2. Bidadari Tanpa Ujung Pelangi

1454 Words
"Apa nggak ada yang lebih fresh?" Beberapa foto di tab yang Erlang gulir satu demi satu tidak ada kecocokan dengan seleranya. Dan dia rasa semakin ke sini semakin monoton, entah itu dari segi konsep pemotretan, latar belakang, maupun wajah-wajah modelnya. Erlang bosan. "Bukannya nggak cantik, ya ... tapi ngebosenin aja," komentar Erlang. Dia pun mengembalikan tab tersebut kepada sekretarisnya. Oh, pekerjaan Erlang. Jujur, agaknya dia tidak terbiasa dengan bidang ini. Erlang lebih suka mengajar dan itu jurusan bahasa, bisa sekalian ngegombal soalnya. Merajut kata seindah rangkaian kalimat sastra, lalu membuat mahasiswa sekelas heboh kelepek-kelepek. Kalau di sini ... Erlang takut ada yang baper, terus menganggap candaannya serius. Kalau ke mahasiswa, kan, beda. Ke teman sesama dosen juga dia rasa beda. Mereka seru, dan ini tentu di matanya. Walau tidak menutup kemungkinan pernah ada yang patah hati dan Erlang dituding PHP. I mean, pemberi harapan palsu. Padahal nih, ya ... salah sendiri sudah berharap. Mau sebesar apa pun harapan yang ditebar kalau pribadi sendirinya tidak menaruh harapan, kan, aman. Ah, sudahlah. "Untuk beberapa minggu ke depan, saya mau melakukan perjalanan ... ah, iya, kirim email saja terkait pekerjaan kalau saya belum balik nanti." "Baik, Pak." Sekretaris pun pamit undur diri. Segera Erlang tuntaskan pekerjaannya di sini, lalu berbenah bersiap untuk pulang, dan ... refreshing? Erlang butuh inspirasi. Sementara itu, di sebuah gubuk--oh, tidak. Ini rumah. Namun, seseorang di sana merasa kediaman tersebut tak layak. Sudah berlangsung selama satu minggu penuh Haifa dibuang ke desa. Katakanlah demikian, papanya sungguh tega. Oke, Haifa akui dia tidak terbiasa dengan lingkungan pedesaan. Meski udara dan nuansa alamnya memesona, tetapi tempat yang dia tinggali sekian hari di sini sungguh jauh dari rumah bak mansionnya di ibu kota. Rumah yang sejuk dengan AC, bukan angin sepoi alami sebab di malam hari kadang dinginnya tidak terkendali. Tak cukup dengan itu, bilik kamarnya mengerikan. Dalam arti, meski pintunya bisa dikunci, tetapi terlihat sangat mudah untuk dibobol. Hei! Bagaimana kalau ada orang jahat karena sejatinya kecantikan terkadang membawa aura negatif orang-orang. Iya, kan? Haifa takut, serius! Tidurnya tak nyenyak. Belum lagi soal jendela. Ya Tuhan ... dari sekian banyak rumah, kenapa harus di sini? Begitulah pikir Haifa. Kala dingin di malam hari, ranjang berdipan nan reyot itu sampai-sampai di setiap pergerakan Haifa suka timbul bunyi decitan. Horor, nggak, sih?! Selimutnya tipis pula ... ini, sih, kain samping lebih tepatnya. Help! Seumur-umur hidup walau tidak diperlakukan sama di kediaman Samarawijaya, tetapi Haifa rasa itu lebih baik ketimbang tinggal di desa ini. Tanpa uang, tanpa seorang pun tahu siapa dirinya, sekali pun disebut nama "Samarawijaya", mereka cuma "oh" saja. Ah, iya .... Haifa Gayatri Samarawijaya. Yang sejak SMA telah memutuskan untuk hidup sebagai beban orang tua, anggaplah itu balasan dari ucapan mereka sendiri tentangnya; tentang produk gagal. Seolah Haifa membantu mewujudkannya jadi semakin nyata. Dulu .... "Serius malam ini kita puas-puasin clubing dan itu ditraktir lo, Fa?" "Yap. Ayo! Gratis-tis-tis." "Kyaaa! Haifa terbaik!" Bersama kawan-kawannya. "Fa, liat di sana!" Haifa menoleh. Pada sebuah kelab malam metropolitan. Dia memakai baju jenis crop top sehingga area pusarnya terpampang, lalu dipadu celana jeans panjang yang agak serampangan. Meski terkesan jadi yang paling sopan di kelab itu, tetapi tetap aura seksinya menguar, didukung oleh wajah cantik paripurnanya. "Godain, yuk?" Waktu baru diterima di sebuah kampus dengan jurusan pilihan orang tuanya karena jurusan yang sesuai minat Haifa ditentang, dia memberangkatkan teman-teman nongkrongnya ke kelab malam. Tentu, bersama dengannya. Well, ini bukan kali pertama, dulu saat baru punya KTP juga pernah, dan di situ Haifa ketahuan oleh kakaknya. Saat itu. "Om-omnya ganteng ... kali aja bisa jadi gulaku?" "Haha. Udah kayak merek!" Mereka adalah Ovi dan Nika. Teman lainnya sedang goyang di lantai dansa, katakanlah begitu. Mereka membaur bersama orang-orang tidak dikenal, berjoget mengikuti irama musik jedak-jeduk yang menggebu, mendentum-dentumkan d**a. Belum lagi soal lampu diskonya. "Cuma goda aja?" balas Haifa, memunculkan smirk-nya. "Oh, jelas! Tidak, dong. Kita taruhan, gas?" timpal Nika, antusias. Ovi manggut-manggut semangat. Memandang sosok yang mereka sebut om-om tampan. "Godainnya sampe dapet nomor telepon aja, ya?" "Gak. Minimal kiss!" Nika agak-agak memang, dia sudah kesengsem brutal sama tampang pria itu di seberang sana. Iya, sih. Gagah betul macam Tarzan. But, Haifa geleng-geleng. "Kalo itu, sih, gampang. Di tempat kayak gini, bukannya mereka pada nyari hiburan? Ada kita yang nyamperin terus sampe minta kiss, yakin bakal ditolak? Taruhan macam apa kalo semua dari kita bisa aja dikasih nomor hapenya." Oh, iya ... benar juga. Di sini tempat anu-anu, kayaknya nggak bakal nolak buat anu. Lagi pula, Haifa nggak mau kalau sampai adu bibir. Dia memang ingin merugikan orang tua, tetapi bukan dengan merusak diri sampai sebegitunya. Ada batas-batas tertentu yang bisa dia jaga. "Terus apa?" Baru Haifa mau menyahut, Nika bicara lebih dulu. Katanya, "Udahlah, gak pa-pa. Kiss aja. Mana tau om-omnya jual mahal. Liat! Dia agak beda." "Oke. Dimulai dari gue, ya!" seru Ovi. Nika menyoraki. Sedangkan, Ovi mengerling jenaka. Berlalulah dia. Dan di sini, Haifa mendengkus. Dasar. Dulu. Dia teguk air mineralnya. Datang ke kelab cuma untuk minum air putih, padahal kelab adalah tempat berbahaya di mana nyaris semuanya predator beringas, di mata Haifa. Lirik kiri, pria genit. Lirik kanan, p****************g. Lirik ke mana pun, bahaya, malah mengundang pria-pria bergantian datang, ada yang sampai ngajak ngamar secara terang-terangan. Namun, dengan datang ke sana, tujuan Haifa tercapai. Dia diketemukan oleh orang-orang papa sebelum menghampiri om-om incaran. Pulang. Kemudian ... mendapat lemparan majalah bisnis di badan. "Mau jadi apa kamu, hah?!" Mama yang murka, papa cuma lempar majalah sambil menatap tajam pada Haifa. "Jadi apa yang Mama dan Papa sebut, kan? Produk gagal." Haifa tersenyum. "Dan ... beban." Why? Itu kata-kata dari mereka. Haifa sampai dihantui ke alam bawah sadar. "Modal tampang." Sambil Haifa mainkan rambutnya. "Haifa!" Karena hanya dia yang selalu salah sekali pun itu benar. Paham? Giliran Kak Gea yang pernah Haifa laporkan bahwa kakaknya itu juga ada di kelab, waktu Haifa pertama kali ke tempat seperti itu, yang dipermasalahkan begitu panjang durasinya adalah Haifa. Kak Gea? Lolos begitu saja. Adilkah? Bukan itu saja. Makanya geram kalau mau dipaparkan. Eh, tunggu! Kenapa jadi jauh ke sini-sini ceritanya? Semula apa yang dibahas? Kehidupan Haifa yang tidak pernah sekali pun tidur di kasur kapuk, kamar berdinding batu bata polos--alias belum ditembok dan tentu tidak bercat, banyak nyamuk ... Ya Allah! Dua minggu. Di sana, Haifa mulai mencoba beradaptasi dengan kemalangannya. Mulai menikmati. Sampai saat telepon dari mama merusak mood-nya. Rusak sekali. Mama bilang, "Kamu mau pulang?" "Nggak betah, kan?" "Makanya jangan nakal. Nurut apa kata Mama bilang, toh buat kebaikan kamu juga, kan? Kalau bisa main piano, ngelukis, dan berprestasi ... siapa yang senang selain Mama sama papa? Pasti kamu." Betul. Namun, tidak dengan paksaan, yang lalu jikalau gagal atau tidak memenuhi ekspektasi mereka, Haifa dibanding-bandingkan, dimarahi, pernah juga dilempar kuas lukis. Sepele, sih. Lagi pula, kenapa di keluarga Samarawijaya harus ada tradisi macam pesta keluarga, adu bakat biasanya. Haifa muak. Sering dia tidak datang ke acara besar itu, tahun demi tahun. "Tapi, toh, ya udah ... sekarang Mama udah nemu solusinya. Kamu cukup jadi cantik aja. Nggak perlu pandai main piano atau lukis." Haifa masih diam, mendengarkan. "Mama udah nerima ajakan perjodohan buat kamu, Fa. Dia laki-laki matang yang mapan." Membuat alis Haifa kompak menukik. "Gimana, Ma?" "Iya, kamu nikah aja. Dia laki-laki yang cukup unggul buat nutupi kekurangan kamu di keluarga kita walaupun duda dan punya anak satu, nggak masalah selagi punya perusahaan--" Haifa matikan sambungan nirkabel itu. Gila. Haifa tidak habis pikir lagi dengan konsep kehidupan dan SOP di keluarganya. Lalu apa-apaan itu? Men-- "Neng!" Ah, siapa .... Haifa menoleh. "Iya, Bu? Eh, udah, ya? Maaf tadi neleponnya agak lama." Ibu-ibu itu tersenyum. "Nggak pa-pa. Oh, ya, ini nanti ke sawah kulon, ya? Ditinggal aja." Bakul nasi. And you know what is the meaning of "kulon"? Dua minggu di sini, Haifa telah berbaur, dia bahkan jadi bantu-bantu tetangga dari kediaman yang Hafia tempati. Ini pun diajak oleh sosok ibu yang mau menampungnya dari papa yang justru membuangnya. Ribet, ya? Intinya, kulon adalah barat. Itu salah satu arah mata angin. Haifa tahu jalan mana yang harus dituju menuju sawah bagian barat--milik ibu tetangga. Istilah sunda lainnya, Haifa ini sedang "nganteuran". Duh, apa pula bahasa Indonesianya? Mengantarkan makanan ke sawah untuk para petani yang sedang bekerja. Demikian definisi kegiatan Haifa sekarang. Di mana saat itu, langkah demi langkah, sandal jepit Haifa putus. Sialan betul. Dan tanpa sepengetahuan Haifa, di ujung jalan yang lain, ada sosok yang sedang memandang terpukau ke arahnya. Itulah salah satu kelebihan Haifa yang tidak diakui orang tuanya. Di sini ... Airlangga tersenyum. Dia telah menemukan inspirasi sekaligus pencerahan untuk menghidupkan agensi monotonnya. Tepat di hari ketiga tiba di Cibodas. Lantas, Erlang mengambil langkah pasti ke arah itu. Bagaimana bisa tidak ada ujung pelangi yang jatuh di sini, tetapi dia melihat seorang bidadari?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD