"Bibirmu itu jangan mengerucut terus seperti itu. Tidak enak jika dilihat Kinan. Kenapa susah sekali menerima kenyataan jika kakakmu juga memiliki hak yang sama bekerja di kantor ini bersamamu." Dion Arashi yang saat ini tengah bersama Miranti di dalam ruang kerja lelaki itu, berusaha memberikan pengertian.
"Terus saja papa bela dia." Kekesalan tampak jelas di raut wajah Miranti, dan Dion sangat tahu akan hal itu. Sejak semalam ketika Dion memutuskan untuk memberikan kesempatan bagi Kinan bekerja di Arashi Group, tentangan utama datang dari putri keduanya itu yang tak suka jika Kinan bekerja di satu tempat yang sama karena merasa takut kalah tersaingi. Padahal Dion Arashi tak pernah ada niatan untuk membandingkan keduanya, apalagi meminta pada kedua putrinya untuk saling bersaing.
"Mira! Jaga bicaramu. Jangan seperti itu!" hardik Dion karena tak tahu lagi bagaimana caranya memberikan pengertian pada Miranti. Kinan juga anaknya, meski bukan anak kandung dan juga bukan darah dagingnya sendiri. Namun, Dion telah membesarkan Kinan engan kedua tangannya sejak putrinya itu kecil. Sampai Miranti lahir pun kasih sayang Dion tak berkurang dan tetap sama pada Kinan.
Sekarang, ketika kedua putrinya beranjak dewasa harapan Dion agar keduanya hidup rukun dan juga saling akur sirna sudah. Semua karena Miranti. Andai Mira tidak pernah mengetahui hal sebenarnya tentang Kinan, mungkin Mira tak akan pernah memiliki sikap juga sifat seperti ini. Mira yang semakin murka karena Dion juga sangat memanjakan Kinan. Bagi Mira hanya dia yang boleh dimanjakan oleh Dion karena dialah Putri kandung papanya itu. Sementara Kinan?
Dion tersentak karena derit kursi yang beradu dengan lantai menimbulkan suara yang cukup keras. Miranti beranjak berdiri begitu saja, bahkan hentakan hight heel yang menggema di dalam penjuru ruangan Dion Arashi. Dion menatap punggung Miranti yang meninggalkan ruangan tanpa kata. Pria itu mengembuskan napas kasar. Selalu saja seperti ini jika ada Mira dan Kinan dipertemukan.
Dion tak ingin sebenarnya Miranti memiliki sikap seperti ini. Terlalu cemburu yang berlebihan pada Kinanti. Sebagai seorang papa, Dion berada di posisi yang serba sulit. Di satu sisi tidak mungkin juga dia membiarkan Kinan bekerja di perusahaan lain setelah dia membiayai kuliah putri pertamanya itu sampai S2 di luar negeri. Tujuan sebenarnya Dion mengirim Kinan ke luar negeri pun agar kemampuan dan juga kepandaian Kinan semakin bertambah. Dengan begitu Kinan dapat ia harapkan untuk membantu memajukan perusahaan. Tak dipungkiri jika Kinan memiliki kemampuan untuk Dion menaruh harapan besar pada putri pertamanya itu.
Sejak kecil kepandaian kedua putrinya sudah terlihat jelas padahal selisih usia keduanya hanya terpaut dua tahun saja. Namun, Kinan yang pandai selalu mendapatkan prestasi. Lain halnya dengan Miranti yang tertinggal cukup jauh dari kakaknya.
Sampai sekarang pun keberadaan Miranti di kantor ini tak memberikan banyak kemajuan untuk perusahaan Arashi Group. Jabatan yang diberikan Dion untuk Miranti juga bukan divisi yang langsung berhubungan dengan produk sehingga tidak ada target yang dibebankan pada Miranti. Sebagai seorang Manager Public relation, Miranti akan lebih banyak berhubungan dengan customer.
Bukan maksud Dion membeda-bedakan kedua putrinya. Tidak sama sekali. Dion hanya berusaha mengukur kemampuan yang Miranti miliki dan Dion tahu jika putri keduanya itu tak akan sanggup jika diberikan beban pekerjaan yang berat. Miranti bukan tipe orang yang mau berjuang keras demi dirinya sendiri. Miranti lebih cenderung suka bergantung pada orang lain dan siapa lagi juga bukan pada papanya dia menggantungkan dirinya. Bahkan ketika Dion meminta pada Miranti untuk mengikuti jejak Kinan melanjutkan kuliah di luar negeri, perempuan itu menolaknya mentah-mentah. Dion tak perlu bertanya apa alasan Miranti tidak mau jauh dari kedua orang tuanya. Itu sebab karena Miranti bukanlah anak yang mandiri.
Lagi-lagi Dion harus mengurai lamunannya karena pintu ruang kerjanya yang diketuk dari luar membuat Dion terkejut dibuatnya. Dion menatap pada pintu yang kini mulai terbuka. Ada Kinanti yang tengah berdiri di sana sembari mengulas senyuman. Kinan memang ramah pada siapa saja. Sifatnya santun dan lemah lembut membuat siapa saja merasa segan kepadanya.
"Pa!" panggil perempuan itu ketika mendapati papanya tengah membalas senyumannya.
"Masuklah Kinan," pinta Dion pada putrinya.
Dengan sangat anggun Kinan memasuki ruangan papanya lalu berdiri di depan pria itu.
"Duduk, Kinan. Apa harus Papa persilahkan?"
Kinan terkekeh lalu ia duduk di kursi yang berada di hadapan papanya. Ini adalah hari pertama Kinan bekerja. Jadi wajar saja jika Kinan masih merasa canggung juga gugup tentunya.
"Ada apa? Apakah ada yang bisa Papa bantu?"
Wanita itu menggelengkan kepalanya. Namun, justru menyerahkan sebuah map pada papanya. Membuat kening Dion mengernyit dalam. "Apa ini?" tanyanya karena rasa penasaran.
"Rencana kerjaku selama satu bulan ke depan."
Dion tampak berpikir lalu meraih apa yang putrinya sodorkan. Membuka map yang berisikan beberapa poin tertulis mengenai rencana apa saja yang ingin Kinan kerjakan. Begitu saja senyuman Dion tercetak jelas di bibirnya.
"Luar biasa." Puji Dion setelah membaca apa yang disampaikan oleh Kinan sangat sesuai dengan pemikirannya.
Kinan telah menyusun target dan rencana kerja sampai satu bulan ke depan sebagai langkah apa saja yang ingin dilakukan demi memajukan Perusahaan. Hal seperti ini Kinan sendiri yang memiliki inisiatif tanpa harus Dion perintahkan.
Di hari pertama Kinan bekerja, Dion hanya meminta pada salah satu stafnya untuk membawa Kinan keliling kantor dan mengenalkan Kinan pada seluruh karyawan. Siapa sangka jika pemikiran Kinan bisa lebih maju selangkah dari yang Dion targetkan.
"Bagus, Kinan. Papa suka dengan cara kerjamu yang demikian. Kamu bukan orang pasif yang hanya menunggu perintah dariku. Namun, kamu adalah orang yang aktif. Langsung menyodorkan rencana kerja dengan memberikan target pada diri sendiri. Papa bangga padamu. Meski belum ada pengalaman kerja sebelumnya, tapi kamu bisa mengerti tentang ini semua."
"Loh, Papa jangan salah. Siapa bilang ini adalah pengalaman pertamaku bekerja. Sebelum ini aku sudah pernah magang kerja selama tiga bulan di sana." Kinan seolah berusaha mengingatkan papanya jika selama berada di luar negeri, Kinan tak hanya melulu kuliah saja. Tapi dia pun pernah mencari pengalaman dengan magang kerja di sebuah perusahaan besar.
"Ah, iya. Papa lupa. Pantas saja kamu bisa mengadaptasi cara kerja orang luar negeri. Bagus. Tingkatkan prestasimu, Kinan. Papa menaruh harapan besar padamu."
"Tapi papa jangan terlalu berlebihan begitu padaku. Jangan suka memuji berlebihan apalagi ketika berada di hadapan Mira."
Kinan tahu betul jika sejak dulu Mira, adiknya, sangat tidak menyukai dirinya. Selalu iri juga ingin menjadi lebih dan yang diutamakan daripada dirinya. Meski demikian Kinan selalu mengalah dan mencoba selalu mengerti apapun yang diinginkan Mira. Kinan sadar diri jika usianya yang lebih tua, dia harus bisa bersikap lebih dewasa daripada adiknya. Bukankah mengalah tidak berarti kalah? Begitu kira-kira yang mamanya selalu ajarkan padanya. Kinan terbiasa mengalah tapi Mira tetap saja tidak pernah merasa puas.
"Kau ini anak yang aneh. Di mana pun itu seorang anak pasti haus pujian dari orang tuanya. Tapi kamu ini justru tidak pernah mau Papa puji. Padahal kamu pantas mendapat itu semua. Lantas dari mana kamu bisa tahu jika Papa merasa sangat bangga pada semua pencapaianmu?"
"Aku cukup tahu dari reaksi papa saja. Jika kerja kerasku membuat papa puas dan bangga, otomatis papa akan lebih banyak tersenyum. Tapi, jika papa tidak puas atau justru merasa tidak suka maka Papa akan bersikap menyebalkan sekali."
"Mana ada seperti itu. Kapan papa pernah bersikap menyebalkan sekali?" Dion tidak terima mendengar ungkapan putrinya. Padahal niat Kinan hanya bercanda dan menggoda papanya saja.
Kinan menyipitkan matanya. "Yakin Papa tidak pernah bersikap menyebalkan?"
Dion kalah telak. Pria itu justru diam karena sedang mengingat sesuatu. Selama ini dirinya adalah seorang pria ambisius yang bisa menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan apa yang dia mau. Tentu saja dengan begitu, maka Dion pasti akan sering sekali bersikap menyebalkan tanpa dirinya sadari. Bersikap baik oada orang lain karena mengincar suatu hal itu sudah bisa juga Dion lakukan. Dan ingatan Dion berputar pada Andaru. Mantan karyawan yang memiliki kemampuan lebih tapi harus ia sia-siakan karena mungkin saja Andaru menyadari bahwa keberadaannya di kantor ini hanya dia manfaatkan saja.
"Pa ... Papa kenapa jadi melamun?" Kinan bertanya ketika menyadari pandangan Dion yang kosong seolah sedang memikirkan sesuatu.
Dion terkesiap lalu berusaha menormalkan kembali ekspresi wajahnya. "Tidak. Papa tidak kenapa-kenapa. Hanya mengingat seseorang yang ingin sekali membuat Papa segera pulang."
Ucapan aneh yang justru Dion katakan membuat Kinan tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Papanya ini tua-tua keladi. Makin tua makin menjadi saja. Tentu Kinan paham akan apa yang papanya sampaikan jika ingin segera pulang. Apalagi jika bukan karena mamanya. Tak Kinan pungkiri jika rasa cinta sang papa pada mamanya begitu besar. Kinan sangat tahu hal itu. Mamanya hanya ibu rumah tangga yang diratukan oleh papanya. Tidak boleh bekerja dan selalu disenangkan hatinya dengan memberinya hidup yang layak dan bergelimang harta. Papa yang selalu bekerja keras untuk anak dan istrinya. Dan Kinan bangga memiliki Dion sebagai papanya. Mengenyahkan sebuah fakta jika Dion bukan papa kandungnya.
"Ya, sudahlah. Aku balik ke ruanganku saja. Jika papa rindu Mama ... pulang saja." Kinan tertawa kecil lalu beranjak dari duduknya. Perempuan itu pamit pada Dion sebelum meninggalkan ruangan.
***
Andaru beberapa kali mengumpat dalam hati karena bisa-bisanya ia mendapat seorang penumpang yang meminta kepadanya untuk diantarkan ke Arashi Building. Penumpang perempuan yang Andaru perkirakan adalah klien dari Arashi Group.
Sungguh Andaru tak habis pikir, dari sekian banyak tempat kenapa harus Arashi lagi yang dia datangi kali ini. Tempat yang berusaha Andaru hindari untuk dikunjungi.
Ingin menolak penumpangnya tadi, tapi sudah terlanjur juga. Berpikir dalam hati juga mencari cara bagaimana agar nantinya orang-orang di Arashi yang siapa tahu saja ada yang melihatnya, tidak mengenali bahwa dia adalah Andaru Dewangga, mantan karyawan Arashi Group.
Jujur Andaru sangat malas menginjakkan kakinya di tempat yang menorehkan banyak kenangan buruk padanya. Andaru sangat menghindari bertemu dengan orang-orang yang dulu selalu menghina dan menginjak-injak harga dirinya.
Saat ini meskipun Andaru hanyalah seorang sopir, akan tetapi orang-orang di sekitarnya selalu menghargai dan memperlakukan dia begitu baik. Tak ada yang menghina profesinya apalagi mempermasalahkan penampilan cupunya. Ini sudah menjadi kodrat Andaru untuk memiliki penampilan seperti ini. Ingin merubah penampilan, tapi Andaru belum memiliki rasa kepercayaan diri.
Tak henti berdoa agar keberadaannya tidak diketahui oleh siapa pun juga. Jantung Andaru berpacu sangat kencang ketika taksi yang ia kemudikan memasuki gerbang masuk dan langsung menuju depan lobi. Sialnya lagi Andaru harus turun membukakan pintu untuk penumpangnya. Harap-harap cemas ketika taksi telah berhenti. Seorang petugas keamanan mengecek keseluruhan taksinya baru setelahnya pria itu turun membukakan pintu.
Semua masih aman dan terkendali ketika Andaru yang menundukkan kepala tengah membuka pintu. Setelahnya, dia mengitari bagian samping taksinya dan dengan cepat menurunkan barang bawaan penumpang dari dalam bagasi. Andaru melakukan semua dengan sigap dan cepat berharap ia bisa segera meninggalkan tempat ini sebelum ada orang yang mengenalinya.
Bukan Andaru malu pada profesinya yang sekarang ini. Menjadi seorang driver taksi bukan pekerjaan rendahan apalagi pekerjaan hina. Andaru sendiri merasa bangga dan nyaman menjalaninya. Hanya saja, Andaru belum siap jika keberadaannya di tempat ini akan memicu sakit hatinya yang dulu ia rasa dan mulai ia enyahkan, akan kembali ia dapatkan.
Penumpang yang tadi ia bawa membayar Andaru lebih dari tarif normalnya. Setelahnya perempuan itu mengucapkan terima kasih dan meninggalkan Andaru masuk ke dalam lobi. Tak ingin berlama-lama lagi. Andaru sudah membuka pintu taksinya. Namun, belum juga ia masuk ke dalam, suara seseorang yang mengagetkannya mau tidak mau membuat Andaru memutar kepalanya.