Keributan Dipagi Hari

1342 Words
[Jangan gitulah, Ca. Pokoknya gue harus optimis. Tapi kalau Ridho bener-bener gak suka sama gue, tetap gue paksa. Soalnya muka dia kayak oppa korea. Tapi versi lokal. Rugi banget kalau calon anak gue gak dapat bapak kayak dia] tutur Amel. Caca menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Jadi karena itu ya?" Soal ketampanan yang membuat Amel terhipnotis. Sama seperti Caca yang pertama kali dipertemukan dengan Bara. Tak bisa sekalipun mengalihkan pandangan hingga begitu antusias ingin segera dinikahkan sesegera mungkin. Sayang Caca belum merasakan kewajiban di malam pertama. Daripada menerka-nerka kenapa dia ditolak,? Lebih baik Caca mencari cara menggoda suaminya yang tampan itu. [Iya Ca, gue kayak dapat siraman rohani. Hati gue tiba-tiba adem kalau liat dia. Gue ngerasa ketemu calon iman. Lo tau kan jaman sekarang susah cari cowok kayak gitu. Dia kayak manusia suci yang baru keluar dari goa dan belum tercemar sama pergaulan bebas di luaran sana] "Jadi sekarang Amel gak suka sama Jeno, Jaehyung, Jaemin?" Caca tak akan lupa bagaimana kegilaan Amel mengoleksi foto dan album idol dari korea itu. Jika Caca suka mengoleksi boneka babi, maka Amel menyukai ketiga pria tampan itu. Menempel semua fotonya di dinding, bahkan memeluk gulik dengan foto mereka bertiga sambil membayangkan kalau yang dia peluk orangnya langsung. [Ya masih lah, Ca] "Terus Ridho?" [Mereka bertiga kan cuma suami fantasi gue. Kalau di dunia nyata gak apa-apa deh sama Ridho aja. Tapi kalau gue tiba-tiba jadi artis terus bisa dekat sama Jeno, Jaehyun, Jaemin ya alhamdulillah. Kalau beneran bisa dapat mereka gue ngeharem aja deh, Ca. Mereka bukan pilihan. Tapi keharusan yang wajib dimiliki] "Terserah Amel deh." *** "Om suami masih belum mau tidur?" Caca membawa gulingnya ke ruangan Bara. Tampak di sana Bara bergelut dengan laptop yang masih menyala, hidung mancung itu juga sudah bertengger kacamata anti radiasi dengan pinggiran berwarna hitam. Menambah kesan seksi pada pemilik wajah tegas itu. "Kerjaan saya masih banyak, Ca." "Tapi ini udah malam." Caca memperhatikan ruangan kerja Bara. Besarnya tak jauh berbeda dengan ruangan pribadi yang ada di perusahaan. Bedanya jika di perusahaan didominasi warna putih, sedangkan di ruangan ini didominasi warna hitam. Benar-benar khas kesukaan laki-laki pada umumnya. "Siapa yang bilang ini pagi?" Caca mendengus kesal. "Kalau om suami belum tidur bantuin Caca kerjain tugas dong." Berkat melakukan panggilan telepon dengan Amel akhirnya Caca ingat pada tugas yang diberikan dosen. Amel temannya benar-benar bisa diandalkan. Selain pengertian, Amel juga salah satu anak cerdas di kampus. Mungkin hanya Caca yang mengkhawatirkan. Itu sebabnya sering mendapat ejekan otak udang dari yang lain. "Saya sibuk. Kalau saya bantu, kerjaan saya nanti gak selesai-selesai, Ca." Caca semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Bara. "Mama pernah bilang ke papa kalau istri itu nomer satu, utamakan istri sebelum yang lain. Jadi om suami harus prioritasin Caca daripada pekerjaan." "Saya benar-benar sibuk, Ca." "Om suami beragama kan? Tau dosa juga kalau mengabaikan istri? Yaudah bantuin Caca dulu." Untuk kesekian kali Caca memaksakan kehendaknya. Tak ada siapapun yang bisa dimintai tolong selain Bara. Bibi? Tak mungkin bisa mengerjakan. Yang cerdas di sini hanya suaminya. Itu sebabnya Caca semakin suka pada pria ini. Bara memijat pelipis pelan. "Saya kadang heran, kamu ini beneran bodoh atau enggak sih. Kadang-kadang kamu pintar banget loh bicara. Tapi kenapa susah ngerjain tugas yang tinggal dicoret aja!" "Mungkin pintarnya Caca cuma kadang-kadang muncul disituasi tertentu." Bara tak habis fikir. *** "Bibi!!! Kaos kaki Caca di mana?" Keributan dipagi hari kembali terdengar seperti hari-hari sebelumnya. Sebagai mahasiswi yang sikapnya kadang labil dan kekanakan, tak pernah sekalipun Caca mengerjakan keperluannya seorang diri. Bahkan air hangat sudah disiapkan. Rambut! Bibi juga yang mengeringkan. Bahkan buku pelajaran, sepatu dan kaos kaki harus disiapkan bak permaisuri. Bukan cuma itu, uang jajan yang paling banyak remaja seusianya bawa 100 ribu. Caca malah diberi jatah 1 juta oleh Bara. Dan itu hanya untuk satu hari, besok kembali lagi diberi jatah serupa. Begitupun dengan hari-bari kedepannya. Sebenarnya Bara tak bermaksud memanjakan. Dia hanya bingung berapa besar nafkah yang harus diberikan pada istri. Apalagi uang 1 juta termasuk nominal yang sangat kecil menurutnya. Oleh sebab itu Bara begitu santai memberi walaupun ada yang bilang berlebihan. "Tas Caca di mana, Bi?" teriak Caca lagi. "Buku Caca juga di mana bibi???" Rutinitas pagi ini benar-benar berisikan teriakan Caca disetiap sudut rumah. Bangunan berlantai dua itu seolah memiliki banyak penghuni karena keributan yang Caca ciptakan seorang diri. Bahkan Bara selaku suami hanya mampu geleng-geleng kepala dari area dapur mendengar suara Caca di kamar mereka. Bara merasa kalau dia memiliki seorang anak perempuan bukan seorang istri. "Iya, Non. Tunggu!!" "Cepetan, Bi. Caca takut terlambat." teriakan Caca kembali terdengar, Bara menghela nafas pelan. Meminum kembali kopi miliknya yang baru saja dia buat. Menyadari kesibukan bibi yang mengurus satu orang remaja, belum lagi pekerjaan rumah secara bersamaan. Bara tak bisa menunggu lagi itu sebabnya membuat kopi hitam seorang diri. Kegaduhan ini terjadi karena Caca kembali bangun terlambat, lebih lambat dari biasanya, dan itu karena mengerjakan tugas yang menumpuk. Bara juga membantu, tapi karena dia sudah terbiasa bangun pagi, itu sebabnya tak perlu dibangunkan dan tetap teratur sesuai jadwalnya bangun jam 5 subuh. "Bibi bantuin Caca!!" Suara membahana Caca kembali terdengar. Keheningan yang tercipta 3 menit kembali ricuh oleh teriakan cempreng itu. Bara tak mau ambil pusing, memilih membilas gelas miliknya sebelum menghentikan langkah bibi yang membuatnya tak tega. Tergopoh-gopoh akibat teriakan Caca yang tidak sabaran. "Udah, Bi. Lanjutin aja nyapunya. Biar saya yang ke atas." titah Bara, lengan baju yang digulung sampai ke siku kembali diturunkan. Kebetulan dia juga akan mengambil jas, sekalian saja melihat apa yang terjadi dengan Caca di atas sana. "Tapi, Non. Caca tuan?" "Udah. Biar saya." "Terimakasih tuan." "Hm." Penampakan yang pertama kali dilihat setelah memasuki kamar adalah penampilan Caca yang terlihat berantakan. Rambutnya belum disisir, lipstik tak beraturan. Belum lagi baju yang dipakai asal membuat Bara kembali menghela nafas kasar. Hampir frustasi karena melihat tak ada satupun pekerjaan yang dikerjakan dengan benar. "Kaos kaki Caca di man--" teriakan Caca terpotong melihat bukan bibi yang memasuki kamar. "Kok om suami? Bibi mana? Caca bingung ini, butuh bibi." "Kerjanya satu-satu, benerin baju kamu dulu, Ca." perintah Bara. "Tapi buku sama kaos kaki Caca?" "Saya bantu cariin, kamu benerin baju kamu dulu, habis itu sisir rambut." kembali Bara mengintruksi. Walaupun kadang bingung kenapa seorang perempuan tak bisa lebih rapi seperti dirinya? Padahal Caca berasal dari kalangan atas. Hidup dengan kebersihan dan barang yang selalu ditata rapi. Tapi kenapa mengurus diri saja tak bisa? Bara yang hanya melihat saja sudah pusing. Apalagi penampilan itu yang lebih mirip dengan preman dari pada seorang putri. Benar-benar tak cocok dengan kepribadian Bara. "Oke deh." Keadaan kamar tampak kacau, isi lemari juga tercecer di atas lantai. Bara berjongkok, mencari dengan sabar sebelah kaos kaki Caca yang menghilang. Hampir setiap hari Caca mengenakan sepatu karena nyaman. Itu sebabnya setiap pagi selalu mencari kaos kaki agar kulit tak lecet. Setelah kaos kaki itu ditemukan, Bara kembali memasukkan buku pelajaran Caca ke dalam tas sesudah membaca jadwal pelajaran yang sengaja dibuat pada dinding kamar. "Wah, om suami hebat. Padahal Caca kira kaos kakinya gak ada. Bukunya juga kok bisa ada di atas meja? Tadi gak ada." Caca heboh sendiri. Menganggap tindakan gesit Bara adalah keajaiban. Padahal sudah 30 menit dia di sini tapi tak menemukan satupun. Baik buku maupun kaos kaki. "Duduk, Ca." kembali Bara memerintah. Dengan patuh Caca mematuhi ucapan itu. Mendudukkan diri di atas sofa sambil memperhatikan apa yang akan suaminya lakukan di bawah kakinya. "Jangan banyak gerak." Bara memukul pelan kaki Caca yang berayun. Walaupun pernikahan baru seumur jagung, ditambah usia keduanya yang terpaut cukup jauh, sampai sejauh ini Bara belum terbebani. Mungkin ini juga cara sang pencipta mengirimkan istri periang sebagai penghibur harinya yang monoton. "Udah. Lain kali jangan biasain teriak-teriak. Kasian bibi, udah tua tapi kamu perintah-perintah padahal bibi ada kerjaan lain. Mama kamu udah bilang kan, Kamu harus mandiri, jadi usahakan apa-apa sendiri." Bara menasehati setelah kaos kaki sudah dia pasangkan di kaki Caca yang mulus tanpa luka. "Tadi udah usaha, tapi gak ketemu. Makanya Caca cari bibi." jawab Caca dengan wajah yang terlihat serius. "Lain kali lebih usaha lagi." "Tapi tadi udah usaha banget." Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD