'Oh my God! Astaghfirullahhalladzim.. kenapa kalian setega ini sama aku? Kenapa gak ada satu pun dari kalian yang mengatakan hal buruk ini sama aku? Sebuah posisi yang teramat sulit aku dapatkan kini seketika menghilang dari genggamanku! Sebenci itu kah Mama dan Syarif ke aku sampai hati kalian membiarkan aku merasa sehina ini?' Gumam Syara dalam hati.
Syara pun hanya mampu mengangguk pasrah seraya tersenyum getir menanggapinya. Sungguh ia merasa bagai seseorang yang telah jatuh kedasar jurang, semakin terjatuh hingga kerak bumi. Bernyanyi adalah sebuah hobi juga salah satu nyawa dalam dirinya. Sebab bagi Syara, dengan bernyayi dapat ia ungkapkan segala perasaan yang ada pada dirinya. Namun kini, segala dunianya tentang musik telah sirna seketika bersama dengan duka yang tiada tara.
"I swear, gue gak dapat omongan apapun dari Nyokap atau pun Adik gue. Okkay, kalian gak perlu minta maaf sama gue. Ya, gue paham kok kalau memang seperti itu situasi dan kondisinya. Gue rasa udah cukup. Udah gak ada lagi hal yang harus kita bicarakan.
“Thanks for all guys. Gue akan coba menerima dengan ikhlas kalau memang ini keputusan kalian. Assalamu'alaikum.." salam Syara seraya ia beranjak dan segera berlalu meninggalkan mereka. Meninggalkan setiap kebahagiaan yang sebelumnya ia punya. Sebab kedua matanya mulai terasa begitu panas. Dan ia rasa sudah tak sanggup lagi ia membendung airmatanya itu.
"Tapi Syar.. Syar.. tunggu Syar.." pekik Haris namun Syara tak mengindahkannya dan mulai setengah berlari keluar dari caffe. "Syaraaa.. tunggu.. please.." pekikn Nadila kini, namun Syara sudah lebih dulu menaiki sebuah taksi yang melintas disana. Beruntungnya, Syara masih memiliki uang simpanan untuk membayar ongkos taksi yang ia naiki. Sebab rasanya ia sudah tak sanggup lagi untuk kembali berbicara dengan para temannya itu.
'Astaghfirullahhalladzim.. mengapa rasanya sepedih ini.. hiks..hiks.. kuatkanlah hamba Ya Rabb.. hamba mohon kuatkan hamba.. hiks..hiks..hiks..' gumam Syara seraya terus saja terisak.
Setibanya dirumah. Terlihat Mama dan Syarif yang menunggu kedatangannya masih dengan tatapan yang begitu tajam. Membuat Syara tak mampu untuk menatapnya dan ia hanya menunduk seraya tersenyum tipis. Mencoba untuk merasa seolah ia baik-baik saja.
"Assalamu'alaikum, Ma, Rif," salam Syara yang hendak menyalami sang Mama. Namun dengan kasar Mama menepis tangan Syara.
"Baru juga sembuh udah kelayapan! Jam segini baru pulang! Mau kamu apa sih Syar? Kamu pikir gak merepotkan apa jika nanti kamu sakit lagi? Gak perlu biaya? Kami sudah lelah karena kamu, Syar!" maki Mama yang selalu saja berhasil menusuk jantung hati Syara. Hingga airmata yang sebelumnya ia tahan, kini mulai menganak sungai dikedua pipinya.
"Maaf, Ma. Syara, kan sudah pamit ke, Mama, kalau Syara, keluar karena Syara cuma berusaha cari kerjaan saja. Tapi sayang, ternyata, Syara, gak berhasil mendapatkan pekerjaan itu, bahkan sekarang, Syara sudah kehilangan segalanya. Satu hal yang paling Syara sesalkan, Ma, Rif. Kenapa, Mama dan Syarif, gak pernah beritahu, Syara, jika memang posisi, Syara, sudah tergantikan dengan orang lain?" jawab Syara dengan airmata yang terus saja berlinang diwajahnya.
Bukannya merasa iba, kini Mama dan Syarif saling tersenyum penuh ejek seakan begitu senang dengan apa yang baru saja Syara dapatkan saat ini. Dengan sengaja mereka tergelak dihadapan Syara. Dan sungguh, hal itu semakin teramat melukai hati Syara. Tanpa berkata kini Mama segera memasuki kamarnya, sebab tak ingin lagi melihat wajah Syara yang tersakiti.
"Peduli apa kita sama lo, Kak? Ya justru jauh lebih bagus kan kalau lo bisa tahu secara langsung tanpa harus diberi tahu? Berasa kan, Kak, nyeseknya? Ya seperti itulah rasa sesaknya hati gue dan Mama, waktu satu persatu kami kehilngan kebahagiaan kami!" ejek Syarif dengan nada yang sungguh terdengar menyebalkan. Seraya ia tersenyum penuh ejek lalu berlalu begitu saja, tanpansedikit pun ia memikirkan seperti apa hancurnya perasaan Syara saat ini.
'Astaghfirullahhalladzim. Ya Allah ya Rabb. Aku mohon sabarkanlah hatiku ya Rabb. Aku mohon berikanlah aku kekuatan untuk mengahadapi semua ini. Jangan kau biarkan aku menjadi lemah dan mudah menyerah. Mudahkanlah aku untuk segera bangkit dan menemukan pekerjaan baru agar aku kembali dapat membantu perekonomian kuargaku ini,' gumam Syara dalam hati. Seraya ia berjalan gontai menuju kamarnya.
Kembali Syara hempaskan tubuhnya diatas ranjangnya, seraya ia benamkan wajahnya yang basah dibantalnya. Kembali ia menangis sesenggukan disana menumpahkan setiap rasa kesal juga kepedihan dalam dirinya. Kembali merasakan kehancuran yang kedua kalinya. Merasa hidup sendiri dan hanya bertemankan sepi. Tak lagi memiliki harapan dan hanya mampu menenggelamkan setiap impian. Tak lagi punya arah dan tujuan, dan hanya sebuah tangis dan doa yang dapat ia lakukan. Memohon kepada Rabb-Nya, agar senantiasa diberi ketabahan. Syara terus saja menangis hingga matanya terlelap dan mulai tertidur. Kedua matanya basah dengan kedua tangan tangan yang memeluk erat guling besarnya.
***
Alunan adzan subuh nun merdu kini tengah dikumandangkan. Dengan berat Syara membuka kedua matanya yang masih terasa panas setelah hampir semalaman ia kembali meratapi nasibnya. Hingga perlahan Syara mulai bangkit dari posisi duduknya dan refleks ia pijit kedua pelipisnya yang begitu terasa nyeri akibat menahan rasa pusing yang teramat mendera dirinya. Semalam memang Syara tak pergi makan malam. Semalam juga ia tak dapat tidur dengan baik karena setiap masalahnya yang begitu pelik.
"Astaghfirullahhalladzim... ya Allah, kenapa kepalaku jadi sepusing ini ya? Aku mohon ringankanlah sakitnya ya Allah. Semoga saja hari ini aku tetap bisa lanjut lagi cari pekerjaannya. Jadi, Mama dan Syarif, gak akan lagi kecewa, Aaamiiin.. Bismillahirrahmanirrahim.." ucap Syara seraya ia segera bangkit untuk membersihkan diri sebelum melaksanakan salat Subuh.
Setelah salatnya kembali ia memanjatkan doa kepada Allah SWT agar senantiasa diberikan kemudahan untuk menjalani hari-harinya, dan disegerakan mendapatkan sebuah pekerjaan yang terbaik agar tak lagi menyusahkan keluarganya, dan kembali dapat berdikari sendiri. Syara mulai mengenakan pakaian hitam putih khas seorang pelamar kerja dan merias wajahnya natural. Lalu kini ia mulai pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Syara lihat di lemari esnya ada beberapa helai roti juga selai. Ia pun berinisiatif untuk membuatkan roti panggang dan tiga gelas s**u untuk mereka. Karena pagi ini Syarif juga akan segera kembali kesekolahnya.
Syarif yang baru saja selesai bersiap, dan Mama yang juga baru menyekesaikan salat subuhnya kini mulai menduduki kursi mereka masing-masing. Kembali Syara berikan senyuman manis kepada keduanya walau tak pernah mereka meresponnya.
"Pagi, Ma, Rif. Selamat sarapan," sapa Syara dengan riang. Namun tak kunjung mereka meresponnya. dan kini mereka mulai melahap sarapan buatan Syara masih dengan ekspressi wajah yang tak bersahabat. Tanpa sedikit pun keduanya indahkan keberaradaan Lyora disana. Hingga Syara hanya mampu meneguk salivanya kasar dan kembali melanjutkan sarapannya.
Syarif yang lebih dulu menyelesaikan sarapannya, kini mulai berpamitan dengan sang Mama seraya menyalaminya takdzim. Dengan percaya dirinya Syara mengira jika Syarif pun akan melakukan hal yang sama kepadanya, namun nihil, ia tak berkata sepatah kata pun kepadanya dan hanya melewatinya begitu saja tanpa ada rasa hormat layaknya seorang adik kepada Kakaknya. Tetap Syara tak dapat berbuat apapun saat ini. Ia hanya mampu menahan setiap amarahnya juga mendoakan yang terbaik untuk adiknya agar dapat dengan segera menyelesaikan sekolahnya.
Syara lirik jam ditangannya menunjukan pukul setengah tujuh pagi, dengan segera ia habiskan sarapannya karena tak ingin kesiangan menuju setiap tempat yang hendak ia tuju. Tania beranikan diri untuk kembali berpamitan dengan sang Mama yang sejak tadi masih saja menatapnya dingin. "Ma, Syara mau pergi melamar kerja dulu, Ya. Doakan Syara agar dimudahkan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan passion, Syara," pamit Syara dengan senyuman manisnya. Berharap jika sang Mama akan memberikan respon yang positif kepadanya juga turut meridhai niat baiknya itu.
Tanpa sedikit pun Mama menatap Syara, kini ia mulai membuka mulutnya. "Iya. Kamu yang hati-hati kalau dijalan. Jangan ceroboh seperti sebelumnya dan lebih menyusahkan, Mama. Ya, Mama, doakan kamu agar segera menapatkan pekerjaan dan gak jadi benalu lagi dirumah ini," jawab Mama seraya ia bangkit dari posisi duduknya. Tanpa ia beri kesempatan bagi Syara untuk dapat menyalaminya takdzim. Namun meski begitu, Syara tetap saja bersyukur, karena ia berhasil mendapatkan sebuah doa yang baik dari sang Mama.
***
Syara melangkahkan kakinya menuju ojek online yang sudah menunggunya didepan rumah dengan mengucap basmalah juga penuh semangat Syara menjalani harinya, berharap jika hari ini adalah hari baiknya dan apa yang ia harapkan akan segera terkabul. Tujuan pertama Syara ialah, ia ingin mencoba untuk melamar ke beberapa kantor, namun sayang ternyata ketiga kantor yang Syara kunjungi tak ada satu pun lowongan disana. Syara sempat merasa kelelahan karena sudah cukup jauh ia berjalan kaki, namun tetap ia berusaha untuk bersemangat dan melanjutkan langkahnya ketujuan selanjutnya. Yakni kebeberapa restoran. Sudah empat restoran yang jaraknya memang saling berdekatan ia lamar secara bergantian, namun sayang keempatnya pun sedang tak menerima karyawan baru. Bahkan ada beberapa diantaranya, sedang pengurangan karyawan.
“Astaghfirullah, cari kerjaan dengan bekal lulusan SMA memang gak mudah ya. Gimana ini ya Allah. Ini sudah hampir jam duabelas siang. Tapi aku gak kunjung dapat pekerjaan. Aku gak mungkin kembali pulang kalau belum ada kepastian begini. Yang ada pasti nanti, Mama, makin marah dan benci sama aku, “ monolog Syara yang kembali melanjutkan langkahnya.
Setelah ia salat disebuah musola dan memanjatkan doa, kembali Syara lanjutkan langkahnya ketujuan selanjutnya. Kini ia memilih untuk melamar ke sebuah mall yang didalamnya sudah pasti akan banyak pertokoan. Dan lagi, ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan itu karena dimasa sulit seperti saat ini tak akan mudah bagi para pengusaha membuka lapangan kerja. Hingga hari mulai sore, Syara yang juga mulai merasa lelah dan menghabiskan cukup banyak ongkosnya memilih untuk kembali pulang. Akan seperti apa respon Mama dan Adiknya nanti, Syara serahkan segalanya kepada Tuhannya semata. Sebab memang hari ini ia sudah berusaha cukup keras untuk mendapatkannya, meski belum ada rezeki yang pas yang Tuhan tetapkan untuknya.
Syara berjalan gontai dengan tatapan yang sendu kesembarang arah. Sebab ia yang mulai merasa kembali pusing dikepalanya karena perutnya hanya terisi dua helai roti saat sarapan pagi tadi. “Bismillah, ya Allah. Semoga saja, Mama, bisa terima dan sabar. Karena aku janji jika besok aku akan kembali mencoba untuk melamar ketempat yang lain. Semoga saja, besok itu memang rezekiku, dan aku akan segera mendapatkan pekerjaan atas ridha-Mu ya Rabb Aaamiiin..” monolog Syara penuh harap. Seraya ia mulai memesan ojeg online menuju rumahnya.
***
Tak lama kemudian ia tiba dirumah. Terlihat Syarif yang baru saja tiba dirumah dan disambut dengan begitu hangat oleh sang Mama yang memberikannya pelukan hangat juga sebuah kecupan tepat didahinya. Syara hanya memandanginya dari kejauhan dengan tatapan yang penuh rasa iri. Teringat seperti apa perlakuan sang Mama yang saat ini begitu membenci dirinya sejak awal mereka saling bertemu. Hingga seketika airmata kepedihan itu kembali membasahi kedua pipinya, namun dengan segera ia menyekanya dikala sang Mama yang mulai mendapati keberadaannya disana. Kini Syara mulai kembali tersenyum seraya melanjutkan langkahnya.
“Assalamu’alaikum Ma, Rif,” salam Syara seraya tersenyum manis. Meski Mama dan Adiknya itu tetap saja menatapnya dengan tatapan yang sinis.
“Wa’alaikumussalam..” jawab keduanya acuh tak acuh.
“Gimana Syar? Kamu sudah mendapatkan pekerjaan itu?” tanya Mama dengan tatapan yang sinis.
“Syara, minta maaf, Ma. Hari ini, Syara, memang belum mendapatkan pekerjaan itu. Tapi, Syara, janji jika besok, Syara, akan lebih giat lagi untuk mencarinya. Karena sebenarnya, seharian ini juga sudah lebih dari sepuluh perusahaan yang, Syara, kunjungi, tapi sayang gak ada satupun perusahaan yang membuka lowongan kerja,” jelas Syara yang kini tak mampu untuk menatap wajah sang Mama yang sudah pasti tengah memandanginya dengan tatapan tajam.
“Omong kosong lo, Kak. Kalau memang gak mampu mending gak usah lo kebayakan umbar janji dan bikin kita jadi terlalu berharap sama lo! Dijalan luntang-lantung gak jelas gak ada tujuan. Mending lo dirumah bantu, Mama!” maki Syarif dengan kasar. Yang membuat emosi Syara seketika memuncak, namun berusaha keras ia meredamnya karena ia tak ingin bertengkar dengan adiknya itu didepan Mamanya. Hingga lagi-lagi, hanya airmata yang mewakili keancuran hatinya.
“Syarif, ayo segera masuk dan gak usah kamu urus, Kakakmu, ini. Sayara, istirahat sana. Mama, gak mau kamu sakit dan malah gak jadi kerja,” potong Mama ketus. Dan Syara hanya menjawabnya dengan anggukan patuh. Ia merasa sudah benar-benar tak ada harganya lagi dimata Adik juga Mamanya. Namun ia tak pernah dapat melawan mereka sebab bagaimana pun juga, memang hanya ia satu-satunya orang yang paling dapat dipersalahkan atas musibah yang menimpa keluarga mereka. hingga lagi-lagi, ia hanya mampu menerima segalanya dengan lapang.
Setelah membersihkan diri dan melaksanakan salat Asar. Syara memilih untuk menghabiskan waktunya didalam kamar. Sebab ia tak ingin jika nantinya Mama dan Syarif akan semakin mendesaknya juga kembali melukai hatinya. Dengan setiap perkataan kasar yang selalu saja membuatnya tak mampu menahan emosi dan tangisnya. Hingga kini waktu menunjukan pukul tujuh malam. Setelah Syara melaksanakan salat Isya nya, kini ia mulai kembali keluar kamarnya sebab ia harus tetap makan malam untuk menjaga kesehatannya. Setelah hampir seharian perutnya tak terisi makanan. Dan kini mulai ia duduki kursinya dengan hati-hati, karena eksperssi keduanya tetap sinis. Hingga kini ia hanya diam dan belum berani mengambil jatah makan malamnya.
“Kenapa cuma diam Syar? Kamu sudah telat makan dan sekarang masih ditunda. Kamu sengaja biar sakit dan besok gak jadi cari pekerjaan lagi?” maki Mama yang cukup membuat Syara tersakiti dengan setiap dugaannya.
“Enggak kok, Ma. Iya, ini aku mau makan,” jawab Syara hati-hati, seraya ia mulai menyendok nasi juga lauknya. Sedangkan Syarif masih merasa tidak terima dengan perhatian sang Mama kepada Syara. Hingga ia kembali mencari cara agar Mama kembali memakinya.
“Bener tuh kata, Mama. Seharusnya sih lo nyadar ya, Kak. Karena gak ada yang gratis didunia ini. Termasuk makanan yang lo makan sekarang,” maki Syarif yang membuat Syara menghentikan kunyahannya seketika.
“Rif, makanmu sudah selesai kan? Ayo segera kembali kekamar, karena banyak PR yang harus segera kamu selesaikan,” pinta Mama yang tak akan bisa untuk Syarif menolaknya.
“Iya, Ma.” Jawab Syarif singkat seraya memutar bola matanya jengah. Begitu pula dengan Mama yang kini mulai bangkit dari posisi duduknya. Karena tak ingin ia berada disatu meja hanya bersama Syara. Namun meski begitu, Syara masih tetap yakin jika Mamanya itu masih menyayanginya, dengan terus berusaha menjauhkan Syarif darinya ketika Syarif terus memakinya dengan sesuka hati.
‘Do you know, Ma. I’m feeling so happy now. I trust you, Ma. I trust you always love me. So I’m promise, aku janji akan selalu ada untuk Mama, juga akan senantiasa mendoakan serta berusaha membahagiakan, Mama, karena saat ini, memang cuma Mama satu-satunya orangtua yang aku punya,’ gumam Syara dalam hati. seraya ia mulai kembali melanjutkan makan malamnya dengan perasaan yang mulai bahagia.
***
Pagi kembali menjelang. Seperti biasa Syara siapkan sarapan setelah ia selesai salat Subuh. Mereka kembali bersarapan bersama dengan situasi yang sama. Hingga tiba saatnya dikala Syara berpamitan dengan sang Mama yang kali ini Mama tak ingin lagi banyak bicara juga mendoakannya. Karena teringat kemarin dikala Syara kembali pulang dengan hasil yang nihil. Hal itu cukup membuat Syara merasa kecewa, namun hal itu pula yang tak mengurangi semangat Syara untuk segera mendapatkan pekerjaan yang terbaik nantinya. Untuk membuktikan jika memang ia bisa.
Ingin rasanya ia kembali marah pada dirinya dikala kini ia tengah berada didepan mantan perusahaan yang Papanya rintis, yang kini tengah jatuh ketangan orang serakah yang tak lain adalah musuh besar sang Papa. Sebuah perusahaan yang seharusnya dapat ia jalankan, namun kini, untuk menginjakan kakinya saja disana ia tak akan bisa. Karena sudah lelaki itu pastikan jika tak akan pernah ia biarkan, keluarga dari Papanya dapat kembali memasuki perusahaan itu. Hingga kini kedua matanya yang berkaca itu hampir saja, menitihkan airmatanya, namun buru-buru Syara menyekanya karena ia tak ingin terlihat lemah.
“I swear, Pa. I swear if one day, aku akankembali mengambil alih perusahaan yang sebelumnya, Papa rintis dengan penuh perjuangan ini. Aku janji gak akan biarkan dia terus berbahagia diatas penderitaan kita. Bismillah ya, Pa.” Monolog Syara penuh keyakinan, meski ia tahu jika apa yang ia impikan itu bukanlah suatu hal yang mudah digapai.
Kembali Syara lanjutkan langkahnya menuju kesebuah perusahaan yang kemarin belum sempat ia datangi, yang memang letaknya tak jauh dari mantan perusahaan Papanya. Perusahaan pertama gagal, kedua gagal, hingga kini diperusahaan ketiga ia mulai mendapatkan sebuah lowongan pekerjaan itu. Syara pun merasa senangnya bukan main. Walau posisi yang sedang lowong saat ini hanya posisi seorang office girl. Karena apapun akan Syara jalani dengan baik asalkan pekerjaan itu halal juga dapat menghasilkan.
Besok Syara akan mulai bekerja disana. Dengan bersemangat Syara pun menerimanya. Dan kini, ia putuskan untuk pergi kekampusnya, karena Syara yang ingin mengonfirmasi jika dirinya telah kembali sehat, dan sudah kembali dapat melanjutkan kuliahnya. Karena memang saat penjadwalannya bekerja tadi, sudah Syara sesuaikan dengan jam kelas karyawan dikampusnya, sehingga keduanya akan dapat Syara jalankan secara bersamaan dan tidak akan ada gangguan untuk menghalangi setiap mimpinya. Syara tarik nafasnya dalam seraya ia buang dengan perlahan. Kini ia mulai tersenyum lebar dan segera menaiki ojeg online yang sudah menunggunya disana. Syara akan segera menuju kampusnya. Dan sungguh, hal itu kembali membuatnya tak sabar untuk kembali bertemu dengan para sahabatnya yang telah lama tak ia temui disana. Syara lirik jam ditangannya menunjukan pukul sebelas siang, yang artinya masih ada waktu satu jam sebelum jam istirahat. Syara pun dengan segera mempercepat langkahnya menuju ruang tata usaha.
“Bismillahhirrahmanirrahim... ya Allah mudah-mudahan saja kampus masih mau terima aku, Aaaamiiin..” ucap Syara penuh harap. Seraya ia mulai memasukinya.
Namun sayang, kini Syara harus kembali mendapatkan sebuah kenyataan yang buruk disana. Karena ternyata, program beasiswanya terlanjur dicabut sebab tiga bulan lamanya ia absen dari kampus karena koma. Ya, tak ada satu pun pihak keluarganya yang mencoba untuk memerjuangkan haknya agar ia tetap dapat menerima beasiswa itu. Tiada pemberitaan di TV atau media apapun sebab memang Syarif yang menginginkan musibah keluarganya tak terpublikasi. Sehingga kini, ia harus rela menerima sebuah kenyataan jika memang ia tak akan bisa untuk lanjut kuliah disana dengan jalur beasiswa. Melainkan ia harus dapat melanjutkannya dengan jalur legular.
Yang artinya, ia tak lagi memiliki harapan besar untuk membahagiakan dan membantu sang Mama sepenuhnya, sebab ia harus bisa membagi uang hasil kerjanya nanti, dengan biaya sekolah Syarif dan biaya kuliahnya yang juga harus ia bayarkan. Dan syara pun paham betul jika semua itu tak hanya memakan uang yang sedikit. Melainkan begitu banyak pengeluaran yang akan menjadi tanggungannya nanti. Hingga kini, kembali Syara merasakan kehancuran dalam hidupnya untuk yang ketiga kalinya.
Airmata yang sebelumnya ia tahan untuk tak menitih, siang ini kembali menitih bersamaan dengan adzan Dzuhur yang berkumandang. ‘Ya Allah ya Rabb, megapa begitu bertubi-tubu cobaan yang eng-Kau berikan kepada hamba-Mu ini? Setelah hamba kehilangan, Papa, kehilangan kasih sayang, Mama, kehilangan pekerjaan dan karir hamba, dan sekarang hamba harus kehilangan beasiswa kuliah hamba, yang sudah dengan begitu kerasnya hamba pertahankan hingga tiba musibah itu kepada hamba.’ Gumam Syara dalam hati, seraya ia berjalan gontai menuju musola dikampusnya.
Seburuk-buruknya perasaannya saat ini. Sehancur-hancurnya hatinya saat ini, yang dapat ia lakukan hanyalah berserah diri kepada Tuhannya. Yakni sebaik-baiknya penolong yang akan menuntunnya menuju jalan lurus-Nya.
***
To be continue