Kecanduan Boneka Babi

1071 Words
"Lagi?" "Bagus kan, Om?" tanya Caca, memamerkan boneka babi miliknya pada Bara yang baru saja memasuki kamar. Bibir Caca tertarik ke atas, membentuk senyum lebar dengan mata yang ikut menyipit. Beberapa kali boneka miliknya dia goyangkan di depan Bara yang menggeleng pelan melihat tingkahnya. "Kamu islam kan, Ca? Tapi kenapa kamu suka banget ngumpulin boneka babi. Jangan-jangan kamu itu islam KW lagi, atau ternyata gak beragama." Bara berjalan menuju lemari, mengambil piyama tidur yang sama dengan milik Caca. Pemberian orang tua sebagai hadiah pernikahan. "Astagfirullah haladzim," Caca beristigfar pelan. "Kan cuma boneka, bukan babi beneran. Jadi gak apa-apa dong." "Terus mau sebanyak apa lagi kamu beli boneka babi? Dinding kamar ini aja udah gak kelihatan karena isinya boneka semua. Kamu mau jadiin kamar kita peternakan?" tanya Bara jengah. Caca menghela nafas pelan, meletakkan boneka babi miliknya yang sebesar badan. Kemudian beralih pada Bara yang menanggalkan pakaian di depan mata. Caca tersenyum lebar, tak berkedip dengan mulut terbuka selama beberapa menit. Menatap penuh puja badan berotot yang terlihat sempurna. Barulah saat tubuh itu tertutup piyama Caca kembali menormalkan raut wajahnya. "Om suami lebay banget, ini masih sedikit. Di rumah Caca bonekanya lebih banyak dari ini. Papa juga udah bangunin rumah sendiri buat boneka Caca di belakang mansion. Hebatkan?" celetuknya bangga. "Gak habis fikir saya, Ca. Sama kamu." Bara tak mau lagi mempermasalahkan masalah babi-babian. Dia sudah mendengar langsung ucapan dari kedua mertua bagaimana kecanduannya Caca mengoleksi boneka babi. Entah ada cerita apa dibalik itu semua sampai Caca menyukainya. Padahal ada ribuan bentuk boneka yang lucu, kenapa harus boneka babi? Bara benar-benar tak habis fikir dengan jalan fikiran istri remajanya itu. "Mommy katanya mau ke sini, dia datang ke sini kan tadi?" Bara mengalihkan topik, jika membahas masalah babi, takutnya Caca benar-benar meminta babi sungguhan. Walaupun bukan ahli agama, bahkan belum melakukan kewajiban melakukan sunat karena suatu alasan. Tetap saja Bara mengetahui hal umum tentang babi yang termasuk hewan haram. "Datang kok, sama daddy mertua juga. Boneka babinya juga dari daddy." Pantas saja, sebelumnya Bara sudah mewanti-wanti agar Mang Supri tak mengantar Caca membeli boneka babi. Bara fikir Mang Supri tak mengindahkan ucapannya, ternyata boneka itu berasal dari daddy-nya. Hampir saja Bara memarahi supirnya itu. Bara bukannya pelit, tapi hobi Caca membeli boneka, terkhusus boneka babi sudah berlebihan. Apalagi melihat banyaknya boneka babi di kamar ini. Kalau dibiarkan bisa-bisa mereka berdua masuk ke dalam one the spot karena menjadi juragan babi terkaya seindonesia. "Kalau om suami udah cuci muka temenin Caca main boneka ya?" pinta Caca saat melihat Bara memasuki kamar mandi. Boneka yang mau dipakai bermain sudah dipilih dan diletakkan di atas kasur. "Moh." balas Bara tanpa berfikir. Caca memberenggut kesal. *** "Caca bosen Amel." Video call yang sudah berlangsung selama 30 menit nampaknya belum cukup bagi keduanya memutus panggilan. Dari pada kesal pada Bara yang malah ke luar kamar setelah mencuci muka, akhirnya Caca memilih menelpon Amel untuk mengeluarkan unek-unek yang tak bisa ditahan lebih lama. "Gak ada yang bisa diajak main, om suami aja gak mau temenin Caca. Setiap hari sibuk kerja, malam juga masih kerja. Caca kesepian, andai aja ada Amel di sini." [Ya pasti gak mau lah kalau lo ajak main boneka, Ca. Lo juga sih, udah 19 tahun, udah besar tapi masih main boneka] Caca mendengus pelan. "Emang ada batasan umur kalau mau main boneka? Enggak kan, Caca juga happy main boneka, daripada main hp. Bikin sakit mata." jawab Caca tak mau kalah. [Sekarang lo lagi main hp, Ca] "Kan Caca kesepian, makanya teleponan sama Amel." Kembali Caca menjawab, membantah setiap ucapan Amel yang tak sependapat dengannya. Sudah dijelaskan kalau Caca adalah orang yang cukup keras kepala dan tak mau kalah. Apa saja yang menurutnya tak sejalan dengan fikirannya dia akan menjawab. [Lo emang pintar debat, Ca. Sayang pintarnya gak nyampe ke pelajaran. Untung ada yang nerima lo apa adanya] "Caca kan cantik, jadi om suami suka." [Lo yakin om Bara suka sama lo. Dia pernah bilang gak?] Amel tersenyum penuh arti dari seberang, memancing Caca yang terbukti mulai terpengaruh oleh ucapannya. Terlihat dari kening yang berkerut, gerak-gerik yang tak tenang dan juga mata melihat ke sembarang arah. Caca berfikir sejenak. "Enggak pernah bilang sih, tapi kan kalau suka gak perlu bilang. Papa aja sayang sama Caca gak pernah bilang, Mama juga. Daddy sama mommy mertua juga gitu kok sama Caca." "Itu kan beda." "Sama aja kok Amel." bantah Caca. [Terserah lo deh, Ca. Oh iya ngomong-ngomong gue kayaknya suka sama Ridho deh, Ca] Amel kembali mengalah, awalnya dia hanya ingin mengerjai temannya itu. Namun karena sadar pada poin pertama tentang Caca yang keras kepala, pasti Caca akan membantah sampai Amel menyerah sendiri. Ini sudah malam, Amel tak punya tenaga untuk berdebat, mungkin kalau besok bisa difikirkan lagi. "Ridho siapa?" tanya Caca penasaran. [Ridho Erlangga, yang bapaknya ustadz itu. Yang senior kita loh] Wajah Amel bersemu merah setelah mengucapkan nama sang pujaan hati. Pria yang memiliki suara lembut karena keturunan jawa. "Kenapa bisa suka?" [Ini berawal saat gue sama dia gak sengaja papasan di depan toilet] Amel membayangkan sejenak kejadian yang mempertemukannya langsung dengan Ridho. Tak bisa menahan rasa bahagia akhirnya Amel menendang-nendang selimut yang sekarang digunakan saking senangnya. Ini pertama kalinya Amel salah tingkah dengan pria sampai separah ini, bahkan menyebut namanya saja membuat Amel berdebar tak terkira. "Terus-terus?" tanya Caca penasaran. [Terus kayak di drama korea gitu, gue kepeleset karena lantainya licin---] "Jadi Ridho nangkap Amel? Terus Amel tatap-tatapan sama Ridho kemudian timbul lah rasa cinta pada pandangan pertama?" sambung Caca, mengeluarkan imajinasi setelah mendengar ucapan Amel persis seperti kejadian film yang pernah dia tonton bersama Bara. [Bukan gitu, kisah gue beda dari yang lain. Ini lebih berkesan dan romantis. Ridho gak nangkap gue, tapi cuma liatin jatuh] Caca mengernyit bingung. "Terus kenapa Amel bisa suka sama Ridho? Kan gak ada romantis-romantisnya. Kalau kepala Amel kebentur pas jatuh terus geger otak gimana? Ridho jahat banget itu." [Diam dulu, Ca. Gue mau jelasin. Saat itu dia bilang gini sama gue 'bangun sendiri, gua gak bantu, bukan muhrim.' Gitu katanya, Ca. Coba lo bayangin, jaman sekarang mana ada cowok kayak gitu? Cowok yang masih terjaga dan gak pernah sentuhan sama cewek. Gue kan jadi gimana gitu, jadi terpesona] "Tapi kalau Ridho gak mau bantu karena Amel gak penting gimana?" tanya Caca kemudian. Wajah Amel berubah menjadi keruh, memikirkan bagaimana kalau yang Caca ucapkan benar. Di seberang sana Amel melempar bantal ke sembarang arah, menggigit selimut karena belum siap menerima kenyataan yang membuatnya patah hati sebelum berjuang. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD