Belum Mau Anak

1201 Words
"Mau makan dulu?" tanya Bara, menoleh sekilas pada Caca yang beberapa saat lalu ingin diantarkan pulang. Ini masih sore, harusnya Bara masih di kantor, tapi karena tak tega melihat Caca yang sudah bosan, belum lagi dia tak mau diantar pulang oleh yang lain selain dirinya. Itu sebabnya Bara-lah yang mengantarnya sekarang. "Mau, Caca laper." Bara menepikan mobilnya di depan sebuah cafe. Tak ada yang spesial dari cafe itu, bahkan warna pun didominasi warna coklat, menu-nya juga tak banyak. Hanya saja daripada berkeliling mencari restoran! Tak ada salahnya mereka makan di sini daripada berkeliling. "Mau pesan apa, Ca?" tanya Bara, buku menu yang ada di atas meja dia tatap dengan lamat. Mencari makanan yang cocok untuk dikonsumsi sore hari. Jika diingat, Bara belum mengisi perut sejak tadi siang. Jadi lebih baik dia memesan makanan berat saja saat ini. "Samain aja kayak om suami." "Oke." Kehadiran keduanya menjadi pusat perhatian. Bara sadar sejak dia menginjakkan kaki di cafe ini beberapa pengunjung dan pekerja menatapnya. Jas mahal yang digunakan mungkin salah satu alasan kehadirannya menarik perhatian. Ditambah keberadaan Caca yang memiliki wajah blasteran korea cukup kontraks dengan kulit sawo matang orang-orang. "Caca suka deh cafenya." Caca membuka suara. Menatap sekitar sembari menunggu pesanan mereka. Tangan kanannya dia letakkan di bawah dagu, seraya menatap ke arah Bara yang mulai sibuk dengan ponselnya. "Tempatnya bagus kan om? Minimalis, kelihatan lucu banget." Caca kembali bersuara. Perhatiannya masih fokus pada Bara yang terlihat sibuk dengan dunianya sendiri. Caca bisa memastikan kegiatan Bara berhubungan dengan pekerjaan. Memang apa lagi kalau bukan itu? "Bagus kan om?" tanya Caca sekali lagi. "Biasa aja." "Padahal bagus, gak biasa aja." Caca kembali mengutarakan isi hatinya. Kali ini kepalanya sudah diletakkan di atas meja dengan tangan sebagai pengalas. "Iya bagus." Bara tak ingin berdebat. "Om suami gak punya pendirian ya." tutur Caca. Alis Bara terangkat sebelah, kali ini kegiatan bermain ponsel dihentikan. Bahkan benda pipih itu sudah dimasukkan ke dalam saku celana. "Gak punya pendirian?" "Iya, tadi katanya biasa aja, sekarang bilangnya bagus. Om suami gak punya pendirian, suka berubah-ubah." komentar Caca, telunjuk lentik yang mengenakan cincin berlian menggambar asal di atas meja karena merasa bosan. "Saya bilang bagus supaya kamu senang aja Caca." Bara berkata dengan jujur, dia sudah terlalu sering mengalah pada orang di depannya. Dan kali ini pun Bara bersikap demikian. Lagipula dia terlalu malas memperhatikan sekitar, itu sebabnya setuju saja dengan pendapat Caca mengenai Cafe ini. "Harusnya gak gitu, kenapa om suami mau buat Caca senang kalau om aja gak suka? Kalau gak bagus bilang aja gak bagus, wajar kok kalau selera om suami dan Caca gak sama. Kata Papa, kita buat bahagia diri sendiri dulu baru buat bahagia orang lain. Kalau menurut kita gak bagus ya udah gak apa-apa bilang gak bagus." Bara dibuat takjub, tumben Caca bijak. Biasanya yang keluar dari mulut itu ucapan unfaedah yang mengundang emosi. Tapi kali ini seolah yang berada di depan Bara bukanlah Caca si keras kepala. "Maaf mengganggu, ini pesanannya" "Terimakasih, Mbak." Caca menegakkan badannya, tersenyum manis pada pelayan cafe yang baru saja membawa pesanan mereka. Hidangan yang tersaji cukup menggugah selera. "Sama-sama, dan selamat menikmati." Pelayan itu menatap Bara dengan lamat, terpukau sama seperti perempuan normal lainnya. Barulah saat ada pengunjung yang memasuki cafe dia pergi dari tempatnya. Bara menghela nafas pelan, ini salah satu alasan kenapa Bara lebih suka makan di restoran. Orang yang mau menghabiskan uang demi hidangan kecil biasanya orang kaya. Tentu saja orang kaya juga tak akan melihat ke arah Bara dengan kekaguman yang kentara. Mereka terlalu sibuk dengan hidup masing-masing hingga tak sempat membuang-buang waktu mengagumi paras seseorang. "Om suami gak usah sok ganteng." celetuk Caca tiba-tiba. Matanya menyorot ke arah Bara dengan pandangan menelisik. "Gak pake 'sok' aja saya udah ganteng." "Tapi gak usah pake gaya sisir rambut kebelakang juga. Mau tebar pesona sama perempuan lain di depan istri?" cibir Caca. "Namanya juga spontan, Ca." "Emang om suami aja yang sengaja mau tebar pesona." Caca tak mau kalah, menurutnya tak ada yang salah dengan ucapannya. Baginya apa yang dilakukan Bara adalah sikap sok ganteng untuk menarik perhatian. Dan Caca tak suka jika ada yang melihat Bara dengan pandangan penuh puja. Itu membuatnya cemburu. Bara itu suami Caca, tak ada yang boleh mengagumi selain Caca. "Tanpa ditebar pesona saya emang udah kesebar, Ca. Pelayan itu aja yang lebay sampai bengong karena ngeliat kegantengan saya. Kalau muka saya biasa aja gak mungkin dia terpesona. Resiko orang ganteng emang gitu, makanya kamu harus bersyukur punya suami ganteng." "Ih, om suami narsis banget." Walaupun itu benar, tetap saja Caca tak ingin mengakui. Dia malu mengatakan kalau om suaminya ini memang sangat tampan. Itu sebabnya Caca terpesona sejak pandangan pertama. Dan itu juga yang menjadi alasan kenapa Caca tetap mau dinikahkan padahal dia sendiri tau kalau umur mereka berbeda sangat jauh. "Kalau ada yang dinarsisin gak apa-apa, emang saya ganteng kok. Kalau saya kayak jamet baru deh saya tau diri. Iya kan?" Bara menaik turunkan alisnya dengan maksud menggoda. "Suami Caca aneh banget." ucapan Caca mengundang tawa renyah dari mulut Bara. *** "Udah dong, Mom, Bara capek ditanya masalah anak terus. Lagian Caca masih kecil, kasian kalau dibikin hamil. Lagian Caca masih 19 tahun, jadi biarian dia kuliah dulu. Baru deh kalau udah lulus Bara fikirin masalah anak." Setelah mengantar Caca pulang ke rumah, Bara kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan. Namun baru saja dia mendudukkan tubuh pada kursi kebesarannya, telepon miliknya tiba-tiba berbunyi. Melihat nama si penelpon yang tertera, mau tak mau Bara segera mengangkat. Hingga terjadilah sebuah perdebatan seperti sekarang ini. [Tapi mommy kepengen Cucu.] "Nanti kalau Caca lulus kuliah, Mom." [Sekarang aja Bara. Mommy siapin dokter kandungan pribadi supaya selama hamil ada yang pantau kesehatan Caca. Kamu jangan khawatir. Hamilin Caca ya sayang?] "Bara tutup teleponnya." tanpa menjawab ucapan dari seberang Bara segera memutus panggilan. Tak ingin ditanya lagi mengenai perihal anak. Lagipula Caca belum cukup umur untuk melakukan program hamil. Dia masih 19 tahun, artinya masih dibawah umur. Kalau sudah 20 tahunan ke atas barulah Bara memikirkan soal anak. Untuk saat ini biar saja dianggap durhaka, lagipula ini juga demi kebaikan Caca. Hamil muda tentu tak dianjurkan oleh dokter, paling fatalnya menyebabkan kematian. Bara tau setiap ibu hamil berkorban nyawa untuk anaknya. Tapi tubuh Caca benar-benar belum dianjurkan untuk menampung kehidupan. Resiko kematian tentu semakin besar jika Bara nekat menghamili Caca. Belum lagi ada penyebab lain kenapa Bara tak ingin menyentuh Caca. Sampai saat ini Bara belum berani di sunat dan tak ada seorang pun yang tau. Selain karena malu bertemu dokter, Bara juga mengumpulkan keberanian lebih dulu. Membayangkan joninya dibelah saja Bara sudah bergidik ngeri dan keringat dingin. "Maaf pak, saya boleh masuk?" "Masuk aja." Pintu ruangan segera terbuka, Bayu muncul membawa tumpukan berkas ditangannya. Nampak sesekali mata itu memindai ruangan ini seolah mencari sesuatu yang tak terlihat. "Nona Caca udah pulang, Pak?" "Udah saya antar pulang." "Syukurlah." tanpa sadar Bayu menghela nafas pelan. Kehadiran Caca membuatnya salah tingkah, bukan karena Bayu yang menyukai gadis remaja itu, hanya saja netra Caca terlihat jelas menatapnya tajam setiap kali mereka bertemu. Mungkinkah dia tak sengaja menyinggung perasaan putri bungsu pak Gerald? Entalah, Bayu tak merasa berbuat salah. Tapi kenapa kehadirannya selalu salah dimata Caca? Hanya Tuhan yang tau kekesalan apa yang disembunyikan remaja ajaib itu padanya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD