4. Kenang-kenangan di Bibir

2953 Words
Erlang: Gue nemu cewek cantik. Ega: Sikat! Abian: Gas aja nggak, sih? Jadiin istri, biar nggak cuma Babang Erlang kita ini aja yang jomlo. Egi: Masih jomlo emang? Betah amat. Ego: Bawa pulang, Lang. Tante Wendi pasti seneng. Sakha: Ajak serius. Sakha: Supaya Galen punya mama. Yeah, mereka semua adalah saudara sepupunya. Sekadar info, Airlangga ini lahir dari pasangan Wendi dan Chandra, yakni Papa Chandra merupakan keturunan dari keluarga besar yang disebut Kesebelasan karena saudara kandung papanya Erlang itu ada sepuluh, sebelas dengan gerangan. Begini silsilahnya agar setidaknya siapa pun mengenal dengan baik rumpun keluarga besar Airlangga. Dahulu kala, lahir sebelas orang anak dengan urutan: Umin, Samudra, Lei, Banyumas, Chendrawasih, Chandra, Dion, Malikai, Altariksa, Jaelani, dan Marine. Dari sana, Papa Chandra merupakan anak keenam dari sebelas bersaudara. Ada kisah rumit yang lantas membuat Papa Chandra menikah dengan Mama Wendi, lalu lahirlah Airlangga yang gantengnya paripurna, menjadi anak satu-satunya, dengan label beban keluarga karena sampai detik ini always membuat orang tuanya memikirkan dia. Erlang yang selalu menolak untuk menikah, tak pernah sekali pun bawa kenalan perempuannya ke rumah, padahal oleh keluarga dinilai playboy dan buaya--sepupu Erlang menjadi saksi betapa liarnya dia dalam merayu wanita, hanya memang tak ada yang diseriusi olehnya. Menjadi rahasia umum kalau Erlang betah melajang--tanpa pasangan halal I mean, hingga usia 30-annya sekarang. Bagaimana tidak menjadi beban? Anak satu-satunya malah bikin risau orang tua, dicemaskan punya prinsip hidup selibat. Eh, di suatu waktu malah bawa bayi yang dia klaim sebagai anaknya tanpa mother. Keluarga Kesebelasan--yakni keluarga besar Erlang--sampai harus kumpul lengkap personil untuk sidang kasus tersebut. Erlang sebagai terdakwa. Ditanya-tanya, tetap tidak mau mengaku itu bayi dia bawa dari mana, siapa ibunya, Erlang tetap bilang bahwa bayi itu anaknya dan tanpa ibu. Alhasil, keluarga menunda sidang hingga ditemukannya pencerahan. Namun, sampai detik ini, nihil. Yang kemudian Mama Wendi mendapat wangsit, yakni perjodohan. Kalau-kalau Erlang menolak seperti sebelumnya, maka bayi itu taruhannya. Dan ... berhasil. Entah bagaimana nanti. Sebab saat ini, sudah dijodohkan pun Erlang berulah. Dengan menandai sosok yang dia sebut cantik di sini, di desa yang dia kunjungi demi mencari inspirasi. Seakan tak peduli bahwa dirinya telah menjadi calon jodoh orang lain. Well ... Haifa Gayatri namanya. Gadis yang Erlang pepet saat ini. Konon, Haifa kembang desa walau pendatang baru juga, tetapi ada yang bilang Haifa dulu lahir di sini. Entahlah. Kini, Erlang sudah punya dua angka dari nomor ponsel gadis itu. Iya, dua. Nol dan delapan. Menunggu dua belas hari, kok, lama sekali? But, Erlang nikmati. "Mas, jangan difoto!" Ah, itu. Saat Erlang kembali bertemu dengan Haifa, kali ini karena sudah janjian di sana. Tentu, Erlang selalu membawa kamera. Dia senyum menanggapi. "Nggak akan saya publikasi, tenang aja. Dan nanti hasilnya saya kirim ke kamu." Haifa tak lantas menjawab, yang Erlang imbuhi, "Kamu terlalu indah buat sekadar dilihat mata, Haifa. Harus diabadikan di sini." Di kameranya. Dengan senyum paling genit yang Erlang punya. Haifa geleng-geleng kepala. Lagi. Erlang arahkan kamera ke sana, pada sosok Haifa yang hari itu rambutnya dikepang. Rok macam samping selutut, lalu kemeja khas pedesaan. Baju-baju yang Haifa pakai agak lusuh dan tertinggal sebetulnya, tetapi menjadi tampak mahal dan stylish ketika dia kenakan. Asli, sangat fotogenic. Ditambah nuansa desa yang asri, hijau, rumah-rumah model lawas, juga jalan aspal yang tidak begitu lebar. Erlang terpesona. "Saya jadi pengin ketemu orang tua kamu." Tiba-tiba. Haifa menoleh. "Buat?" Mereka sedang melangkah di sisi jalan menuju area wisata desa itu. Haifa yang ngajak, dia sekalian jalan-jalan juga di sini, di tempat pengasingannya. Ralat. Jalan ke tempat Erlang yang katanya ada motor di sana, lalu bisa digunakan untuk tancap gas ke area wisata. Haifa manut. "Minta restu." Dengan senyum paling mematikan, yang biasanya anak gadis orang langsung klepek-klepek, tetapi Haifa .... "Saya serius, lho." Erlang meyakinkannya. Tentu, canda semata. Seriusnya Airlangga memang bagaimana? Dan Haifa ... dia terkekeh di sana. Mengerling manis. "Nggak percaya?" "Memangnya orang baru kenal kemarin bisa langsung dipercaya?" Langsung diulti. Erlang terkekeh karenanya. "Tapi kenapa kamu mau jalan sama saya kalau nggak bisa dipercaya?" Diulti balik, Airlangga tidak mau kalah. "Yeah ... itulah kehebatan Mas Erlang. Aku juga nggak tau kenapa." Haifa senyum setelahnya. Sial. Ini seru. Erlang foto lagi sosok Haifa, yang kali ini tidak protes apalagi menolak, justru Haifa berpose. Sempurna. Sebelumnya Erlang memang pernah melihat dan dekat dengan banyak wanita cantik, tetapi kalau cantik dan paket lengkap semenarik ini, rasanya baru Haifa. Meski tak lantas membuatnya ingin menikah juga. But, tertarik untuk menggoda. "Mas, rumahnya masih jauh?" "Lumayan," sahut Erlang, "kenapa? Capek, ya?" "Rasanya nggak sampai-sampai." Tentu saja, Erlang tertawa. Sebab dia mengambil jalan memutar. Yang Erlang sendiri merasa sempat salah ambil arah. "Mau saya gendong ala bridal?" Astaga. Pandai betul menggombal. Haifa balas dengan, "Nggak, makasih. Simpan buat nanti di pelaminan aja." "Sama kamu, ya?" Haifa senyum. "Oh, ya, Mas di sini berapa lama?" Sudah saling berkenalan perihal satu sama lain, di mana katanya Airlangga ini orang kota, datang ke sini sebab proyek pekerjaannya, dan secara kebetulan mengambil tempat di desa yang ada saudaranya tinggal. "Belum tahu. Tapi saya, sih, maunya selama kamu di sini, saya di sini." Bisa saja beliau. Haifa geleng-geleng kepala lagi. Bicara-bicara, Haifa tidak sebut Airlangga dengan panggilan umum 'akang' khas desa itu, dia memilih sebut 'mas' saja, toh dirinya ini pendatang walau orang-orang desa membuatnya jadi seperti asli sana. Kalau ditanya kenapa nggak sebut 'akang', Haifa akan jawab: "Lebih suka sebut mas, biar jadi bagian minoritas." Dalam arti, mayoritas sebut 'akang', Haifa lebih memilih sebut panggilan lain yang tidak termasuk pada umumnya di sini. "Mas hati-hati, lho." "Hati-hati maksudnya?" Mereka bertatapan. "Hati-hati bablas godain aku, mana tahu nanti ada yang marah, terus di sini malah udah telanjur asyik. Kan, kasihan yang di sana." Paham? Erlang tertawa lagi. "Saya available, kok. Atau kamu ... official?" Single maksudnya. Tengah membahas tentang status, yang Haifa khawatirkan Erlang ini ternyata suami orang. Kan, banyak laki-laki yang begitu. "Oh, ya?" Haifa senyum lagi. "Berarti kita sama." "Secantik kamu belum ada yang punya?" tukas Erlang, khas obrolan buaya. "Gimana kalau sama saya, mau? Kita jalani aja dulu." *** Nol delapan satu tiga ... seterusnya. Erlang pandangi angka cantik itu di ponsel. Malam di mana dia pulang ke kediaman cucu Pakde Banyu, selepas jalan-jalan petang dengan Haifa di hari kedua belas sehingga lengkap sudah nomor ponsel itu dia dapatkan. Tahu, tidak? Hadirnya Erlang di sana yang tampak dekat dengan Haifa, seketika jadi trending topic. Erlang pun mulai akrab dengan suasana dan masyarakat di sana. Dia yang memang ramah dan jenaka jadi gampang bersosialisasi, orang-orang tampak menyukainya, juga dengan kedekatannya bersama Haifa. Meski mulai menghindari waktu malam untuk berdua-duaan. Bagaimanapun ini di desa. Petang hari Erlang sudah pulang selepas dia antarkan Haifa ke tempatnya tinggal. Mama. Seketika nama kontak itu muncul di layar. Yang Erlang angkat panggilannya. Benar, ada telepon masuk dari beliau. "Iya, Ma?" "Pulang, nggak! Pulang!" Nada memerintah. Erlang ambil sikap duduk dari yang semula rebahan. "Kok, pulang? Kan, Erlang bilang di sini mau sampe tiga atau empat mingguan. Atau di sana Galen kenapa-napa?" Putranya. Sudah usia empat tahunan sekarang. Tentu, sebelum pergi ke sini, Erlang sudah izin kepada Galen. Mama dan papa juga mempersilakan, toh demi perusahaan yang Erlang rasa terlalu stagnan, tak ada perkembangan. "Kalo gitu, jangan ganjen, bisa? Kamu, tuh, ya ... udah Mama jodohin, inget!" Erlang diam sejenak. "Ganjen gimana?" "Itu kata Pakde Banyu, kapan hari kamu bawa-bawa cewek ke sana. Sering ngapel pula. Kamu pikir Mama nggak tau? Pulang, ah, kalau tingkahnya begitu!" Astagfirullah. Soal Haifa, toh? "Pakde Banyu salah paham itu, Mama juga. Lagian ganjennya Erlang bukan yang gimana, kok. Ini trik aja supaya dia mau jadi model agensi kita. Aset, lho, Ma. Erlang nemu barang bagus," katanya. "Nggak, nggak. Mama nggak percaya." "Ma ... Mama kayak yang nggak tau Erlang aja. Selama ini emang pernah Erlang ganjen sama cewek terus berakhir serius? Nggak, kan?" "Iya, nggak. Tapi kamu pernah tiba-tiba pulang bawa bayi!" Terdengar amat geram di sana. Erlang berdeham. "Nggak ada induknya lagi," keluh sang mama. Erlang garuk-garuk pipi, tidak gatal. "Untung calon besan Mama mau nerima calon mantu kayak kamu. Ya Allah! Dosa apa Mama, Lang, sampe hidup kamu kayak gini?" Erlang tidak tahu. But, c'mon! Erlang bahagia, kok, dengan hidupnya. Harta, punya. Cewek cantik, tinggal tunjuk. Terus sekarang ... anak juga punya. "Udah, ya, Ma? Tenang aja. Erlang nggak akan mengacau soal perjodohan kali ini, kalau itu yang Mama takutin." "Awas, lho, ya." "Hm." "Jangan macem-macem!" "Iya ... tenang. Erlang cuma main-main kayak biasa, kok. Nanti kalo udah diketemuin sama perempuan perjodohan itu, Erlang janji bakal fokus di dia aja. Nah, sekarang ... sekalian buat bujuk calon model baru kita, fokus Erlang di cewek ini dulu." "Sinting kamu, Erlang--" Yang dia matikan sambungan nirkabel itu. Meringis kemudian. Pasti di sana Mama Wendi senewen karenanya. Ah, padahal tadi mau minta lanjut video call dengan Galen, tetapi topiknya kurang bagus. Ini gara-gara Pakde Banyu. Hendak Erlang datangi, tetapi urung saat mau buka pintu kamar, ada sebuah getar notifikasi yang sempat Erlang tengok siapa sang pengirim pesan itu. Haifa Gayatri. [Mas Fotografer, boleh tolong fotokan langit malam ini? Hasilnya pasti lebih bagus dari ekspektasi aku sendiri. Tolong, ya.] Dengan emotikon senyum dan di otak Erlang seketika terbayang senyuman aslinya. Gegas dia balas. [Kalau kamu yang minta, jangankan foto langit, ambilkan bulan saja kayaknya saya jabani, Fa. Haha!] Haifa: Geli, lho, aku. Haifa: Baca pesan mas-mas jomlo satu ini. Haifa: Eh, ditunggu, ya, foto langitnya. Erlang: Mau berapa biji? Haifa: Sebanyak jumlah bintang di langit Cibodas, bisa? Erlang: Yang nggak bisa itu sebanyak harapan saya ke kamu, Haifa. Haifa: Haha. Haifa: Satu aja, Mas. Disadari atau tidak, dari tadi Erlang senyum-senyum sendiri menatap ponsel. Erlang: Oke. Tunggu, ya. Dia mengambil posisi, bahkan sampai keluar rumah, berdiri di pekarangan dengan spot paling oke. Tanpa menghiraukan sosok Pakde Banyu dan penghuni kediaman itu, yang mana terheran-heran menyaksikan tingkah Airlangga. Tertanda, sejak satu minggu lalu. *** "Serius Mas Erlang tiga puluh empat tahun?" Jadi sering ke sana kemari bersama. Erlang senyum sebelah bibir. "Iya. Kenapa? Tua, ya?" "Eh, nggak kelihatan, lho. Aku kira masih dua puluh sembilan." "Fiktif banget itu, sih." Usianya. "Beneran, Mas. Wah ... awet muda berarti." Haifa takjub sendiri. Tapi kenapa belum menikah, ya? Asli tidak, nih, masih available? Jangan-jangan .... "Kamu, berapa?" Umurnya. Haifa auto memandang lurus ke depan, pada aliran air sungai. Betul! Duduk di batu, dengan kaki masuk ke air, yang tadi sudah difoto-foto oleh Mas Erlang. By the way, di sini jernih sekali. Bicara soal usia, kalau Mas Erlangnya saja 34, Haifa rasa ... "Dua puluh delapan, Mas." Senyum di sana. Memandang kembali pada Airlangga. "Yang bener?" "Iya. Kelihatan muda, ya?" "Nggak. Kamu kayak tiga puluh dua." Wah, sial. "Enak aja!" Ngambek, nih. Erlang sontak tertawa. Raut Haifa yang semula semringah berubah masam perkara disebut 32 umurnya. "Bercanda," kata Erlang. Haifa mencibir saja. Yang lalu Erlang jepretkan lagi kameranya ke arah Haifa, mengambil foto dari sudut paling baik menurutnya, wajah cemberut itu. "Mas, ih!" Mode sebal. "Jangan foto!" Padahal tadi boleh-boleh saja. Oke, oke. Erlang kembali duduk di tempat semula, lalu memandang Haifa dengan saksama. "Kamu kayak awal dua puluhan," katanya. Memang! Dua puluh empat, sih, lebih tepatnya. But, Haifa diam. Tak lama. Dia bicara lagi. "Aku boleh tanya? Agak sensitif pertanyaannya kali ini." Dan mereka berpandangan. Tatapan Erlang seteduh suasana di sungai itu, sejernih air, dan setenang suara alirannya. "Anything, please ask." Dengan suara super lembut, damage-nya kayak suara-suara ngajak nikah. Tahu guyon dari kalimat gaul ini, kan? Sejenis: SUARANYA NGAJAK NIKAH, ANJIR! Atau sejenis: NJIR, SUARANYA GANTENG. Demikian, Haifa tanyakan, "Di umur segini, kenapa Mas Erlang masih available? I mean, kenapa belum menikah? Mm ... bukannya gimana, maaf sebelumnya, tapi dari look seorang Mas Erlang, mustahil banget belum punya pasangan, kecuali ...." Tak dia lanjutkan. "Gay?" "Aku nggak bilang," tukas Haifa. Namun, benar, itu maksudnya. Ah, ucapannya tadi keterlaluan, ya? "Nggak usah dijawab, deh, Mas. Lagian aku nggak sopan banget nanya itu. Maaf, ya." Barangkali tersinggung. Eh, Mas Erlang malah tertawa. "Santai aja, Fa," ucapnya. Erlang hentikan tawa itu. "Soal apa yang kamu bahas, of course saya sukanya perempuan dan nggak doyan laki-laki. Dan tentang apa yang kamu tanya, saya rasa karena emang belum nemu yang klik aja." Erlang tidak yakin, sih. Itu hanya alasan dari sekian banyak yang dia punya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sebab alasan sebenarnya kenapa dia belum--atau tidak--menikah, Erlang keep sendiri. "Gitu, ya." "Kamu sendiri, kenapa? Buat cewek dengan look seperti kamu ini, usia dua puluh delapan, kenapa belum menikah? Minimal punya pacarlah, ya." Haifa mengulum bibirnya. Tentu saja, dia jawab dengan, "Karena belum nemu yang cocok." "Termasuk buat dijadiin pacar?" Haifa mengangguk. "Kan, sekalinya nemu yang aku rasa 'oke', dianya cuma ngajak jalani dulu aja." Well .... Erlang terkekeh. Haifa lalu berdiri. "Kamu nggak lagi nyindir saya, kan? Ah, tapi masa bisa langsung se-oke itu? Kan, baru kenal?" Memang. "Aku bicara asal aja, kok." Dengan kerlingan matanya. "Pindah, yuk?" Yang lalu melenggang dari sana. Tentu, Erlang juga. Memandang punggung Haifa. Waktu demi waktu. Tinggal di desa itu Erlang rasa seru juga. Yang pasti karena ada Haifa. Hiburannya. Sementara itu, Haifa rasa tidak buruk juga hukuman yang papa berikan. Apabila ternyata di sini dia bertemu sosok seperti Airlangga. Yang bisa dia goda, dengan tampang seenak dipandang itu Haifa suka walau sekadar main-main saja. Percaya tidak percaya atas status Mas Erlang, tetapi di sini ... nikmati saja. Toh, bukti masnya single lebih kuat daripada dugaan lain di kepalanya. Dan lagi, Haifa telah dijodohkan. Sialnya, dengan duda anak satu. Membuat Haifa semakin ingin lari ke kehidupan Airlangga saja, barangkali dengan ini perjodohannya bisa batal. Namun, bagaimana caranya? Haifa tidak diberi tahu siapa laki-laki yang orang tuanya jodohkan, jadi dia tidak bisa memprovokasi dengan adanya sosok Airlangga di desa ini bersamanya. Tidak bisa men-spill juga ke mama atau papa sebab itu pasti percuma, buktinya sudah seminggu lebih dia dekat dengan Mas Erlang di sini, orang-orang papa tidak terusik. Yang Haifa yakin di sini dia diawasi, entah oleh siapa dan ada di mana pengawasnya. Seolah ... ya sudah, biarkan saja. Selama kehidupan Haifa yang tengah menjalani hukuman, terkesan dibebaskan. Sempat terlintas untuk dia memublikasi diri di media sosialnya sebagai Haifa Gayatri Samarawijaya, tentu bersama Airlangga, tetapi itu terlalu berisiko. Takutnya benar Mas Erlang punya istri atau siapalah gitu. Jadi, begini dulu saja. Nikmati. Sampai menjadi semakin dekat. Dekat. Dan ... apa boleh begini? Rapat. Antara bibir dan bibir bersinggungan. Haifa terdiam. Erlang saja yang gerak, menekan tengkuk Haifa, lalu ... bisakah dijelaskan bagaimana awal mulanya? Haifa mematung saking nge-blank-nya dia di sana. Di sebuah tempat yang tak ada seorang pun selain mereka. Petang itu. Sedang mencari sunset ceritanya. Namun, sunset ketemu, sama halnya dengan bibir Haifa dan bibir Airlangga. Bertemu. Bersatu padu. Pada hari terakhir Erlang di desa itu, katanya, seiring waktu yang cepat sekali berlalu. Yang Erlang tatap sesudahnya. Menangkup satu sisi wajah Haifa, untuk kemudian dia usap bagian bawah bibir cantik itu dengan ibu jarinya. Percayalah, he is good kisser. Dan Haifa semakin yakin, Mas Erlang pemain. Selain sukses menciptakan momen, juga sukses membuatnya nyaman di saat mereka bahkan terbilang baru kenalan. "Kenang-kenangan," katanya. Mas Erlang yang bilang. Memandang telaga jernih mata Haifa. "Di bibir?" Agak membisik, Haifa pun memandang sorot tenang mata pria di depannya. "Boleh di leher?" Sial. "Aku dijodohin." Mengalir begitu saja dari lisan Haifa, membuat Erlang terdiam dari yang semula mengusap-usap bibir Haifa. Dan lalu, hari itu, karena katanya ini akan jadi hari terakhir, Haifa berkata setelah dia melepaskan sentuhan jemari Erlang dari wajahnya. "Sama duda anak satu." Yeah .... Kembali memandang langit senja pada dataran yang cukup tinggi itu. Semenjak ada Mas Erlang, Haifa jadi tidak hanya berdiam di sekitaran rumah tinggalnya, tetapi suka diajak ke tempat-tempat baru desa itu, bahkan ke luar-luar. Persis, macam orang pacaran. Bedanya, ini tanpa status. But, mesra betulan. Haifa nyaman pula. "Ternyata kita sama, ya, Haifa?" Erlang berkata, "Saya juga sudah dijodohkan." Terus menatap Haifa. Yang kini tampak menegang raut cantik itu, dengan kembali memandang Airlangga. Berkecamuk. Lantas, apa? Mereka terdiam. Sama-sama memandang matahari yang mulai tenggelam. Entah berapa lama, tetapi pindah tempat adalah pilihan paling tepat sebelum benar-benar gelap. Mereka kemudian melangkah bersisian menuju motor yang Erlang parkirkan, itu milik anaknya Pakde Banyu. Di sana. Haifa lalu dibonceng untuk pulang. Cukup jauh dari area pedesaan. Karena ini katanya hari terakhir Erlang, kan? Tak terasa sudah satu bulan di sini, menjadi teman dekat Haifa hingga dia tidak benar-benar merasa tersiksa di tempat yang jadi lokasi hukumannya. "Haifa." Disebutnya nama itu. Malam-malam. Telah tiba di pekarangan rumah tinggal Haifa. "Makasih, ya." Haifa senyum. "Jam berapa Mas Erlang berangkat?" "Pagi sekitar jam delapanan, mungkin." "Ya udah, hati-hati. Makasih juga buat satu bulan ini." Hari perpisahan. Yang sempat terlintas dalam benak Erlang, apa dia batalkan saja perjodohan itu untuk kemudian pulang membawa Haifa? Atau, pulang dulu, batalkan perjodohan secara baik-baik toh belum diketemukan juga dengan calon jodohnya, lalu untuk mama ... dia berikan penawar berupa Haifa, calon istrinya? Ah, andai Haifa tidak sedang dijodohkan. Apa boleh buat, kan? Berpisah sekarang. Yang sosoknya sudah tidak terlihat lagi dari kaca spion, pun Haifa tak lagi melihat Airlangga, motornya sudah berbelok. Di waktu yang sama saat kakinya hendak melangkah masuk rumah Bu Minah--rumah yang Haifa tinggali, ponselnya itu berdering. Papa. Terpampang jelas nama kontak beliau di layar, membuat Haifa urung masuk, dia memilih tetap di luar barang sebentar untuk mengangkat telepon dari papanya. "Iya, Pa?" Detik itu. "Bereskan barang kamu, besok pagi Papa jemput. Sudah dengar dari apa yang mama kamu bilang, kan?" "Soal?" Berdebar-debar. "Perjodohan." Sesuai yang melintas di benak Haifa. Oh, itu .... Kata papa, "Besok kalian diketemukan. Jadi, bereskan barang-barangnya. Dan jangan berpikir untuk bisa kabur, sekarang pun Papa bisa lihat kamu sedang apa." Well. Dimatikan. Sambungan nirkabel itu. Yang lalu, Haifa menoleh kiri dan kanannya, depan dan belakang. Benar-benar, dia memang selalu diawasi, kan? Lantas, apa ini karena papa juga telah melihat kejadian di mana bibirnya dan bibir Airlangga berjumpa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD