Akhirnya Kamu Pulang Juga, Ron!

1319 Words
Kicau burung mengawali pagi ini. Mentari pagi turut serta memberikan penerangannya. Sebagai tanda, bila malam telah berakhir. Rainer yang masih terlelap di atas tempat tidur tiba-tiba saja terbelalak. Ia melonjak bangun dan mengedarkan pandangan matanya, ke arah samping tubuhnya sendiri. Wanita yang semalam terlelap bersamanya. Kini entah berada dimana. Ranjang sebelahnya nampak kosong melompong. Karena telah ditinggalkan penghuninya. Dengan cepat Rainer berangsur turun dari atas tempat tidur dan mencari sang istri ke setiap sudut ruangan. Ke balkon, kamar mandi, hingga ke sekeliling rumahnya. Namun Lily tidak ada. Ia tidak berada dimana pun pada ruangan ini. "Oh astaga!!" Rainer membekap wajah dengan kedua telapak tangannya. Napasnya terengah-engah. Bukan hanya karena lelah mencari ke sana kemari. Tapi, akhirnya hal yang ia takutkan pun terjadi. Lily pasti pergi. Ia pergi meninggalkannya. Harus bagaimana sekarang?? Bagaimana lagi harus menghadapi ibu dan ayah mertuanya nanti. Rainer terduduk lemas di teras rumah, sambil memijat ruang diantara kedua matanya. "Enak ya jalan-jalan??" ucap suara yang tidak asing, serta suara roda yang berputar. Rainer bergegas mendongak dan mendapati Lily, yang baru saja memasuki gerbang, sambil mendorong stroller dengan Matthew yang berada di dalam. Rainer bangkit dari posisinya dan berlarian menuju Lily. Grep! Tubuh Lily direngkuh dan didekap dengan erat. Tidak. Ia tidak pergi. Ia kembali lagi ke sisinya. "Aduh lepas, Mas. Aku nggak bisa napas!!" pekik Lily saat Rainer memeluknya dengan sangat erat. Saking eratnya, ia sampai merasa sesak dan kesulitan bernapas. Rainer melepaskan dekapannya dan menyentuh kedua bahu Lily. "Kamu darimana saja?? Mas mencari-cari kamu dari tadi." "Aku abis ajak Matthew jalan-jalan di depan. Biar nggak bosen di rumah terus. Lagian Mas kenapa sih?? Tiba-tiba aja lari terus meluk," ucap Lily dengan bibir yang sedikit dimajukan. "Mas pikir... Mas mengira kamu pergi meninggalkan rumah. Makanya Mas panik tadi. Mas sudah mencari-cari kamu ke sekeliling rumah. Tapi tidak ketemu juga," jelas Rainer. "Orang abis jalan-jalan. Lagian mau pergi kemana emangnya??" tanya Lily. Rainer tersenyum kaku dan menggelengkan kepalanya. "Mas pikir, kamu pulang ke rumah orang tua kamu," lirihnya. "Ya hampir," balas Lily dengan enteng. "Hah??" Rainer mengangkat kedua alisnya ke atas. "Kalau Mas Aaron nggak telepon aku. Aku udah mau pulang ke rumah Mama," sambungnya lagi. "Aaron?? Dia telepon kamu? Apa katanya?" tanya Rainer mencecar. "Ya tunggu dia pulang. Dia mau jelasin semuanya di sini pas pulang nanti," ujar Lily. Rainer bernapas lega. Lagi-lagi Aaron lah penolongnya. Coba saja Asistennya bukan Aaron, entah apa yang terjadi pikir Rainer. Tanpa ia tahu, bila keonaran yang terjadi saat ini pun, ada campur tangan dari Asistennya itu juga. "Mas nggak kerja? Ini udah jam berapa? Katanya mau ke kantor." "Iya mau. Tapi... Kalau Mas pergi ke kantor. Kamu tidak akan pergi kemana-mana kan? Kalau pergi, Mas lebih baik di rumah saja," tutur Rainer. "Katanya banyak kerjaan kan? Ya berangkat aja. Lagian, aku juga nggak akan kemana-mana." "Benar? Kamu tidak akan pergi kemana-mana?? Tidak akan meninggalkan rumah ini dan meninggalkan Mas kan??" tanya Rainer lagi untuk lebih membuatnya yakin. Sebelum akhirnya menyesal. Karena ternyata, Lily malah pergi setelah kepergian ia ke kantor. "Nggak kok. Aku kan udah bilang, aku mau nunggu Mas Aaron pulang," sambung Lily lagi. "Ya sudah. Kalau begitu, Mas mau siap-siap pergi ke kantor dulu. Em, Mas yang gendong Matthew ke dalam ya??" ucap Rainer seraya membungkukkan tubuhnya dan mengambil Matthew dari dalam stroller nya. Matthew digendong dan di sandarkan pada d**a Rainer. Ia berjalan diikuti Lily yang mendorong stroller. Setelah beberapa puluh menit. Rainer telah siap untuk berangkat ke kantor. Sudah sarapan lebih dulu dan tinggal berpamitan kepada Lily. Lily. mengantarkan Rainer sampai ke depan pintu luar, dengan Matthew yang berada di dalam gendongannya. "Mas berangkat ya??" ucap Rainer, seraya memperbaiki letak dasi navy yang bertaut di kerah kemeja putihnya. "Iya Mas hati-hati," balas Lily. Rainer bergeming sejenak. Ia tak lantas memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan Lily, yang kini tengah mengernyit keheranan, karena Rainer hanya diam mematung. Padahal, sudah berpamitan. "Katanya mau berangkat? Kok malah diem aja sih, Mas??" tanya Lily. "Kamu benar-benar tidak akan pergi kemanapun kan?" tanya Rainer sekali lagi, dan entah sudah ke berapa kalinya, ia pertanyakan hal tersebut kepada Lily. "Pergilah!" cetus Lily dan membuat Rainer membeliak. "Pergi kemana? Kamu bilang tidak akan pergi kemanapun??" cecar Rainer yang kembali terlihat panik. "Ya pergi ke dalam lah, Mas. Masa iya aku harus berdiri di sini terus seharian. Nggak kemana-mana? Mana sambil gendong Matthew berat, bawa perut juga berat," seloroh Lily. Rainer menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Lalu naik ke satu tangga dan berdiri, dengan jarak yang begitu dekat dengan Lily. Lily mendongak untuk menatap Rainer karena tubuh tingginya. "Mas sayang kamu," ungkap yang langsung memajukan wajah dan memagut bibir Lily. Lily sempat membeliak, karena kecupan yang Rainer berikan, begitu tiba-tiba. Pagutan Rainer lepaskan. Ia menatap Lily dengan lekat dan kembali berkata, "Mas tidak akan pernah mengkhianati kamu. Jadi, percayalah. Kalau Mas tidak mungkin berbuat macam-macam di belakang kamu. Tidak akan pernah lagi sampai kapanpun. Terlalu banyak suka dan duka yang kita lewati bersama. Bahkan, kamu yang menemani Mas di masa terpuruk dan jatuh. Hanya kamu yang selalu ada. Mas akan menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Kalau sampai melakukan hal buruk seperti itu." Sekilas, keraguan di hati Lily memudar. Meskipun Aaron sudah mencoba menjelaskan semuanya. Tapi, masih saja ada keraguan itu. Dan karena Aaron orang terdekat Rainer lah, yang membuatnya ragu. Takut. Takut ternyata mereka bekerja sama dan membohonginya. Atau bisa dibilang, ia mencoba untuk menjaga hatinya dari rasa sakit. Bila seandainya, kenyataan buruk itu benar terjadi. "Iya Mas. Ya udah, Mas berangkat sana! Nanti kesiangan." Rainer masih saja bergeming. Belum merasa tenang dan lega. Hingga ia bisa membuktikan. Kalau ia tidak bersalah. "Ya sudah. Mas berangkat dulu. Kamu hati-hati di rumah ya?" pesan Rainer, sambil membelai rambut sebelah kiri Lily. "Iya Mas." Rainer mengalihkan belaiannya kepada pria mungil di dalam dekapan Lily, lalu mendekatkan wajahnya dan mengecup puncak kepalanya. "Jaga Mommy dan adik di rumah ya? Daddy berangkat kerja dulu," pesannya kepada bayi mungilnya. Kini mulai kembali berdiri tegak. Lalu berbalik dan berjalan pergi ke mobilnya. Namun, sesekali ia masih saja menoleh dan melihat wajah Lily. Sebelum akhirnya, ia masuk ke dalam mobil dan melaju pergi. Di ruangan kantor Rainer. Ia nampak tengah sibuk berkutat dengan tumpukan laporan, yang seperti tidak ada habisnya. Memeriksa dengan seksama. Sebelum mengguratkan bolpoin untuk menandatanganinya berkas tersebut. Jenuh sudah tidak lagi dirasa. Ia mencoba untuk tetap fokus, hingga seseorang yang datang dan masuk ke dalam ruangannya, tanpa mengetuk pintu lebih dulu, mengganggu konsentrasinya. Rainer mendongak untuk melihat siapa orang yang kini sudah berdiri di hadapannya. Lalu mulai berdecak kesal sambil kembali memandangi berkas di tangannya. Orang tersebut menarik kursi di hadapan Rainer dan mendaratkan tubuhnya di sana. "Untuk apa ke sini? Saya sedang sibuk," tutur Rainer tanpa menatap wanita, yang kemarin membuat kehebohan, dengan menyebut bila ia menghamilinya. "Iya saya tahu. Tapi, saya hanya ingin menagih perkataan Bapak. Katanya kita akan membahas hal ini lagi nanti. Dan sekarang, saya rasa sudah waktunya kita membahas hal ini lagi," ujar Jesicca. Rainer menghela napas begitu dalam dan mengembuskannya perlahan. "Kamu ingin berapa?? Kamu melakukan hal seperti ini, pasti karena uang kan???" tegas Rainer. "Ya... Awalnya memang begitu. Tapi, setelah ada janin di rahim saya ini. Saya bukan hanya butuh uang. Tapi saya butuh pertanggung jawaban. Butuh status yang jelas. Saya tidak mau anak ini lahir tanpa status yang jelas. Jadi, nikahi saya, Pak! Berikan status untuk anak ini!" cetus Jesicca dengan penuh penekanan. Rainer mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Tidak tahu lagi bagaimana cara menghentikan Jesicca, ingin memanggil satpam untuk menyeretnya keluar. Ia takut bila nantinya Jesicca malah akan mengatakan kepada semua orang tentang lelucon ini. Bisa rusak reputasinya nanti. "Bagaimana saya bertanggung jawab. Kalau saya tidak pernah menyentuh kamu!" tegas Rainer geram karena selalu didesak. Tiba-tiba saja pintu terbuka, tanpa diketuk terlebih dahulu. Rainer dan Jesicca menoleh bersama. Kini, nampak seseorang yang Rainer tunggu-tunggu kedatangannya berjalan masuk dan mendekat. Guratan senyuman terukir di bibir Rainer. "Akhirnya kamu pulang juga, Ron!!" cetus Rainer antusias.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD