"Airlangga." Memperkenalkan diri, tak lupa disertai senyum dan juluran tangan. Dengan sorot mata terpikat yang dia tujukan kepada gadis desa itu.
"Angga?"
"Oh, bukan. Erlang." Sebutannya.
Sosok yang Erlang hampiri dan diajaknya kenalan itu pun balas menjabat tangan. Juga menyebutkan nama ... "Haifa."
Cukup lama tangan itu Airlangga genggam pertahankan, ingin dia tarik lembut dan dikecupnya punggung tangan tersebut, tetapi tidaklah. Nanti Haifa terkejut.
Hingga akhirnya jabatan tangan itu terlepas.
"Mau ke sana, kan?" Menunjuk arah yang sekiranya menjadi tujuan berjalan Haifa.
Gadis itu mengangguk. Agak sangsi sebetulnya, waspada kepada pria yang baru saja dikenalnya. Namun, karena lelaki itu memberikan sandal kepadanya, dari ransel di punggung yang Airlangga gendong, sebuah sandal capit yang kebesaran di kaki Haifa, tetapi ini lebih baik daripada dia berjalan tanpa alas. So, why not?
Toh, Haifa bukan gadis lugu. Selain itu, dia juga bukan gadis desa asli. Meski semenjak beberapa hari tinggal di sini, orang-orang desa membuatnya berpenampilan laksana mereka. I mean, penampilan khas desa. Baju-baju Haifa yang dari kota berasa tidak berguna. Selain itu, dia juga agak kurang percaya diri memakai pakaiannya yang akan jadi sangat mencolok di sini, jadilah dia dipinjamkan pakaian milik putri dari ibu-ibu yang rumahnya Haifa tinggali.
Ibu Minah. Putri beliau sedang merantau di kota, konon katanya.
Well, demikian saat ini Haifa memakai rok motif bunga kuno dan blouse pink. Sama kuno juga. Hanya saja entah kenapa, dengan pakaian ini Haifa justru jadi semakin menarik perhatian orang, contohnya saja lelaki itu.
Airlangga.
"Asli sini, Dek?"
"Panggil Ifa aja, Mas."
Ah, iya ....
Erlang berdeham-deham. Curi-curi pandang. "Asli sini?" Mengulang pertanyaan.
"Oh, bukan ...." Atau, iya?
Erlang mengangguk-angguk. Di lehernya ada kamera yang terkalung. Ingin dia potret sosok Haifa, tetapi tahan ... tahan dulu. Basa-basi biar kenal dekat lebih dulu itu jauh lebih penting.
"Masnya ini beneran mau ngikut saya ke sana?" Ke arah sawah yang hendak Haifa tuju, dia membawa bakul nasi, sedangkan rentetan rantangnya digenggam Erlang. Dibawakan.
"Iya, nggak pa-pa. Kan, sekalian lagi nyari spot foto yang bagus juga."
Haifa tersenyum. "Fotografer, ya, Mas?"
Oh, bukan.
But, Erlang senyum dan itu diartikan iya oleh Haifa.
"Mau jadi model saya?"
Haifa melirik. Dibalas lirikan serupa oleh Airlangga. Perjalanan di bawah terik matahari desa itu seketika terasa menyenangkan, bahkan tak terasa mereka sudah hampir sampai. Hanya tinggal melalui pematang sawah saja, menuju saung--macam gazebo dari jerami dan kayu.
"Ah, nggak." Haifa senyum lagi. "Aku nggak suka difoto." Jujur, memang begitu.
Mas Erlang--mari kita sebut demikian--ber-oh ria kemudian, mengangguk-angguk paham.
"Kalau saya yang foto, barangkali suka." Dia tujukan senyum paling mematikan bagi kalangan anak gadis orang, biasanya ampuh dan mempan. Dengan ini Erlang jadi mudah mendekati perempuan.
Bicara-bicara, Haifa cantik sekali.
Sangat cantik di matanya.
Dari jauh melihat sosok gadis ini, seketika kepala Erlang yang semrawut kelam jadi terang benderang. Benang kusutnya seketika lurus dan terbayang hal-hal menyenangkan.
By the way, Erlang baru tiba di desa tersebut dua hari lalu. Dia telah mempersiapkan apa-apa saja yang harus dibawanya ke sini, termasuk sandal capit untuk jelajah area persawahan. Eh, ternyata sandal itu menemukan fungsi lain, yakni disinggahi kaki cantik Haifa, melindunginya dari kerikil jalanan.
"Masnya tunggu sini aja." Haifa bicara, mengabaikan ucapan Erlang sebelumnya. "Oh, ya ... sini rantangnya, Mas."
Tangan Haifa menjulur, yang Erlang tatap sejenak, lalu ketika dia kembalikan rantang tersebut kepada Haifa, sorot matanya tepat jatuh di mata gadis cantik ini.
Yap, tersenyum.
Haifa lantas berlalu.
Demikian itu, saat Haifa jalan di pematang sawah menuju saung para petani, tanpa izin Erlang spontan memotretnya. Betapa indah karya Tuhan yang satu ini, Erlang akui.
Lagi.
Erlang mengarahkan kameranya ke sosok Haifa, yang saat gadis itu menyadari sorotan kamera, maka Erlang alihkan objek fotonya ke sisi lain sawah. Memfoto para petani.
Dalam aksinya itu, Erlang tersenyum. Sunggingan bibir yang hanya dia sendiri yang nikmati.
Oh ... dia telah menemukan inspirasi di sini.
Di desa ini.
***
"Oh ... Neng Ipa?"
"Ifa, Eyang. Kak Ifa."
Perkara huruf F dan P yang kadang penyebutannya begitu oleh orang-orang Sunda.
"Iya, Haifa." Erlang lantas menyebutkan panggilan lengkapnya. "Pakde Banyu kenal sama Haifa?"
Banyumas. Kakak dari Papa Chandra, pakdenya Airlangga, yang kini tinggal dengan cucu gerangan. Konon, Pakde Banyu begitu sayang cucu sehingga beliau sering nginap di sini. Di tempat Erlang mengungsi. Yeah, Erlang memilih desa ini adalah karena punya saudara yang dapat dia kunjungi.
"Pendatang baru itu, sih, Lang. Kenal mah nggak, tapi beritanya santer ke pelosok juga, terus sekarang disebut-sebut kembang desanya kita. Cantik banget soalnya."
Erlang setuju.
Hal yang membuatnya diledek detik itu.
"Bilangin papa kamu, ah." Pakde Banyu memang jail begitu, sudah siap ambil ponsel, pasti mau koar-koar di grup utama keluarga Kesebelasan--keluarga besar Erlang.
Oh, tidak.
Sebaiknya dia kabur saja. Berlalu ke luar rumah, dengan kamera dan ponsel dibawanya. Agaknya, Airlangga terkekeh.
Malam itu.
Namanya Haifa.
Erlang menatap lagi hasil jepretannya, satu per satu. Memang cantik betul Haifa itu. Meski mau secantik apa pun sosoknya, Erlang adalah Erlang, yang disebut agak lain oleh rumpun keluarganya.
Mama dan papa bahkan mulai khawatir Erlang tidak memiliki ketertarikan pada perempuan, selalu menghindar soal pernikahan, entah karena apa tak ada yang tahu.
Waktu demi waktu, lama begitu.
Yang selalu menghindar dari hubungan serius. Yang jikapun kelihatan dekat dengan perempuan, tetapi tak ada satu pun yang dibawanya ke hadapan orang tua, selalu berakhir dengan ghosting atau cap PHP di dirinya--itulah Airlangga.
Dia kelihatan suka dengan bermacam jenis wanita, tetapi semua hanya berakhir sebagai objek pendekatannya saja.
Dan sosok Airlangga yang begitu, dewasa kini dia akhirnya menyerah menolak ide perjodohan orang tua, Erlang tampak sudah pasrah. Tentu saja, itu karena dia membawa bayi tanpa induknya, dengan diakui sebagai anak sendiri. Well, sekarang poinnya bukan itu, tetapi soal Haifa yang Erlang rasa ... sayang sekali.
Dirinya telah menyetujui sebuah ide perjodohan dari mama, entah siapa gadis itu, yang pasti adalah gadis nakal sebab konon pertemuan pun ditahan sampai sang gadis rampung menuntaskan fase hukumannya.
Bicara-bicara ... Erlang melihat Haifa.
Itu di sana.
Sedang duduk sendiri sambil menatap langit.
Of course, Erlang hampiri.
"Apa nggak bahaya anak gadis secantik kamu berkeliaran sendiri begini?"
Haifa terkesiap.
Yang lalu dia matikan sambungan teleponnya.
Well, Erlang tidak tahu jika ternyata Haifa aslinya sedang bertelepon. Adapun headset dilepasnya dari telinga, Haifa lantas berdiri.
"Eh, Mas Erlang ... di sini aman, kok. Selama aku tinggal di sini, sih, ya. Nggak ada apa-apa."
Erlang meminta Haifa agar kembali duduk, yang dia temani.
Tampak berpikir sejenak hingga Haifa akhirnya mendaratkan b****g di tempat tadi, kini di sisi Airlangga. By the way, sandal yang masnya pinjamkan sudah Haifa kembalikan.
Dan Haifa pikir pertemuannya dengan seorang Airlangga ini hanya cukup sampai di sana, tetapi ternyata tidak, ya? Berlanjut sampai malam. Entah besok atau lusa ....
Setelah duduk, eh, malah saling diam di sana. Yang lalu Erlang menoleh, mencuri-curi pandang. Di situ, Haifa ikut menoleh juga. Bertatapan.
Baik Erlang maupun Haifa jadi saling tersenyum dan salah tingkah ala-ala.
"Oh, ya, foto aku udah dihapus, kan, Mas? Itu ilegal, lho. Diambil tanpa izin."
"Mm ... udah dihapus belum, ya?"
"Hapus, dong."
"Kalau boleh tau, emang kenapa nggak mau jadi model? Padahal sepenglihatan saya sebagai fotografer, kamu ada bakat di situ."
"Aku nggak mau terkenal, Mas."
Sontak Erlang tertawa. "Lho, kenapa?"
Haifa mengulum bibirnya.
Menatap Airlangga.
"Repot."
Begitu katanya.
"Jadi model pribadi saya aja, nggak untuk di-publish, jadi nggak akan terkenal. Gimana?"
"Lho, kok, ngeri, ya?"
Tentu.
Airlangga tertawa.
Mereka bahkan baru kenal siang tadi. Atau sore?
"Nggak, nggak. Saya cuma bercanda," katanya. Dan disadari atau tidak, Airlangga sudah berhasil mengalihkan topik bicara.
Perihal foto Haifa yang masih dia simpan di memori kamera.
Oh, bagaimana jika Erlang bermain-main sedikit di desa? Seperti sosoknya yang suka bermain dengan wanita-wanita lain, sebelum nanti dipertemukan dengan gadis pilihan mama.
Di samping itu, Haifa terpikir satu hal serupa. Apa dia membuat hubungan affair dengan lelaki ini saja, ya? Semata agar intrik perjodohan untuknya gagal direncana. Kayaknya ... masnya tertarik, deh, sama Haifa.
Karena dengan tampang secantik dirinya, Haifa tidak yakin tak akan ada yang terpesona, meski itu pria setampan Airlangga sekali pun.
So?
"Boleh minta nomor kamu?"
Setepat itu. Haifa puas mendengar ucapan Airlangga. Yang itu berarti ....
"Boleh." Nomor ponsel, kan? Haifa tersenyum. "Tapi sehari satu angka, ya, Mas? Itu pun kalau mau."
Erlang tertawa karenanya. "Biar apa?"
Ya, apa lagi?
"Biar setiap hari, senggaknya selama dua belas hari itu, kita intens ketemu."
Hei!
Haifa tersenyum lugu. Di mata Airlangga, selugu itu.
Yang demikian, Airlangga mangap-mingkem di tempatnya. Dia lalu tertawa, melirik Haifa, hingga berakhir geleng-geleng kepala.
Fine.
"Saya mulai tulis angka nol, ya, hari ini. Besok sore saya ajak kamu jalan, mau?"
Semulus itu, secepat itu pula, Airlangga tidak mengulur waktu, toh Haifa kelihatannya cukup mudah, tak seperti bayangannya soal kembang desa--untuk didekati pasti super susah.
"Boleh." Haifa tersenyum.
Bagus.
Sangat bagus.
"Kita ketemu lagi di sini, ya, Mas? Sampai besok kalau gitu."
Dan ... Haifa berlalu. Erlang pandangi. Sambil dia perhatikan lebih rinci lagi soal gadis itu. Lama dipandang, lama diperhatikan, lama Erlang bergumul dengan pikiran, dirasa-rasa kok Haifa seperti mirip dengan seseorang.
Tahu?
Galen Putra Airlangga--iya, putranya--kenapa mereka jadi terkesan semirip itu?