Melihat Syara yang temenung membuat Tsani cukup merasa tak enak hati pada Syara. "Syar, kok lo jadi ngelamun. Permintaan gue ini lancang ya? Eh sorry ya. Kalau lo gak bersedia juga gak apa-apa kok, Syar. It's okkay," ucap Tsani tak enak hati.
"Iya bener, Syar. Kita gak mau lho buat kamu jadi gak nyaman berteman sama kita. Karena kita cuma kepengin buat kamu happy, dan gak terlalu terbebani sama sikap orang-orang lama disini. Dengan kita saling berteman dekat. Seperti diawal aku kenal sama, Tsani," imbuh Claudy.
Syara pun mengangguk seraya tersenyum. Ia genggam satu tangan Claudy juga Tsani secara bersamaan. "Aku gak apa-apa kok. Aku bersedia bercerita seperti apa backgroud kehidupan aku sebelumnya. Tapi apa boleh, jika aku ingin dengar dari kalian dulu?" pinta Syara hati-hati. Claudy dan Tsani pun mengangguk setuju seraya mereka tersenyum.
"Tentu saja boleh dong, Syar. Kalau begitu, dimulai dari aku saja ya. Tapi, kita habisin dulu makan siang kita." ucap Claudy dan keduanya mengangguk setuju dan kembali melanjutkan makan siang mereka.
Setelahnya, kini Claudy mulai bercerita tentang siapa dirinya sebenarnya. Claudy adalah putri kedua dari seorang Pelayar. Dan Ibunya adalah seorang Ibu rumah tangga. Namun Ayahnya meninggal dunia ketika berlayar, jadilah ia seorang yatim. Kakaknya telah menikah dan turut tinggal bersama suaminya di Surabaya. Sedangkan ia tinggal bersama Ibunya dan satu adiknya yang masih duduk dibangku SMP. Kakaknya hanya memberinya uang seadanya. Sedangkan setiap harinya ia memerlukan banyak uang karena sang Ibu yang mengidap penyakit gagal ginjal sudah pasti memerlukan banyak uang untuk biaya pengobatannya. Ia pun sama seperti Syara, ia adalah seorang tulang punggung keluarga saat ini.
Mimpinya pun besar, ia ingin menjadi seorang desainer. Sehingga ia usahakan untuk tetap dapat kuliah dengan cermat membagi dan menyisihkan gaji yang ia punya untuk dapat mencukupi segala kebutuhan dalam hidupnya. Namun meski sepelik itu, Claudy teramat merasa bersyukur juga beruntung, karena ia memiliki seorang Adik lelaki yang begitu mahir dalam berniaga, sehingga adiknya itu dapat dengan mudah mengumpulkan uang untuk melunasi SPP juga uang sakunya setiap hari. Sehingga Claudy merasa cukup diringankan oleh adiknya itu. Mendengar cerita Claudy, membuat Syara memiliki semangat juang yang tinggi.
Namun airmata kepedihannya itu, lagi-lagi tak berhasil ia menahannya dikala Claudy menceritakan seperti apa sikap baik sang Adik yang terus saja berusaha membantunya. Yang sungguh berbanding terbalik dengan Adiknya yang teramat bahagia dikala ia dalam kesulitan. Terus berusaha untuk melukai hati dan perasaannya, tanpa sedikit pun memikirkan seperti apa perasaannya. Tega memfitnah dirinya hingga membuat sang Mama membencinya, juga tak pernah sekali pun ia menganggap Syara sebagai, Kakaknya. Walau Syara sudah selalu saja berusaha bersikap baik, juga tak pernah ia berusaha membalas setiap perlakuan buruk Syarif padanya.
Claudy tatap dengan nanar wajah Syara, "Syar, kok kamu malah jadi nangis gini? Kamu kenapa? Aku minta maaf ya kalau misalnya aku salah bicara lagi, I Swear aku gak pernah bermaksud untuk menyakiti atau menyinggung kamu," ucap Claudy tak enak hati. Syara pun tersenyum manis mendengar ungkapan maaf dari Claudy.
Kini Syaramenggeleng pelan seraya ia genggam kedua tangan Claudy. Yang membuat Claudy semakin tak mengerti dengan respon Syara. “Hehehe tenang, Cla. Aku nangis karena terlalu kagum saja sama kamu kok, Cla. Kamu hebat bisa melewati semuanya dengan baik juga penuh rasa ikhlas. Gak seperti aku yang masih sering ngeluh juga belum bisa menerima keadaannya,” jelas Syara yang masih berusaha menyembunyikan perasaan sakitnya mengenai sikap Syarif.
“Ehehe, kamu berlebihan puji aku. Gini-gini, dulu tuh aku ngeluh dan nangisnya hampir setiap hari lho. Kalau kamu sudah dengar cerintanya si Tsani, pasti kamu bakalan makin terkesima,” ucap Claudy seraya ia tepuk bahu Tsani.
“Ehehehe, apaan sih lo, Cla. Lebay deh lo. Enggak kok, Syar, terlalu berlebihan aja memang si, Cla, ini,” sela Tsani yang mulai merasa malu.
“But, I think, itu benar juga kalau dilihat dari sikap kamu. Ayo dong Tsan, ceritakan sekarang ke aku. Biar jadi motivasi buat aku juga,” pinta Syara, Tsani pun mengangguk setuju dan kini ia mulai bersedia menceritakan semua tentang hidupnya kepada Syara.
Berbeda dengan Syara dan Claudy yang sebelumnya adalah seorang anak dari orang berada. Tsani memang terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ayahnya seorang tukang bangunan, dan Ibunya adalah seorang penjahit. Ia adalah seorang anak tunggal. Dikala ia baru saja menginjak kelas dua SMA, sang Ayah mengalami kecelakaan di proyek yang membuatnya cacat seumur hidup. Ayah, Tsani kehilangan satu kakinya karena tertimpa bangunan. Yang diakibatkan oleh seorang arsitek ceroboh yang salah pehitungan ketika menggambarkan sketsa pembangunan. Sejak saat itu, sang Ibu yang terus bersusah payah menghidupi mereka. Saking banyaknya pekerjaan yang Ibunya terima, membuat sang Ibu tak dapat beristirahat.
Karenanya Tsani bertekat tinggi untuk dapat menjadi seorang arsitek perempuan terbaik agar tak ada lagi kecelakaan yang diakibatkan oleh kecerobohan seorang arsitek. Juga ia ingin menjadi seorang anak berbakti dan juga membanggakan kedua orangtua mereka. hingga kini ia sudah mulai kuliah semester dua dengan jurusan arsitek, disebuah universitas ternama di Indonesia. Sebab memang ia adalah seorang perempuan yang cerdas. Salah satu mimpinya membelikan kaki palsu untuk sang Ayah sudah terwujud, mimpinya untuk membiayai keluarga dan meminta sang Ibu berhenti bekerja pun sudah terwujud, tersisa mimpinya untuk menjadi seorang arsitek sukses yang kini sedang ia perjuangkan.
Syara genggam kedua tangan Tsani penuh rasa bangga. “Apa yang, Cla, bilang itu benar, Tsan. You are a strong and amazing woman. Dan aku bangga bisa kenal sama kamu. Cerita kamu benar-benar memotivasi aku sekaligus menjadikan sebuah tamparan keras untuk Syara yang lemah ini kembali bangkit, I’m so proud of you two. Kalian berdua memang hebat,”
“Alhamdulillaaah.. thanks ya, Syar. Gue yakin, kok kalau lo juga pasti punya cerita ya amaze yang harus kita dengar sekarang juga. Ya gak, Cla, ” ucap Tsani.
“Yes that’s true, Syar. So please, tell all about your story, now..” jawab Claudy, antusias.
“Okkay, aku akan ceritakan semuanya sama kalian. Tapi setelah mendengar cerita aku, please jangan hakimi dan benci sama aku ya,“ pinta Syara yang cukup membingungkan keduanya. Dan keduanya pun mengangguk setuju seraya mereka genggam jemari Syara tuk meyakinkan Syara agar ia berkenan untuk bercerita.
Syara pun mulai menceritakan kisah hidupnya hingga ia berada pada titik ini. Yang berawal dari sebuah kecelakaan yang mengakibatkannya kehilangan segala yang indah dari hidupnya. Mulai dari, Ayah, kasih sayang Mama yang kini terkena gangguan mental, selalu dipersalahkan juga dibenci oleh sang Adik, harta kedua orangtuanya, karir, hingga beasiswa kuliahnya. Yang sungguh setiap kisahnya itu seketika membuat Claudy dan Tsani tak mampu menahan airmata mereka. Sebab tangis Syara tak terbendung disaat menceritakannya, juga memang bagi mereka cukup pelik juga terlalu menyakitkan, ketika orang terdekat kita sendiri justru turut menyalahkan juga membenci kita disaat masalah terus saja datang bertubi-tubi.
“Mereka menganggap aku sebagai seorang anak pembawa sial, menganggap aku seorang pembunuh, menganggap aku penghancur kebahagiaan mereka, bahkan adiku sendiri yang mengatakan padaku jika seharusnya aku ikut mati bersama dengan, Papa. Hiks..hiks..hiks..” ungkap Syara dengan segenap kepedihan yang teramat ia rasa didalam hidupnya. Dan kini tanpa berkata, Claudy dan Tsani memberikan pelukan hangat kepadanya yang terlihat begitu rapuh, juga memang membutuhkan cukup banyak semangat dan dukungan.
“Lo gak boleh lagi ya, Syar, menuduhkan semua hal itu sama diri lo sendiri. Lo juga gak boleh lagi merasa kalau memang semua tuduhan mereka itu benar,” ucap Tsani penuh keyakinan. Seraya ia mengelus lembut punggung Syara yang tak berhenti bergetar.
“Benar kata Tsani, Syar. Kamu ini juga seorang wanita hebat yang kuat. Karena jika aku yang ada diposisi kamu, belum tentu aku bisa setegar dan seikhlas kamu untuk bisa hadapi semuanya. Bahkan mungkin, aku juga bisa akhiri hidupku. Karena buat aku, dukungan dari keluarga kita adalah yang terpenting, Syar,” imbuh Claudy yang cukup menenangkan Syara. Hingga kini ia mulai mengangguk yakin. Juga mulai mencoba semakin memantapkan dirinya untuk menjadi seorang wanita kuat dan mandiri. Agar ia mampu menjadi seperti kedua sahabatnya yag baik hati itu. Lebih menyukuri hidupnya yang ternyata selama ini memang Tuhan selalu saja memberikan segala yang terbaik untuk dirinya.
***
Setelah menceritakan segala tentang kehidupannya dengan kedua sahabat barunya, kini Syara jauh lebih bersemangat menjalani harinya, ia semakin yakin jika ia mampu meraih setiap mimpinya, sama seperti, Tsani dan Claudy yang begitu gigih menjalani hari mereka agar dapat meraih impian mereka, walau sama beratnya cobaan juga rintangan yang harus mereka lewati. Hingga kini waktu sudah menunjukan pukul empat sore. Waktu dimana Syara akan kembali pulang. Namun sebelum Syara kembali pulang, ia putuskan untuk lebih dulu pergi ke kampusnya. Kembali mendaftarkan diri sebagai seorang mahasiswi kelas karyawan yang akan kembali menjalani kuliahnya dengan baik. Sebelum kekampusnya Syara mendapatkan dukungan dari Tsani dan Claudy dan sungguh hal itu cukup membuat Syara jauh lebih semangat.
***
Syara baru saja tiba dikampusnya dengan langkah pasti ia kembali memasuki keruang tata usaha. Mulai mendaftarkan diri dengan penuh keyakinan dan dengan senyuman manisnya Syara kembali keluar membawa formulir pedaftarannya. Ia pandangi formulir itu penuh dengan kebahagiaan. Dan kini kembali ia menunggu ojek online yang telah ia pesan. Rasanya begitu lega sebab langkah awal untuk memulai kehidupan barunya berjalan dengan lancar. Harapannya kali ini hanya dua hal, ia hanya berharap kepada Tuhan jika ia akan selalu diberikan kesehatan juga kelapangan hati, agar ia mampu menjalani segalanya dengan baik. Dan setiap mimpi besarnya yang selama ini harapkan akan segera menjadi nyata.
“Bismillahirrahmanirrahim... ya Allah Bismillah... give me a big opportunity agar mimpiku itu segera dapat kugenggam ya Rabb.. Aaaamiiin..” monolog Syara penuh harap juga keyakinan.
Tak lama kemudian, ojek online yang telah Syara pesan kini sudah tiba dihadapannya. Dengan senyuman manisnya Syara menaikinya. Hingga membuat tukang ojek online itu merasa cukup aneh, karena tadi pagi terlihat Syara yang begitu gugup.
“Sepertinya si, Eneng, ini lagi senang sekali ya Neng?” tanya tukang ojeg online.
“Eehehe, kelihatan benget ya Pak? Alhamdulillah, hari ini saya berhasil menjalankan hari pertama kerja saya dengan baik. Dan saya juga sudah daftar kuliah lagi. Jadi saya bener-bener senang sekali, Pak, hari ini, Alhamdulillah,” jawab Syara dengan bahagianya.
“Alhamdulillah selamat ya, Neng. Semoga berkah,” jawabnya lagi.
“Aaaamiiiin Yarabbal Alamiin.. terima kasih banyak ya, Pak,” jawab Syara dan tukang ojeg itu pun mengangguk pasti.
Satu jam kemudian Syara tiba dirumah. Badannya terasa begitu pegal-pegal terutama bagian punggungnya. Sebab baru kali ini ia mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga yang sebelumnya tak pernah ia jalani. Namun tetap ia berusaha untuk memasang wajah sumringahnya didepan sang Mama yang kini tengah menonton sebuah video mereka semua bersama sang Ayah yang kala itu tengah berlibur ke Jerman. Sehingga kini kembali Syara merasa takut untuk memasuki rumahnya, sebab tak siap jika harus kembali mendapatkan bentakan dari sang Mama. Hingga tanpa ia sadari jika kini Syarif sudah berada dibelakangnya dengan tatapan tajamnya.
“Ngapain lo, Kak, disini? Gak jelas banget sih,” sapanya ketus. Yang membuat Syara dengan segera menyeka airmatanya lalu kembali ia tersenyum.
“Nggak apa-apa, Rif. Tumben sore sekali pulangnya. Lagi banyak tugas?” Syara bertanya balik.
“Iya. Hari ini padat banget jadwal gue. Nanti lo mau kan ajarin PR gue? Gue lagi banyak PR buat besok,” pinta Syarif yang membuat Syara mengerti apa tujuan adiknya itu menyapanya, yang ternyata karena ada tugas sekolah yang harus ia bantu untuk menyelesaikannya.
“Okkay. Habis kita makan malam, Kakak, janji akan bantu kamu untuk kerjain semuanya,” jawab Syara seraya ia tersenyum getir. Syara akan terus berusaha untuk berbaik hati kepada adiknya itu dengan harapan jika nanti ia akan kembali dianggap sebagai seorang Kakak untuknya. Dan Syarif pun hanya menjawabnya dengan anggukan seraya ia berlalu.
“Assalamu’alaikum, Ma..” salam Syarif yang selalu saja mendapatkan sebuah sambutan hangat dari sang Mama. Berbeda dengan dirinya yang selalu saja diacuhkan dan masih tergambar jelas sebuah kebencian dikedua mata sang Mama yang sebelumnya memancarkan tatapan penuh cinta.
***
Setelah salat Magrib dan makan malam bersama, kini Syara mulai mengajari Syarif dengan baik. Namun sayang, adiknya yang memang selalu saja hanya memanfaatkan dirinya saja, kini meminta kepada Syara untuk mengerjakannya sendiri. Tentu Syara menolak mentah-mentah mengenai permintaan menyebalkannya itu. Hingga kini Syara letakan buku-buku Syarif dengan kasar seraya ia menatapnya begitu tajam. Yang hal itu membuat Syarif cukup terkejut dengan bantahan sang Kakak yang sebelumnya selalu saja menuruti semua keinginannya.
“Kakak, gak akan pernah mau mengerjakan semua PR kamu ini. Jika memang kamu gak mau. Ya itu sudah konsekuensi untuk kamu kalau memang besok kamu dihukum!” maki Syara seraya ia mulai bangkit dari posisi duduknya. Namun lebih dulu Syarif mencekal satu tangannya.
“Kak, lo apaan sih. Gue tuh capek habis belajar seharian! Lo pilih bantu gue atau gue adukan sikap angkuh lo ini ke, Mama!” ancam Syarif yang tak sama sekali membuat Syara merasa takut. Sehingga kini ia hanya tersenyum lebar dan perlahan Syara lepaskan genggaman tagannya.
“Bilangin aja. Karena, Kakak, akan bilang kalau kamu minta, Kakak, yang mengerjakan semuanya, dan kamu tahu kan respon Mama ke kamu akan seperti apa?” jawab Syara dengan santainya. Yang hal itu justru semakin membuat Syarif membencinya.
“Okkay-okkay yaudah fine! Iya gue mau lo ajarin!” jawab Syarif dengan begitu terpaksa. Dan kini Syara pun kembali tersenyum bahagia seraya kembali ia menduduki kursinya.
‘Awas aja lo, Kak! I swear, bakal gue balas perbuatan lo ini!’ Umpat Syarif dalam hati. Seraya terus saja ia menatap tajam kewajah Syara.
‘Alhamdulillah, semoga saja ini langkah yang baik, untuk memperbaiki hubungan kita yang sempat merenggang, Rif. Honestly, Kakak, bersikap seperti ini bukan karena, Kakak, mau kejam ke kamu, tapi ini semua, Kakak, lakukan untuk kebaikan kamu,’ gumam Syara penuh harap.
Setelah selesai mengajari Syarif, Syara segera pergi kekamarnya, ia mulai merebahkan tubuhnya diatas ranjangnya dengan senyuman manisnya, merasa begitu bahagia karena hari ini ia mendapatkan tiga catatan bahagia yang baru didalam hidupnya. Pekerjaan baru, kembali mendaftar kuliah, dan yang paling ia sukai ialah ketika ia kembali dapat berbincang dengan seorang adik yang begitu ia sayangi, meski pun ia sadar betul jika hingga kini Syarif masih saja membencinya. Syara putuskan untuk memejamkan kedua matanya sebab besok ia harus kembali berangkat lebih pagi kekantornya. Agar mendapat nilai plus dan kenaikan gajinya akan dipercepat nantinya. Dan rencananya untuk mengumpulkan uangnya akan lebih mudah.
“Alhamdulillah ya Allah, I’m feeling so happy and blessed today. And I promise aku akan lebih semangat lagi dan gak akan banyak mengeluh,” monolog Syara dan setelahnya kini ia mulai membaca doa lalu memejamkan kedua matanya.
***
Syara mulai menyiapkan bekal sarapan paginya dengan terburu-buru. Kini ia mulai memasukan roti isi juga segelas s**u hangat kedalam ranselnya. Ya, pagi ini ia kesiangan. Sebab kemarin memang sebuah hari yang cukup melelahkan baginya dihari pertama ia bekerja. Mama yang melihat Syara begitu terburu-buru pun mulai membantunya menyiapkan sarapan pagi untuknya juga Syarif. Sebab jika Syara terlambat, sudah pasti akan berdampak buruk pada pekerjaannya.
“Sudah ini biar, Mama, saja yang urus. Lebih baik kamu segera berangkat. Kamu ini karyawan baru. Kalau ada masalah, yang ada kamu dipecat dan gak akan jadi dapat gaji bulan ini,” ucap Mama ketus. Namun Syara tetap merasa senang sebab baginya ini adalah salah satu bentuk perhatian sang Mama padanya.
“Ehehe iya, Ma. Kalau gitu, Syara, berangkat dulu ya, Ma. Assalamu’alaikum..” salam Syara seraya ia salami takdzim punggung tangan sang Mama. Yang seperti biasa dengan cepat Mama menarik tangannya sebab tak ingin jika terlalu dekat dengan Syara, kembali menyayanginya dan dengan mudah memaafkan setiap kesalahan besarnya.
“Wa’alaikumussalam. Ya, hati-hati, jangan ceroboh,” jawab Mama acuh tak acuh. Seraya ia menjauh dari Syara. Dan Syara pun mengangguk patuh seraya ia tersenyum.
“Iya, Ma.” Jawab Syara seraya ia berlalu pergi. Sebab tukang ojeg online langganannya kini sudah kembali menunggunya didepan gerbang rumahnya.
***
Setibanya dikantor kembali dengan segera ia ganti pakaiannya. Kali ini, diruangan itu mulai ramai. Kembali mereka para lelaki, menatapnya dengan tatapan yang kagum. Sebab memang Syara yang selalu saja berhasil menyita perhatian mereka. Dan hal itu pun cukup membuat Syara merasa risih sebab kini Feri mulai berani mendekatinya dikala Tsani dan Claudy sedang tak berada disana. Dan para pekerja yang lain mulai sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Syara masih sibuk menyipkan alat yang akan ia gunakan. Tanpa ia sadari jika kini Feri tengah memerhatikannya dan tersenyum penuh arti kepadanya.
Feri pun berjalan dengan langkah pasti mendekati Syara. Seraya dengan lancang ia mulai merangkul bahu Syara. Seketika Syara pun menyingkirkan tangan Feri dan menatapnya tajam. Feri pun tak tinggal diam, kini ia genggam satu tangan Syara dengan erat juga menatapnya dengan tatapan mendamba. Yang membuat Syara semakin merasa takut, namun kini ia tengah kesulitan untuk melepaskan genggaman erat Feri
"Feri, please jangan kurangajar ya! Lepaskan saya!" pekik Syara penuh penekanan dengan wajah ketakutannya yang justru membuat, Feri, semakin menyukainya juga semakin ingin dapat memilikinya. Sehingga kini ia mulai menyeringai nakal.
"Ehehehe... kurangajar gimana sih sayang? Aku kan cuma kepengin dekat sama kamu. Kepengin bisa kenal kamu kebih baik lagi. Aku janji, kok gak akan nyakitin kamu," jawab Feri yang sungguh terdengar begitu menjijikan ditelinga Syara. Hingga kini kembali ia berusaha untuk melepaskan genggaman Feri. Sayangnya genggaman itu terlalu erat. Hingga kini ia semakin mersakan sakit dipergelangan tangannya.
"Bicara kamu itu sudah ngawur, Fer! Please jangan pernah kamu coba untuk melecehkan saya! Sakit, Fer, lepaskan tangan saya sekarang juga!" pekik Syara lagi namun tak sedikit pun Feri mengindahkannya. Dan justru kini Feri semakin mencondongkan wajahnya kewajah Sayara. Seraya ia kunci tubuh mungil Syara didinding dengan kedua lengan kekarnya.
"Ngawur? Aku ngawur bagaimana, Syar? Aku ini masih waras. Aku cuma terpesona sama kamu sejak awal aku lihat kamu. Tapi sayang, kamu selalu saja mengacuhkan aku. Kamu gak pernah beri aku kesempatan untuk mendekat bahkan hanya kenal sama kamu aja sulit," ucap Feri dengan nada yang begitu menggoda. Membuat Syara semakin bergidik ngeri karennya.
"Astaghfirullahhalladzim.. ya Allah sadar, Fer. Istighfar.. saya ini teman kamu. Kamu jangan nekat begini, please sadar! Saya mohon lepaskan saya saat ini juga! Pinta Syara lagi dengan airmata yang mulai menggenang dikedua pelupuk mata indahnya.
Bukannya menjauh, justru Feri kian mendekatkan wajahnya kearah bibir mungil Syara. “Sudahlah, Syar. Anggap saja ini hukuman untuk seorang wanita yang sudah jual mahal sama aku. Dan setelah ini tenang saja, aku janji akan jadikan kamu sebagai kekasih aku,”
Syara yang semakin geram pun kini memberanikan diri untuk memberontak. Dengan keras Syara injak kaki Feri dan berusaha untuk segera menjauh dari sana. Seketika Feri pun mengaduh kesakitan. Sedangkan Syara kembali berusaha berlari menjauh darinya. Namun nahas, kembali ... kembali berhasil meraih satu tangan Feri dan menariknya dengan kasar. Karenanya seketika airmata yang sedari tadi Syara usahakan agar tak tumpah, kini mulai menganak sungai dikedua pipinya.
“Beraninya lo injak kaki gue! Lo harus bayar dengan hal yang setimpal , Syara! Lo pikir lo itu siapa,hah? Sok jual mahal!” maki Feri dengan kasar.
***
To be continue