SUAMI EGOIS

1056 Words
Santi yang baru saja selesai menyiapkan makan malam terkejut saat melihat putra sulung pulang ke rumahnya dalam keadaan cemberut. “Loh ... Kamu dari mana Di, tumben sih pulang kerja pulang ke sini, istrimu mana?” tanya Santi kepada Yudi. “Kinan ya di rumah, Bu. Aku nggak ajak dia ikut. Dia sekarang sudah bekerja lagi di perusahaan lamanya. Dan tadi ketika aku baru pulang kerja, dia juga baru pulang. Eh, dia ngajakin ribut, kayaknya dia itu sekarang semakin hari semakin membantah,” kata Yudi mengadu pada ibunya. “Udah mandul banyak tingkah lagi. Ibu nggak ngerti sama istri kamu itu. Kenapa sih, dia hanya mempermasalahkan uang? Seharusnya dia bersyukur kalau suaminya masih kasih uang dan harusnya dia bisa mengelola pengeluaran dengan baik. Kan kalian belum punya anak,” kata Santi. “Nah, itu Ibu tahu. Kinan itu nggak pernah bersyukur, mentang-mentang dulunya dia itu wanita karir. Jadi, dia mau seenaknya, Bu. Makanya aku nggak kasih dia uang kemarin.” “Emangnya kamu kasih dia berapa sih setiap bulan? Bener kalau kamu cuman kasih dia satu juta lima ratus rupiah? Bukannya waktu itu kamu kasih dia tiga juta?” tanya Santi. “Kan ibu sendiri yang bilang kalau tiga juta itu sebenarnya kebanyakan. Apa lagi kalau kami belum punya anak. Jadi aku kuranginlah. Aku kasih dia satu juta setengah. Rasanya uang itu cukup kok untuk sebulan, masa sih nggak cukup? Kan dia nggak ngapa-ngapain juga. Hanya di rumah, seharusnya dia bisa mengelola uang dengan baik,” kata Yudi. Santi hanya tersenyum ia menepuk-nepuk bahu anaknya. Yudi memang sangat menuruti semua permintaan Santi. Santi adalah seorang janda dengan dua orang anak. Lia adik Yudi masih kuliah, kebetulan Lia mendapatkan beasiswa sehingga Yudi hanya cukup memberinya uang satu juta setiap bulan untuk keperluan jajan Lia. Untungnya anak itu cukup baik hati dan mau belajar dengan baik. “Tumben sih pulang ke sini, Mas. Lagi ribut ya sama Mbak Kinan?” tanya Lia yang sedang duduk menikmati makan malamnya “Tau tuh mbakmu itu kelewatan, masa aku pulang dia juga baru pulang kerja di meja makan nggak ada makanan. Emang dipikir aku nggak laper setelah seharian bekerja?” kata Yudi. “Emangnya, Mbak Kinan udah kerja lagi sekarang? Bukannya dia udah lama resign dari perusahaannya yang lama?” kata Lia “Dia hari ini baru bekerja lagi, alasannya karena aku tidak memberinya nafkah yang cukup,” kata Yudi sambil mengempaskan tubuhnya di atas kursi. Lelaki itu pun kemudian menyendokan nasi dan beberapa lauk pauk ke atas piringnya. Kemudian mulai menikmati masakan Santi dengan nikmatnya. “Kalau istri kamu nggak masak, kamu makan aja di sini. Tapi tambahin Ibu uang belanja ya. Kalau istri kamu nggak mau dikasih uang, nggak apa-apa kamu kasih Ibu aja,” kata Santi. “Ibu ini apa apaan sih? Bukannya mendamaikan kok malah jadi kompor. Seharusnya ibu bisa ngasih tahu dong sama Mas Yudi. Masa sih ngasih istri cuma satu juta lima ratus satu bulan? Apa lagi sekarang ini harga bahan makanan itu kan mahal, mana cukup uang segitu. Apalagi kan uang segitu sekalian sama listrik juga, Bu,” kata Lia. Gadis cantik itu memang tidak pernah menyukai sikap kakaknya yang terlalu pelit, juga sikap sang ibu yang seringkali menjadi kompor dalam rumah tangga Yudi dan Kinan. “Kamu ini anak kecil tahu apa sih? Kuliah aja yang bener, nggak usah ngurusin kakakmu. Lagian udah bener kok, kakak kamu itu kasih satu juta lima ratus rupiah untuk istrinya. Mereka kan belum menikah belum punya anak buat apa uang banyak-banyak,” kata Santi. Lia menghela nafas panjang, inilah sifat ibunya yang tidak ia sukai. Ibunya selalu egois dan tidak memikirkan perasaan orang lain. “Bu, Mas, seandainya aku menikah lalu suamiku memberiku uang hanya satu juta lima ratus rupiah setiap bulan ... apa kalian senang?” tanya Lia. “Jangan harap, kalau ada lelaki pelit yang mau menikah denganmu Ibu kasih restu. Kalau mau menikah denganmu, minimal harus ada perjanjian 1 bulan bisa memberimu jatah uang belanja lima juta rupiah paling kecil. Ibu nggak akan bakalan pernah merestui kalau kamu menikah dengan orang biasa-biasa saja. Enak aja, Ibu ini kan merawat kamu sejak kecil. Sejak SMA bapak kamu udah meninggal dunia dan ibu menjadi single parent. Menyekolahkan kalian berdua itu butuh pengorbanan, enak aja kalau anak ibu dibikin sengsara,” kata Santi. “Nah itu, Ibu tahu ibu sendiri nggak mau kan kalau anak ibu sengsara. Kira-kira orang tuanya Mbak Kinan marah nggak ya kalau tahu Mbak Kinan diperlakukan seperti itu sama Mas Yudi?” kata Lia lagi. Yudi menghela nafas panjang, selama ini Kinan memang tidak pernah mengadu kepada orang tuanya. Bahkan setau Yudi, Kinan juga jarang pulang ke rumah orang tuanya. Paling-paling, Pak Bima dan ibu Delia kedua orang tua Kinan yang datang berkunjung ke rumah mereka setiap bulan. Dan Yudi tahu kedua orang tua Kinan itu seringkali memberi uang kepada anaknya. “Udahlah nggak usah bahas Kinan lagi. Mas lagi bete tahu, makanya Mas pergi ke sini. Di rumah udah nggak dimasakin, istri juga egois,” kata Yudi. Lia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu pun langsung bergegas menyelesaikan makan malamnya. Kemudian ia pun beranjak pergi meninggalkan ibu dan kakaknya di meja makan. “Kamu mau ke mana Lia?” tanya Santi. “Aku mau ngerjain tugas, Bu ... lagi banyak tugas. Jadi aku harus kerjain. Kan ada Mas Yudi juga,” jawab Lia dengan lugas. Kemudian gadis itu pun meninggalkan Santi dan Yudi. Ia malas meladeni ucapan ibu dan kakaknya yang menghina kakak iparnya. Lia sangat mengagumi Kinan di mata Lia kakak iparnya itu adalah sosok kakak ipar yang sangat pintar dan juga sangat baik. Lia sangat menyayangi kakak iparnya itu. Lia juga tahu jika Kinan dulunya adalah seorang arsitek yang sangat pintar dan berbakat. Hanya karena bucin kepada kakaknya, ia meninggalkan karir yang sedang bagus-bagusnya dan menjadi ibu rumah tangga. Tapi, balasan yang didapat tidak sesuai dengan pengorbanan yang ia berikan. Karena masih merasa kesal dengan Kinan, Yudi memutuskan untuk menginap saja di rumah ibunya. Ia tidak memedulikan saat Kinan mengirimkan pesan dan juga menelponnya. “Siapa yang menelponmu?” tanya Santi saat melihat ponsel Yudi berdering berkali-kali. “Kinan, Bu. Ah, biarin aja aku males untuk angkat. Palingan dia tanya kenapa aku nggak pulang. Ngapain, aku pulang juga nggak dihargain. Aku baru mau pulang, kalau dia udah berhenti kerja dan menghargai aku sebagai suami,” kata Yudi. Santi langsung mengacungkan jempolnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD