Pulang

1284 Words
"Sayang? Buka pintunya. Ayo kita bicara sebentar. Sayang, Mas tidak ada hubungannya dengan dia. Mas tidak tahu dia hamil oleh siapa. Yang pasti, bukan Mas pelakunya!" Rainer mencoba menjelaskan. Meskipun dari luar kamar yang dikunci sekalipun. Namun, tidak ada jawaban. Tidak ada yang membukakan pintu untuknya. Sepertinya, Lily benar-benar marah dan berpikir, bila Rainer lah yang telah menghamili Jesicca. Rainer mengusap kasar wajah dengan kedua tangannya. Benar-benar ada saja masalah yang merepotkan seperti ini. Ya. Dia harus segera mencari lelaki yang telah menghamili Jesicca dan membuat lelaki itu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bagaimana pun juga, ia tidak mau menjadi kambing hitam di dalam masalah ini. Apalagi, ia tidak merasa melakukan apa-apa. Rainer bergeming dengan pikiran yang terus berkutat pada kata-kata Jesicca kepadanya. 'Saat business trip?? Berani sekali dia mengatakan kita melakukannya hal tersebut saat sedang menjalani pekerjaan.' Sepertinya, ia butuh Aaron, untuk membantunya memecahkan masalah ini, untuk mencari tahu, siapa laki-laki yang telah menghamili Jesicca. Dan juga, ia butuh orang untuk membantunya dalam pekerjaan, karena Jesicca yang bukannya membantu malah menambah masalah baru. Bagaimana pekerjaan di kantor esok hari. Belum lagi istrinya yang sedang marah. Rasa-rasanya, Rainer ingin berteriak saja. Saking bingung dan kesalnya. Ia benar-benar tidak berdaya, bila tidak ada Aaron yang mendampinginya. Rainer merogoh saku celana panjang hitamnya, lalu berjalan ke sana kemari, dengan tangan kanan memegang ponsel di dekat telinga dan tangan kiri memijat-mijat pelipisnya sendiri. "Halo Bos? Ada apa?" tanya Aaron dari sambungan telepon. "Ron, bagaimana keadaan ibumu?" tanya Rainer lebih dulu. Ia tidak bisa langsung memberikan perintah. Sebelum tahu Aaron sudah selesai belum mengurus masalahnya sendiri. "Sudah lebih baik. Besok sudah diperbolehkan pulang oleh dokter." "Baguslah. Jadi kemungkinan lusa kamu sudah bisa pulang ke sini kan?" "Ya bisa dibilang begitu. Memangnya ada apa? Apa pekerjaan di sana tidak dapat teratasi dengan baik?" "Hancur, Ron!! Aku benar-benar hancur! Bukan hanya pekerjaan yang berantakan. Rumah tangga ku ikut terancam berantakan! Kamu tidak di sini beberapa hari saja, semuanya hancur sudah!" keluh Rainer. "Kenapa jadi bawa-bawa rumah tangga? Apa hubungannya??" tanya Aaron kebingungan. "Jesicca hamil. Dia menuduhku menghamilinya! Padahal, aku merasa tidak pernah menyentuhnya sama sekali! Setelah kamu selesai dengan urusanmu di sana. Tolong bantu aku mencari lelaki itu! Mencari lelaki yang menghamilinya! Agar dia bisa menjelaskan kepada Lily, kalau aku tidak bersalah dalam hal ini. Lelaki itulah yang harus bertanggung jawab. Bukan aku!!" pekik Rainer saking geramnya. Hening. Tidak ada jawaban. Rainer pun nampak kebingungan sendiri. "Halo Ron?? Aaron???" panggil Rainer hingga beberapa kali. Ia pun mencoba melihat layar ponselnya dan melihat sambungan teleponnya masih tersambung ataukah sudah terputus. Dan ternyata, masih tersambung. Tapi, kenapa tidak ada jawaban juga? "Aaron! Kenapa diam saja?? Bantulah aku!!" pekik Rainer yang panik dan tidak tahu lagi harus bagaimana mengatasi semua masalah ini sendirian. "Aku tahu siapa orangnya dan aku akan mencoba untuk pulang hari ini juga." "Benarkah?? Ya sudah cepatlah datang! Kita harus menemui lelaki itu!!" cetus Rainer. "Iya baiklah." Panggil diakhiri. Aaron yang sedang berada di dalam ruangan perawatan ibunya dan berdiri di dekat jendela nampak tertegun sambil memikirkan kembali kata-kata Rainer tadi. 'Hamil? Jesicca hamil? Itu berarti... Aku akan menjadi seorang ayah bukan?? Aku akan memiliki anak dengannya??' batin Aaron. "Aaron...," panggil sang Mama ketika melihat putranya yang tengah terdiam dan melamun sendiri. Aaron tersentak dan menoleh. Lalu berjalan menghampiri Ibunya. "Iya Ma. Aaron di sini. Ada apa, Ma?" tanya Aaron ketika sudah berdiri di dekat ranjang pasien. "Kamu sedang memikirkan apa? Kenapa melamun sendirian, Nak? Kalau memang ada masalah di tempat kerja. Tidak apa-apa kamu kembali hari ini. Masih ada Papa yang menjaga Mama. Lagipula, besok Mama sudah diperbolehkan untuk pulang," tutur sang Mama dengan begitu lembut. Gaya bicaranya persis sekali dengan Aaron. Sepertinya, sifat Aaron yang begitu dewasa diturunkan dari Mamanya. "Benarkah? Aaron sudah boleh pergi hari ini juga??" tanya Aaron untuk lebih meyakinkan lagi. "Iya. Sudah pergi saja. Lagipula, Mama sudah merasa lebih baik." "Iya Ron. Masih ada Papa juga yang menemani. Besok pun adik kamu dan suaminya akan datang ke sini. Biar mereka saja yang menjemput Mama untuk pulang dari sini," tambah dari ayah Aaron sendiri. Aaron tersenyum dan mengecup punggung tangan kedua orang tuanya secara bergantian. "Pa... Ma... Do'akan Aaron ya? Supaya semuanya lancar." "Iya, Nak. Do'a Mama dan juga Papa. Selalu menyertaimu." Senyuman di bibir Aaron merekah. Tadinya, ia yang sempat ragu, kini memiliki kepercayaan diri yang penuh. "Kalau begitu Aaron pergi ya, Ma? Pa?" Anggukan serta senyuman dari kedua orang tuanya sudah menjadi lampu hijau bagi Aaron. Dengan cepat ia keluar dari dalam ruangan dan bergegas kembali ke kota tempatnya bekerja. Rainer duduk di samping pintu masuk sambil menekuk kedua lututnya. Satu jam sudah ia berada di sana. Menunggu dan berharap, Lily mau membukakan pintu untuknya. Kenapa ada-ada saja masalah disaat penting dan genting seperti ini. Bagaimana cara ia menyelesaikan semuanya?? Ingin pergi bekerja besok. Tapi tidak mungkin meninggalkan Lily dalam keadaan marah. Tidak pergi ke kantor. Hancur sudah perusahaan yang ia besarkan namanya dengan susah payah. Rainer mengulurkan kepalan tangan kanannya dan kembali mengetuk pintu. "Sayang... Buka pintunya. Mas ingin masuk. Ayo kita bicara sayang." Rainer terperanjat. Saat pintu yang tiba-tiba saja terbuka. Bahkan, Lily muncul dari balik pintu, sambil mendekap putra mereka di dalam dadanya. Rainer bergegas bangkit dari bawah. Ia menelan salivanya sendiri dan langsung berkata, "Sayang, tenangkan diri kamu ya? Rileks tarik napas dan buang perlahan. Kita harus membicarakan hal ini baik-baik. Tidak boleh dengan emosi dengan amarah. Oke sayang???" Lily bergeming dan memandangi wajah Rainer tanpa berkedip. Sementara Rainer menelan salivanya sendiri dengan begitu berat. Ia sudah membayangkan bila sebentar lagi, Lily akan melemparkan bantal serta selimut ke wajahnya dan menyuruhnya tidur di luar. Atau kemungkinan, yang terburuk dari semuanya. Lily menarik koper dan keluar serta pergi meninggalkannya. Astaga! Rainer sudah tidak dapat berkata-kata lagi rasanya. Ia kebingungan setengah mati. Takut hal yang sedang ia pikirkan akan terjadi. Apalagi, kini Lily malah masuk kembali ke dalam begitu saja. Rainer menunggu apa yang akan Lily bawa keluar. Bantal? Atau koper kah?? Namun, setelah beberapa saat menunggu. Lily tidak kunjung kembali keluar dan membiarkan pintu terbuka begitu saja. Penasaran. Rainer mulai melangkah masuk dan melihat Lily yang sedang duduk di tepi tempat tidur, sambil memberikan s**u kepada anak mereka. Beberapa puluh menit yang lalu, ternyata Aaron telah menghubungi Lily. Ia menjelaskan duduk perkaranya. Karena merasa bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi. Lily tidak serta merta percaya memang. Apalagi, Aaron adalah sahabat Rainer juga, bukan cuma asisten pribadinya saja. Tapi, Lily juga merasa Aaron tidak mungkin membohonginya. Hal itu pula lah yang membuat Lily sedikit melunak. Lagipula, Aaron mengatakan akan membeberkan semua bukti, bila Rainer tidaklah bersalah. Dan saat ini, Lily hanya tinggal menunggu bukti-bukti yang akan Aaron berikan kepadanya. Rainer bersimpuh di bawah. Ia menyentuh kaki Lily dengan ujung jari telunjuknya. Masih berusaha bersikap hati-hati dan selembut mungkin. "Sayang, kamu percaya Mas kan?? Mas tidak melakukannya. Mas juga sudah menyuruhnya pergi. Kalau kamu masih marah. Mungkin, Mas juga tidak akan pergi ke kantor besok. Tapi, tidak tahu perusahaan akan jadi apa, bila Mas tinggalkan tanpa satu pun orang penting, yang dapat menghandle semua pekerjaan di sana. Mas pusing sekali. Mas bingung. Tidak tahu harus bagaimana lagi menjelaskan kepada kamu. Tolong percaya Mas ya? Jangan seperti ini. Mas mohon." Rainer bergeming. Sudah kehabisan kata-kata rasanya untuk menjelaskan kepada Lily. Namun, setelah itu ia malah nampak kebingungan sendiri dengan apa yang Lily katakan kepadanya. "Ya udah sana mandi, makan, terus tidur. Besok harus ke kantor kan?" Rainer mengerjap-ngerjapkan kedua matanya hingga berkali-kali. Masih tidak mengira, dengan apa yang baru saja Lily katakan. Apa mungkin dia percaya? Kalau bukan dirinya lah yang menghamili Jesicca. Tapi, bagaimana bisa dia percaya begitu saja? Atau mungkin, saat ia pergi makan, atau mungkin ke kamar mandi, dan mungkin juga saat ia tertidur nanti. Lily akan pergi dari rumah dan meninggalkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD