Pujaan Hati Amel

1036 Words
Bara menghela nafas pelan. "Ca, bisa nurutkan. Jangan banyak ngebantah kayak gini." tegurnya. Pembahasan ini seperti tak memiliki titik temu, namun Bara juga ingin menang sesekali. Selama menjadi suami, dia sudah banyak mengalah. Di mana harga dirinya sebagai pemimpin perusahaan yang menggaji ribuan karyawan kalau kalah berdebat dengan remaja 19 tahun? Menyedihkan sekali. Lahir dalam lingkup keluarga harmonis membuat Bara mendapat wejangan untuk selalu menghargai pasangan. Apalagi sejak kecil dia tak pernah sekalipun melihat orang tuanya bertengkar hebat. Bahkan meninggikan suara pun tak pernah. Tentu Bara belajar dari itu, dia tak mau menjadi pria kurang ajar yang memarahi istri. Walaupun Caca memang selalu membuat kesabarannya menipis. "Iya-iya, Caca minta maaf." Bara tersenyum puas. "Gak usah minta maaf. Saya gak marah, cuma nasehatin. Ayo turun, saya antar kamu kuliah." Cukup puas dengan permintaan Caca akhirnya Bara tak ingin memperpanjang lagi. Untuk ukuran orang keras kepala, meminta maaf sudah menjadi bukti kalau dia telah sadar. "Oke." senyum Caca kembali terbit, tangannya bahkan sudah bertengger dilengan Bara sepanjang perjalanan menuju lantai bawah. "Kalau pulang kuliah yang jemput om suami atau Mang Supri?" tanya Caca setelah memasang seatbelt pada tubuhnya. Kepalanya menoleh sesaat, menatap Bara yang mulai menghidupkan mesin mobil. Mang supri memang supir pribadi Caca, mengantar kemanapun karena Bara bukanlah pria pengangguran yang setiap saat berada di samping Caca sebagai pengawal. "Hari ini saya mau ketemu kolega bisnis, yang jemput Mang Supri. Kalau kamu bosan di rumah ke kantor aja, kamu bisa main-main di ruangan saya. Sorenya kita pulang sama-sama." "Rio ke sana juga gak om suami?" tanya Caca penasaran. Teman dekatnya itu jauh lebih menyenangkan diajak mengobrol dibandingkan Bara yang selalu berkutat dengan laptop. Walaupun terkadang Rio suka berkata menyebalkan, namun Caca terhibur bermain dengan Rio. Kalau bisa Amel juga ada, tapi tak mungkin dia mengajak Amel ke perusahaan. Di sana bukan taman bermain. Berbeda dengan Rio, dia keponakan Bara, jadi tak masalah datang ke sana karena sekaligus belajar bisnis pada pamannya. "Gak tau, dua hari ini Rio gak ke perusahaan. Kenapa kamu gak tanya langsung aja orangnya di kampus?" Caca berfikir sejenak. "Mungkin Rio gak mau kerja kayak om suami kalau udah lulus. Rio bosen kali, mumet dipaksa belajar bisnis jadi gak mau datang." Alis Bara terangkat. "Kenapa?" "Rio bilang mau operasi plastik supaya dinikahin Amel. Terus Amel yang nanti nafkahin Rio deh, jadi Rio cuma masak di rumah, gak perlu kerja di perusahaan." Bara tergelak mendengarnya. Pantas saja Caca seperti ini. Orang di samping istri remajanya saja memiliki gangguan. Bagaimana mungkin Bara dikelilingi oleh orang yang memiliki otak aneh. Entah keponakan, maupun istri. Mereka sama saja, Bara mengelus d**a sabar. Di sini mungkin hanya dialah yang waras. *** "Ca, gimana menurut lo kalau gue sama Ridho? Cocok kan?" tanya Amel, tangannya menunjuk pemuda yang tak jauh dari posisi mereka. Sedang berkumpul dengan temannya dan terlihat menikmati makanan yang dibeli. "Ridho ganteng ya." puji Caca, mengangguk-angguk sekilas kemudian kembali fokus pada bakso miliknya. Orang bernama Ridho memang ganteng, namun masih tak sebanding dengan Bara yang wajahnya tegas dan memiliki bentuk tubuh proporsional. Yang lebih penting, dia sudah punya perusahaan dengan wangi tubuh khas orang mapan. "Ganteng lah, Ca. Malah sholeh lagi, gak pernah pacaran. Kalau gue bisa dapatin dia beruntung banget kan gue karena jadi yang pertama." ujar Amel serius. "Dari mana Amel tau kalau Ridho belum pernah pacaran?" tanya Caca penasaran. Amel mengibaskan rambut panjang miliknya, memperbaiki posisi duduk kemudian mendekatkan wajah pada Caca. Senyum lebar tak pernah luntur saat membahas pujaan hatinya itu. "Karena gue cari taulah, Ca." "Oh." Caca tak mau lagi memperpanjang. Sekarang sudah jam 12 siang, sama seperti waktu istirahat di kampus, ini juga saatnya orang bekerja makan siang. Oleh sebab itu dengan inisiatif menggebu-gebu. Caca mengirim pesan pada Bara yang ada di seberang sana. To: Om suami Caca sekarang udah makan di kantin. Om suami juga udah makan? Makannya sama siapa? Sama om Bayu? Bales ya. Setelah pesan terkirim, Caca kembali meletakkan ponselnya di atas meja. Sesekali menatap benda pipih itu karena menunggu balasan dari seberang. Namun sampai 10 menit ke depan, tak ada satupun pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Hal itu membuat Caca mendengus kesal. "Halo istri pertama, istri kedua." Rio muncul dari arah belakang, meletakkan tangan pada bahu Caca dan Amel yang saat ini duduk bersebelahan. Bukannya penyambutan yang didapat, malah cubitan maut hingga dia meringis. "Jahat banget sih." keluh Rio. "Lagian salah sendiri. Caca kan udah punya suami, gak boleh lagi pegang-pegang." Dengan bijak Caca menjawab, tak lupa memberikan senyum terbaik pada Rio. "Halah, suami om-om peyot aja bangga lo Caca." cibir Rio seenaknya. Mata Caca membola, belum sempat garpu ditangannya diarahkan ke Rio. Pemuda itu lebih dulu menghindar menjaga jarak. Mengangkat kedua tangan guna menunjukkan perdamaian. Setelah keadaan sudah membaik, barulah Rio mengambil tempat di depan Caca. "Istigfar, Ca. Istigfar." "Om suami gak peyot. Lagian masih gantengan om suami daripada Rio." "Oke-oke, om Bara emang ganteng. Gue mah cuma remahan reginang yang gak bisa nyaingin kegantengan om suami loh." Bibir Caca merekah. "Jelas dong." Rio memutar bola mata jengah. Teman dekatnya itu tampak sumpringan persis seperti orang yang dimabuk asmara. Selesai menatap Caca yang sibuk dengan dunianya sendiri, Rio kini beralih pada Amel yang juga tampak melamun melihat satu objek dengan amat serius. "Kenapa lo, Mel?" "Gue lagi mantau masa depan gue." Alis Rio terangkat sebelah. "Lo ngeliatin calon Kyai itu?" tebaknya tepat sasaran. Terlihat bibir Amel tersenyum lebar, tangan yang diletakkan di bawah dagu sesekali mencuri-curi pandang pada sosok yang berada di sudut kantin. "Yo, lo kenal Ridho kan? Tolong minta nomor teleponnya dong." pinta Amel penuh harap pada Rio. "Wah bahaya nih." celetuk Rio. "Kenapa?" tanya Amel. "Gini ya, lo ini ibarat setan. Berdampak buruk bagi kehidupan dia yang calon-calon Kyai. Kalau dia kenal lo, bukannya jadi kyai dia malah jadi gelandangan yang kehilangan jatih diri." "Sialan lo." "Lagian lo aneh. Gak ada sadar diri sadar dirinya. Orang kayak dia mana mau sama lo, Mel. pasti dia cari yang ukhti-ukhti sholehah. Bukan kayak lo yang yang kayak preman pensiun gini." cibir Rio. "Wah, emang kurang ajar loh." "Makanya gak usah ngarepin dia. Kan masih ada gue, nanti gue operasi plastik deh kayak oppa-oppa. Kalau lulus kuliah, minimal S1, lo ke rumah gue aja buat lamar gue. Gimana? Bagus kan sarannya?" "MIMPI." pekik Amel. Bersambung

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD