Sang Pewaris-14

2008 Words
"Eum ... Pak. Apakah Anda baik-baik saja?" Dengan keberanian yang dipaksakan, Andaru pun bertanya karena semakin cemas dan khawatir akan kondisi penumpangnya pagi menjelang siang ini. "B-bawa saya ke rumah sakit terdekat," jawab lelaki yang tak lain adalah Hari Prasetya. Ya, lelaki itu tadi memang merasakan tidak enak badan ketika menaiki pesawat. Kondisi cuaca yang tidak baik menyebabkan guncangan pada pesawat yang ia naiki. Dan hal itulah penyebab Hari yang awalnya baik-baik saja tiba-tiba merasa pusing juga sedikit mual pada perutnya. Berusaha ia tahan sampai pesawat berhasil mendarat di kota tujuannya. Namun, sepertinya kesialannya tidak sampai di sini karena driver yang ditugaskan untuk menjemput justru memberikan kabar jika mobilnya mogok di jalan. Seharusnya bisa saja Hari menunggu jemputan selanjutnya akan tetapi sesak napas juga jantung yang tiba-tiba ia rasa berdetak tidak normal memaksa lelaki itu untuk segera meninggalkan bandara. Hari membutuhkan istirahat sekarang dan menaiki sebuah taksi adalah solusi untuknya segera menuju hotel. Sayangnya di tengah jalan kondisinya semakin tidak membaik saja. Andaru yang panik mengangguk mengerti. "B-baik, Pak. Bapak masih bisa bertahan, kan?" Andaru menolehkan kepalanya ke belakang sesekali untuk mengetahui kondisi lelaki yang semakin terlihat sangat pucat. Ya, Tuhan! Dalam hati Andaru terus memanjatkan doa agar tak terjadi apa-apa dengan penumpangnya kali ini. Jika sampai terjadi sesuatu, maka tamatlah riwayat Andaru. Dengan satu tancapan gas, Andaru menambah kecepatan laju taksinya agar segera menemukan rumah sakit terdekat. Membelokkan mobil ketika tempat yang dia tuju ada di depan mata. Sigap berhenti di depan ruang ICU dan keluar dari dalam taksi untuk mencari bantuan pada suster jaga. Sebuah brankar didorong oleh dua orang perawat pria mendekati taksi. Andaru membuka pintu taksi lalu membantu Hari keluar dengan sangat hati-hati. Membaringkan tubuh Hari di atas brankar. Selagi petugas medis membawa Hari untuk masuk ke dalam, Andaru membawa taksinya menuju parkiran. Tidak mungkin juga Andaru tega meninggalkan penumpangnya sendirian begitu saja di dalam rumah sakit. Lagipula dia ikut bertanggung jawab juga karena Andaru sendiri tidak tahu siapa keluarga lelaki itu. Membiarkan koper milik Hari tetap berada di dalam bagasi. Andaru gegas masuk ke daam ruang ICU di mana Hari tengah mendapatkan pertolongan pertama. "Anda keluarganya?" tanya salah seorang perawat yang menghalangi Andaru untuk masuk ke dalam. "Bukan, Sus. Saya hanya sopir taksi yang tadi membawa bapak itu ke sini." "Beliau mengalami serangan jantung." "Apa? Lalu bagaimana kondisinya?" "Sedang ditangani oleh dokter. Eum ... Mungkin sebaiknya Anda bisa mengurus adminstrasinya terlebih dahulu selagi kami menangani pasien." Andaru hanya menganggukkan kepala. Tak mungkin menolak juga bukan meski dia bukan keluarga pasien. Namun, dialah orang yang membawanya ke tempat ini dan Andaru akan bertanggung jawab untuk sementara waktu, mewakili keluarga pasien. Mengusap wajahnya sedikit memanjangkan leher agar dapat melihat ke dalam ruangan meski tak bisa ia ketahui sedang diapakan lelaki tadi di dalam sana. Langkah gontai Andaru membawanya pada resepsionis. Mendaftarkan pasien yang ia tak tahu siapa namanya. Sebagai jaminan KTP Andaru yang dipergunakan. Setelahnya, ia menunggui pasien di depan ruangan ICU. Menunggu dokter keluar dengan membawa berita baik tentunya. Perasan Andaru saat ini campur aduk luar biasa. Mengusap wajah berkali-kali untuk menenangkan hatinya, tapi tetap daja tidak bisa Tak lupa Andaru mengabari kantornya bahwa ada penumpangnya yang masuk ke rumah sakit. Jika dia tidak memberikan informasi itu oada kantor, Andaru takut ia mengalami masalah nantinya jika sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada lelaki itu. *** Kelegaan jelas tergambar di wajah Andaru. Pria bernama Hari Prasetya yang pada akhirnya ia ketahui juga namanya melalui kartu identitas di dalam dompet lelaki yang tadi menjadi penumpanganya. Saat ini hari telah menjelang sore di mana Andaru masih disibukkan berada di rumah sakit. Beruntungnya ia telah mengantongi ijin dari kantor untuk menunggui penumpangnya yang sakit tadi karena hingga detik ini belum ada keluarga yang datang melihat. Dan saat ini Hari Prasetya telah dipindahkan ke ruang perawatan. Sesuai permintaan pasien sendiri yang ingin dirawat di ruang VVIP rumah sakit. Terlihat sekali jika lelaki itu adalah orang kaya. Menurut infomasi yang Andaru dapatkan dari salah seorang suster, keluarga pasien pun juga sudah diberi kabar. Lega. Begitulah Andaru rasa saat ini. Pun jiga keadaan pasien yang juga sudah membaik sore ini. Andaru mengeluarkan koper milik Hari yang masih berada di dalam bagasi taksinya. Ia menyeretnya membawa masuk ke dalam ruang perawatan Hari Prasetya. Mengetuk pintu bercat putih sebelum dia masuk begitu saja. Lalu dengan perlahan Andaru memutar handle sampai pintu terbuka sedikit. Kepala Andaru melongok ke dalam takut menganggu istirahat pasien di dalam sana. Rupanya lelaki yang tadi menjadi penumpangnya, sekarang sedang merebah dengan mata terbuka menatap pada pintu yang di sana Andaru tengah berdiri. "Selamat sore, Pak. Boleh saya masuk." Hari mengulas senyuman. "Masuklah anak muda." Andaru menganggukkan kepala lalu masuk ke dalam. Tak lupa kembali menyeret koper setelahnya menutup pintunya begitu ia telah berada di dalam ruangan. Berjalan mendekat pada ranjang di mana Hari tengah berisitirahat karena tubuhnya masih lemas tak berdaya. "Eum ... maaf, Pak. Saya mengantarkan koper Anda yang tadi ada dalam bagasi taksi saya." Dengan sopan Andaru menjelaskan sembari menunjuk pada koper yang Andaru letakkan di pojok ruangan. "Terima kasih banyak anak muda. Ayo kemari lah." Pinta Hari pada Andaru agar pria itu mendekat. Ada sebuah kursi di sisi ranjang yang Hari tiduri. "Duduklah." Kembali Hari meminta karena Andaru hanya berdiri dengan canggung di sisi ranjang. Mendengar permintaan Hari, Andaru pun menurut untuk duduk di atas kursi. "Terima kasih karena kamu telah membawaku ke rumah sakit. Jika sampai terlambat sedikit saja maka nyawa saya bisa melayang." Mengatakan itu lalu Hari terkekeh. Mengingat bagaimana perjuangan sopir taksi yang kini duduk di hadapannya, beberapa jam lalu telah berjuang menyelamatkannya dengan membawa laju taksi di atas rata-rata demi bisa segera sampai di rumah sakit. Hari masih sangat mengingatnya. Ucapan Hari justru membuat Andaru merasa tidak enak hati dan hanya tersenyum simpul menanggapi. Pasalnya apa yang tadi pagi Andatu lakukan karena dia diserang kepanikan. "Oh, ya. Siapa namamu?" Hari bertanya karena sejak tadi mereka belum sempat berkenalan. Di baju seragam taksi yang Andaru kenakan, sebetulnya terdapat name tag. Hanya saja karena kali ini Andaru memakai sebuah jaket, jadilah Hari tidak melihatnya. "Nama saya Ndaru, Pak." "Ndaru. Berkat kamu yang sigap membawa saya ke sini, pada akhirnya hingga detik ini saya masih bisa bertahan hidup karena cepat mendapatkan pertolongan pertama. Sungguh, kamu ini begitu baik dan sangat berjasa bagiku." Dipuji seperti ini bukannya membuat Andaru semakin besar kepala. Tidak demikian. Justru yang ada Andaru merasa tidak enak saja mendengar ucapan lelaki di hadapannya ini yang terkesan berlebihan. Padahal Andaru hanya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Yaitu menolong sesama di saat orang lain sedang membutuhkan bantuan. "Semua orang juga akan melakukan hal yang sama seperti saya jika kedapatan seorang penumpang sedang sakit dan membutuhkan bantuan. Jadi, bapak jangan berlebihan." "Tetap saja kamu pemuda yang baik sampai-sampai mau mengorbankan waktu untuk menunggui saya di sini. Padahal seharusnya hari ini kami bisa narik penumpang lagi jika kamu meninggalkan saya di sini seorang diri." "Saya hanya ingin menolong Bapak. Mana saya tega meninggalkan Bapak di saat keluarga belum datang." "Tadi saya sudah meminta pada suster untuk menelepon istri saya. Sepertinya saat ini dia sedang perjalanan ke sini." "Memangnya Bapak asli mana dan kenapa harus melakukan perjalanan jauh jika sedang tidak enak badan." "Itulah, Ndaru. Karena saya memaksakan diri jadinya justru sepeti ini. Merepotkan banyak orang. Beruntung sekali aku bertemu dengan orang baik sepertimu." Andaru hanya tersenyum lalu pria itu menatap pada jam yang menempel di salah satu sisi dinding ruangan. Sudah sore dan saatnya Andaru untuk pulang. Menunggu istri dari pasien datang juga Andaru tak tahu sampai jam berapa. "Baiklah, Pak. Jika seperti itu saya pamit pulang dulu sebentar. Saya ingin mandi dulu. Nanti saya akan kembali ke sini menemani Bapak sampai istri Bapak datang." "Kenapa kamu baik sekali. Maaf jika telah merepotkanmu." "Tidak, Pak. Sama sekali tidak merepotkan. Bukankah sesama manusia kita dituntut untuk saling tolong menolong." Andaru beranjak berdiri dan bersiap meninggalkan Hari. Namun, tiba-tiba Hari kembali memanggilnya. "Ndaru! Bisa tinggalkan nomor teleponmu untukku?" Andaru membenarkan letak kacamatanya lalu menganggukkan kepala. "Tentu saja bisa, Pak." "Panggil saja aku Hari. Om Hari. Bolehkan aku menghubungimu jika memerlukan sesuatu. Maaf karena saya bukan orang asli kota ini. Jadi tidak mengerti tentang seluk beluk kota ini." Bukan tanpa alasan Hari mengatakan demikian. Sebenarnya bisa saja Hari meminta bantuan pada rekan bisnisnya yang tinggal di kota ini. Hanya saja Hari tak yakin mereka ada yang mau membantunya. Dan melihat ketulusan dimata Andaru rasanya Hari seolah memiliki kedekatan dengan pemuda itu. Hari memberitahu Andaru untuk mengambil ponsel miliknya yang tersimpan di dalam laci nakas dan meminta pada Andaru untuk menyimpan nomor teleponnya di sana. "Eum ... Pak Hari. Bolehkah saya menyimpan nomor ponsel Anda juga?" "Silahkan, Ndaru." "Terima kasih." Setelahnya Andaru kembali menyimpan ponsel milik Hari ke dalam nakas dan dia pun berpamitan untuk pulang. *** Sampai di rumah Arimbi yang cemas karena tadi Andaru sempat memberinya kabar jika ada penumpangnya yang masuk rumah sakit karena terkena serangan jantung, sehingga Andaru harus pontang panting ikut bertanggung jawab mengurus semuanya. Bagaimana Arimbi tidak cemas jika dia takut terjadi sesuatu pada penumpang itu dan juga putranya. Takut jika Andaru mengalami masalah karena salah satu penumpang ada yang sakit dan dibawa oleh putranya. Hingga ketika mendengar deru mesin motor milik Andaru yang terparkir di halaman depan maka Arimbi dengan tergesa segera membukakan pintu untuk anaknya. "Ndaru sudah pulang kamu, Nak." Andaru tersenyum. Arimbi pasti mengkhawatirkan juga mencemaskannya. Dan Andaru sudah dapat menebaknya. "Sudah, Bu." "Bagaimana kabar penumpangmu tadi, Ndaru?" Tak sabar Arimbi segera bertanya. "Kita masuk dulu, Bu. Aku akan ceritakan semuanya pada Ibu." Tak enak juga jika mereka mengobrol di luar rumah seperti ini. Dilihat tetangga tentu tidak sopan sekali. Meski tetangga kanan dan kiri Andaru adalah orang-orang baik yang tidak pernah julid. Beruntungnya keluarga Andaru dikelilingi oleh orang baik yang selalu menolong mereka. Andaru duduk di kursi ruang tamu dan Arimbi yang muncul dengan membawa minuman segera diraih olehnya. Andaru meminumnya agar tenggorokannya yang kering bisa ia basahi. Sungguh mengurusi Hari Prasetya seharian ini di rumah sakit sangat menguras energinya. Kantor tempatnya bekerja juga sangat baik memberikan ia waktu untuk mengurus penumpang yang sakit. "Alhamdulilah, Bu. Pak Hari baik-baik saja." "Pak Hari?" Arimbi bertanya mendengar satu nama yang disebut oleh putranya. "Iya. Namanya Pak Hari Prasetya." "Bagaimana ceritanya sampai orang itu sakit di dalam taksimu. Asal kamu tahu Andaru. Setelah kamu menelepon Ibu, perasaan ibu tidak tenang. Ibu cemas takut jika sampai terjadi sesuatu. Jangan sampai kamu dipersalahkan andai telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada penumpangmu itu." 'Tidak mungkin begitulah, Bu. Wong aku tak melakukan apapun juga jadi mana bisa dipersalahkan andai terjadi sesuatu pada Pak Hari. Sejak Pak Hari masuk ke dalam taksi beliau sudah dalam kondisi pucat. Ternyata beliau terkena serangan jantung. Beruntungnya Pak Hari meminta padaku untuk segera membawanya ke rumah sakit. Andai telat sedikit saja mungkin kondisi beliau bisa semakin parah." Dan Andaru menceritakan semua mengenai kronologis kejadiannya seperti apa. Arimbi mendengarkan dengan seksama karena dia sendiri ikut penasaran sejak tadi. "Terus kenapa sekarang Pak Hari kamu tinggal pulang, Ndaru? Di sana dengan siapa Pak Hari itu?" Arimbi yang sudah mendengar jika Hari Prasetya sebenarnya hanya pendatang karena ada urusan proyek, membuat Arimbi ikut merasa iba karena tidak ada keluarga yang menunggui di sana. "Ada suster yang tadi aku pamiti dan kuminta menjaga Pak Hari. Aku harus mandi, Bu. Setelah mandi dan makan nanti, aku akan kembali ke rumah sakit menemani Pak Hari sampai ada keluarganya yang datang. Kasihan jika harus membiarkan beliau sendirian." "Jadi keluarganya sudah dikabari" "Sudah, Bu." "Ya, sudah sebaiknya kamu segera mandi lalu makan. Ibu lihat wajahmu tampak lelah sekali." Tentu saja Andaru lelah bahkan ini lebih lelah dari saat dia menarik taksi. Selain lelah fisik juga lelah pikiran. Bagaimana ia tidak cemas dan panik jika belum mengetahui sendiri bagaimana kondisi Pak Hari yang jauh lebih baik. Ah, kenapa juga hari ini begitu berat sekali Andaru lalui. Tapi dia ikhlas menolong Pak Hari. Tidak kenal pamrih sekalipun ia mengetahui jika Pak Hari adalah orang kaya. Tak ada juga dalam pikiran Andaru untuk meminta imbalan atas apa yang telah ia lakukan hari ini pada lelaki itu. Yang penting melihat Pak Hari kembali sehat maka pikiran Andaru akan kembali tenang nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD