Caca Itu Aneh

1155 Words
"Mau berdiri atau mau antar berkas itu ke saya?" tegur Bara pada sekretarisnya yang masih diam di depan meja kerja dengan kening berkerut. Seolah berfikir keras untuk sesuatu hal yang tak Bara ketahui. Jika bukan masalah perusahaan! Itu artinya tak terlalu penting. Selagi masih di sini, apapun yang dikerjakan dan fikirkan haruslah berhubungan dengan pekerjaan. "Maaf pak, ini." "Kita harus bisa dapat tempat penambangan itu." tutur Bara, beberapa kertas yang diserahkan Bayu dia tatap dengan lamat. Memperhatikan dengan teliti agar tak ada yang salah dengan pekerjaannya. Keliru sedikit saja pasti berdampak pada perusahaan. "Iya pak, saya sudah usahakan. Kemarin saya juga sudah membicarakan dengan sekretaris pak Jaya pertemuan antara bapak dan pak Jaya. Katanya secepatnya dia akan mengabari saya kalau pak Jaya tidak sibuk." jelas Bayu sopan. "Kita harus bisa usahakan tambang itu jatuh ke tangan kita. Saya tidak suka disaingi, kamu hanya perlu usahakan saya bisa bertemu dengannya. Setelahnya saya yang akan mengambil alih." kembali Bara menjelaskan poin penting pada Bayu. "Saya mengerti, Pak." "Jangan sampai perusahaan lain yang dapat tambang milik pak Jaya." tekan Bara, pandangannya menyorot pada Bayu dengan serius. Detik berikutnya kembali lagi mengerjakan apa yang harus dia kerjakan. Ucapan itu sudah cukup memberi peringatan kalau apapun yang terjadi dan bagaimana pun caranya dia harus mendapatkan tambangnya. "Saya mengerti." Bayu mengelus lehernya yang meremang. Aura dingin dari atasannya sudah menjadi makanan sehari-hari. Bahkan Bayu pernah melihat murkanya seorang Bara saat salah satu pegawai perusahaan mengundurkan diri dan malah masuk ke perusahaan lawan. Perusahaan yang selama ini ingin menjatuhkan, tentu saja itu membuat Bara merasa dikhianati. Bara mengamuk, seolah sedang diselingkuhi sang kekasih. Mengumpulkan semua karyawan kemudian melampiaskan amarah pada mereka semua. Karena kejadian itu Bara semakin membuat kedisiplinan. Bahkan turun langsung memeriksa apa masih ada yang mau berkhianat lagi! Saat itu keadaan benar-benar mencekam. Bahkan Bayu yang setiap hari di samping Bara tak punya keberanian untuk mendekat, sampai bernafas pun sulit. "Saya mau tanya, Pak." "Apa?" "Ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Tapi jujur saya terganggu dan tidak bisa tidur karena masalah ini." Awalnya Bayu tak ingin bertanya, namun dia penasaran hingga memberanikan diri mencari jawaban pada atasannya. "Kamu curhat ke saya?" Bayu tersenyum kikuk. "Bukan, pak. Saya cuma mau tanya tentang anak pak Gerald. Bapak dekat sama dia, mungkin bapak tau kenapa nona Caca terlihat membenci saya." tutur Bayu hati-hati. Bara berdehem pelan. "Saya bukan bapaknya. Mana saya tau." "Tapi nona Caca teman Rio-keponakan bapak. Dia juga sering ke sini temuin bapak. Mungkin dia pernah cerita alasannya benci saya." 'Dia cemburu, curiga tentang hubungan kita.' Bara menjawab dalam hati. Tak sanggup menyampaikan langsung alasan mainstream istri kecilnya yang diluar nalar. Harga diri Bara bisa tercoreng jika Bayu mengetahui hal itu. Lagipula bagaimana mungkin Caca bisa berfikir begitu! Padahal Bara merasa dia tak sedekat itu dengan Bayu sampai menimbulkan kesalapahaman. Selama ini Bayu juga benar-benar profesional, hanya menjalankan tugas sebagai sekretaris. "Kenapa juga Caca membencimu?" "Saya bisa rasain nona Caca mengibarkan bendera perang setiap kali dia datang ke sini. Padahal saya gak ngerasa pernah nyinggung dia." Walaupun tak pernah mengutarakan lewat lisan, tapi tatapan Caca jelas menunjukkan ketidaksukaan padanya. Tentu Bayu terganggu. "Mungkin itu cuma perasaanmu saja." "Tapi saya benar-benar ngerasa nona Caca benci saya. Kalau memang cuma salah paham, kenapa setiap kali liat saya nona Caca kelihatan kesal. Seolah-olah saya pernah buat salah sama dia." Bayu kembali membayangakn ekspresi Caca setiap kali mereka berpapasan. Pasti wajahnya kesal, memberenggut dan bola mata melotot. Bayu mengusap tangannya. "Gimana ya jelasinnya, Pak. tatapan nona Caca ke saya kayak liat, gimana ya... mungkin kayak liat orang ketiga. Kesal, benci, marah padahal saya gak lakuin apa-apa." Bara menepuk dadanya, tersedak oleh ludahnya sendiri mendengar ucapan Bayu tentang orang ketiga. Tak bisa menyangkal karena itu memang yang difikirkan Caca pada Bayu-sekretarisnya. Walaupun tak masuk akal, tapi karena ini Caca jadi ada saja hal random terjadi. "Mungkin nona Caca salah paham karena pernah liat saya sama bapak---" "Istigfar kamu Bayu." potong Bara, tak ingin mendengar kelanjutan ucapan Bayu. Seolah tau apa yang akan dikatakan. Bayu menggaruk bagian belakang kepalanya karena canggung. "Maaf, Pak. Tapi saya kepikiran saat kita---" "Astagfirullah haladzim, cukup Caca saja yang curiga sama kedekatan kita. Fikiran kamu jangan belok juga gara-gara Caca." Kembali Bara memotong, rasanya ingin muntah memikirkan telah dituduh bermain gila dengan pria. Kalau begini rasanya Bara ingin mencari sekretaris seksi. Setidaknya harga dirinya tak terlalu jatuh walaupun dituduh selingkuh. Alis Bayu terangkat. "Maksud bapak?" "Ya kamu pasti berfikir Caca marah karena kamu dekat sama saya. Gak usah difikirin, Caca itu memang aneh. Kita itu gak lebih dari atasan dan bawahan oke?" Bara menjelaskan dengan tenang, walaupun tak bisa dipungkiri jantungnya berdebar. Bukan karena cinta tapi karena kesal. Bayu membulatkan matanya. "Bukan itu maksud saya, Pak. Sebenarnya maksud saya itu saat saya dan bapak diruangan ini bahas masalah bisnis dengan bu Gina. Karena bapak sibuk jadi saya yang wakilin bapak bicara sama bu Gina. Saya takutnya nona Caca salah paham karena saya bicara sama mamanya. Apalagi posisi kami berdekatan dan nona Caca yang tiba-tiba masuk ke ruangan ini melihat posisi kami saat itu. Nona Caca mungkin berfikir saya mau goda mamanya. Dan mau jadi orang ketiga dalam hubungan harmonis orangtuanya." Bara berdehem salah tingkah. "Apa saya tanya langsug ke nona Caca saja ya, Pak? Saya takut kesalapahaman ini berlanjut, jangan sampai pak Gerald juga salah paham sama saya." "Itu urusan kamu." Bayu mengangguk canggung. "Ini berkasnya, saya sudah tanda tangani. Kamu bisa keluar." usir Bara, seluruh wajahnya memerah mengingat apa yang dia fikirkan tak seperti yang Bayu fikirkan. Ini semua karena tuduhan Caca, itu sebabnya Bara juga berfikir kalau Bayu memiliki pemikiran diluar nalar seperti itu. "Iya, saya permisi." Baru dua langkah Bayu berjalan, dia kembali berbalik menatap Bara cukup serius. "Maaf, Pak. Kenapa bapak bisa berfikir soal Caca yang cemburu karena saya dekat sama bapak? Alasan itu gak wajar kan? Bapak dan saya kan sama-sama punya batang." Bara menegakkan tubuhnya. "Caca itu aneh, kamu tau sendiri. Jadi walaupun aneh kalau itu Caca. Maka semuanya jadi mungkin. Dia memang suka diluar nalar." "Ah benar juga. Mungkin nona Caca juga suka sama bapak." komentar Bayu, mau bagaimana pun dia tak pernah tau status sebenarnya antara Bara dan Caca. Melihat Caca yang sering ke sini dan bertemu dengan Bara, Bayu hanya bisa menyimpulkan jika putri kesayangan pak Gerald itu memiliki ketertarikan pada atasannya ini. Mungkin cinta. "Dia memang suka sama saya." jawab Bara percaya diri. Gerak-gerik Caca mudah terbaca, walaupun tak pernah mendengar langsung! Bara tentu tau jika Caca selalu menatapnya penuh puja. Setiap malam Bara selalu memergoki Caca menatapnya diam-diam. Bahkan saat mereka tidur di kamar Caca sering memegang wajahnya sambil berseru pelan. "Gantengnya suami Caca." Bara membiarkan apapun yang dilakukan Caca. Asalkan jangan sampai kebablasan yang mengakibatkan bangkitnya gairah. Setidaknya Bara harus menahan sampai dia benar-benar sudah di sunat. Bayu kembali mengangguk. "Pantas saja nona Caca sering ke sini. Saya kira karena Rio yang biasanya ke sini untuk belajar bisnis sama bapak, ternyata nona Caca ke sininya karena mau bertemu bapak." Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD