemarilah, Ndaru. Kenalkan. Dia Karlita. Istri Om." Hari memperkenalkan. Lalu, lelaki itu ganti menoleh pada sang istri. "Ma. Kenalkan. Dialah Ndaru. Pemuda yang tadi papa ceritakan padamu." Binar lega juga bahagia nampak di wajah Karlita. "Jadi ... dia yang menolong Papa?" tanyanya memastikan. Hari mengulas senyuman. "Iya." Karlita merasa beruntung dapat bertemu juga berkenalan dengan seseorang yang telah menyelamatkan suaminya. "Ndaru ... Tante mengucapkan banyak terima kasih karena Ndaru sudah menolong suami Tante." "Sama-sama, Tante." Dan terjadilah obrolan ringan mereka bertiga. Seputar kehidupan juga pekerjaan Andaru yang tengah Karlita dan Hari tanyakan pada pria itu. Andaru sendiri karena merasa Karlita juga Hari adalah orang yang baru dia kenal, tak lantas pria itu bercerita banyak hal. Hanya sekilas saja yang Andaru bagi pada mereka berdua, hingga dia pun memilih berpamitan. Karena Hari tak lagi sendirian di rumah sakit ini, oleh sebab itulah Andaru memilih pulang saja dan menemani ibunya di rumah. Hari sendiri juga tidak keberatan apalagi dalam satu hari ini dia telah banyak merepotkan Andaru. *** Esok hari di Arashi Building. Miranti mendesah kecewa ketika semalam papanya mengatakan jika Kinan yang tak lain adalah kakak perempuannya akan ikut bergabung bekerja di Arashi Group mulai hari ini. Hal yang sangat tidak Miranti sukai. Selama ini Kinanti adalah satu-satunya orang yang membuat Miranti merasa tersaingi. Entah itu perhatian kedua orang tuanya yang terbagi pada kakaknya, juga lain sebagainya. Padahal selama kurun waktu beberapa tahun ini Miranti merasa menjadi yang nomor satu dalam keluarga karena Kinan dikirim orangtuanya ke luar negeri. Dan sekarang ... Argh. Miranti menjambak rambutnya karena perasaan kecewa. Baru juga wanita itu merasa menang dan lega karena kepergian si culun Andaru dari perusahaan. Salah satu orang yang dia benci menyingkir dari kehidupannya. Namun, ternyata hari ini justru muncul lagi orang lain yang juga ia benci harus berada di satu rumah yang sama, juga bekerja di kantor yang sama pula. Dengan adanya Kinanti, Miranti yakin sekali jika papanya --Dion Arashi-- pasti akan kembali menjunjung tinggi keberadaan Kinan yang memang tak Miranti pungkiri memiliki tingkat kecerdasan di atasnya. Dan Miranti tidak suka akan hal itu. Kenapa juga harus Kinan yang lebih segalanya dari dirinya, dan bukan dirinya. Kinan lebih pandai, Kinan lebih cantik dan Kinan yang lebih disayang oleh papa dan mamanya karena kecakapan dan banyaknya prestasi yang diperoleh kakak perempuannya itu. Menghentakkan kaki setelah dia berdiri dari duduknya. Berjalan menuju ruang meeting di mana pagi ini adalah hari pertama masuknya Kinan ke kantor dan sedang diadakan penyambutan untuk wanita itu. Apa yang Miranti tahu, Kinan akan ditempatkan oleh papanya sebagai Manager Marketing, sesuai dengan jenjang pendidikan Kinanti. Miranti berdiri di depan ruang meeting yang pintunya terbuka setengah. Malas sekali dia masuk ke dalam, tapi apalah daya karena Maranti tak mau Dion menegurnya. Jika Mira tidak menurut pada papanya, yang ada semua perhatian sang papa akan tercurah pada Kinan. Miranti tak akan membiarkan hal itu terjadi. Sial! u*****n kasar Mira hanya mampu ia keluarkan di dalam hati. Lalu gadis itu masuk dan duduk dengan malas di antara para karyawan yang lainnya. Dion Arashi tampak percaya diri memperkenalkan putri pertamanya pada seluruh pejabat penting perusahaan. Tampak sekali raut kebanggaan di wajah Dion dengan hadirnya Kinan di perusahaan. Setelah beberapa waktu lalu kehilangan Andaru, salah satu karyawan yang mampu ia andalkan. Karena keegoisannya yang tak mau Andaru ngelunjak padanya, akhirnya Dion memilih untuk memecat pria itu. Sempat mengalami kecemasan karena kacaunya sistem jaringan di perusahaan meskipun pada akhirnya tim IT berhasil menyelamatkan semua setelah melewati waktu selama satu minggu lamanya. Kini dengan hadirnya Kinan, Dion menaruh harapan besar pada putrinya itu untuk membantu memajukan serta mengembangkan perusahaan lebih baik dari sekarang. "Perkenalkan, Kinanti Dewi, putri pertama saya yang mulai hari ini akan bergabung dengan perusahaan Arashi Group dan akan memegang jabatan sebagai manager marketing. Saya berharap Kinan sanggup membawa tugas dan tangung jawab dengan sebaik-baiknya." Dion memulai obrolan dengan mengenalkan putri pertamanya. Kinanti Dewi, perempuan cantik yang tak kalah cantik dari Miranti Sasha memperkenalkan diri dengan senyum yang tak lepas dari bibir merah mudanya. Hanya saja siapa pun yang menilai pasti tahu jika Kinan jauh lebih ramah daripada Miranti. "Mohon bantuan dan dukungannya," ucap Kinanti di akhir kata sambutan perkenalannya. Miranti, dengan kedua tangan bersadekap depan dadaa, menatap sinis pada sang Kakak yang sangat tidak ia suka keberadaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD