CSD 13. Pertarungan 3 Jenis Makhluk°

1810 Words
HARI yang tadinya cerah, dengan cepat berganti mendung, lalu di langit bergemuruh suara guntur. Hutan diguyur hujan gerimis lagi. Hujan tidak lagi membuat Chandni takut. Ia yakin itu pertanda jin udara telah menyambut kehadirannya. Chandni berjalan di bawah derai air sambil menggenggam erat busurnya. Dadanya terasa sesak oleh sesenggukan tangisnya yang tersapu air hujan. Ia sangat kesal pada Rajputana. Makhluk astral penghuni hutan semakin berani menunjukkan keberadaan mereka, ingin mengganggunya. Beberapa makhluk menyerupai hewan sangar melesat hendak menubruknya, tetapi Chandni bisa mengatasinya karena sekarang ia sudah jauh lebih kuat dan mahir menembakkan cakra. Bukan hanya melalui senjata tajam atau tangan, Chandni memahami suaranya pun bisa untuk menyalurkan energi positif. Sekaligus mengusir rasa risaunya, Chandni mengenang Imdad sambil bersenandung lagu kecintaannya. "Nainowale Ne ... o ... oo."(*) Pemilik mata yang memikat hati. "Nainowale Ne .... Chheda Mann Ka Pyala." Pemilik mata yang memikat hati, menyebabkan gelas di hatiku bergetar. "Chhalkaayi Madhushala." Engkaulah penyebab wadah cairan maduku tumpah. "Mera Chain Rain Nain Apne Saath Le Gaya." Kau mengambil alih kedamaian dan tidur malamku. Cakra suara itu tersebar ke udara sekitar, bergaung ke segala penjuru, merambat menuju ke langit. Chandni melangkah dan sesekali memutar tubuh memandangi sekelilingnya lalu menatap lembut ke arah langit, tersenyum sambil menyanyi, terbayang di sana ada wajah kekasihnya, tersenyum padanya. Langit mendung pun berubah cerah, hujan pun mereda. "Pag Pag Dolun Re... Ho..." Aku menari di setiap langkahku ... "Pag Pag Dolun Re Dagmag Si Main Chalti." Aku menari di setiap langkahku, aku tersandung di jalanku. "Hoon Jagmag Lau Si Jalti." Aku terbakar seperti nyala api. "Tere Naino Ki Kaisi Madira." Minuman memabukkan apa yang dimiliki matamu. "Tharr Tharr Kaanpu Re." Aku gemetaran oleh tatapanmu. "Tere Teer Se Jhipti." Aku terpanah oleh tatapanmu. "Chandan Ke Naag Si Lipti." Aku padamu bagai ular melilit pada batang cendana. "Main Behosh Tu Nasha." Aku tidak sadarkan diri dan kau canduku. "Aisi Moh Ki Dasha." Aku tersesat dalam aliran hasrat. "Mera Chain Rain Nain Apne Saath Le Gaya." Kau mengambil alih kedamaian dan tidur malamku. Bersamaan embusan angin, suara itu mencapai telinga Erion, raja jin udara. Sosok pria beraura agung, berwajah rupawan dengan mata bernetra sebiru langit, rambut seputih bias perak. Berjubah panjang yang menjadi seragam warga jin udara, dilengkapi tameng perak di bahu, d**a, serta sabuk pinggang. Erion melayang di gumpalan awan, ia menunduk menatap ke bawah sana, di mana terpancar energi berbentuk kupu- kupu bercahaya keperakan yang selalu dirindukannya. Sang gadis rembulan. "Yang Mulia ...," tegur Avram, ajudan Erion. Namun Erion tidak menggubris pria itu. Ajudannya, memiliki penampilan yang serupa, berwajah rupawan, muda abadi, berambut perak panjang dan berpakaian jubah panjang. Bedanya, Erion sebagai raja mengenakan mahkota berbentuk kawat penuh duri bertatah berlian. Semua anak buahnya mengenakan cuping telinga perak berbentuk runcing yang merupakan alat komunikasi jarak jauh mereka. Avram khawatir Erion akan turun ke daratan lagi dan terluka seperti sebelumnya akibat mengejar gadis rembulan itu. "Yang Mulia, saya mo—" "Sssh!" Erion menyuruh Avram diam karena ocehan pria itu merusak suasana hatinya. Erion terpaku menghayati suara nyanyian Chandni. Matanya terpejam dan menghirup dalam udara sekitar. Cahaya keperakan di tubuhnya menyala. Ia menyerap energi cakra Chandni. Ia mengembus napas lega, memutar tubuh menghadap Avram, lalu berujar bersemangat. "Bukankah akan sangat luar biasa jika kita bisa menguasai gadis itu? Istana langit ini akan dipenuhi kupu- kupu cantik yang memberikan kesembuhan, keremajaan, dan kebahagiaan pada seluruh rakyatku." "Tetapi dia ditakdirkan hidup di daratan, Yang Mulia." "Omong kosong!" gerutu Erion, ia melengos melewati Avram. Jubahnya berkibar keras mengikuti hawa amarahnya. "Orang- orang di sana justru tidak bisa menghargainya dan malah ingin membunuhnya. Dengan kepemimpinan tunggalku, aku akan menjadikan Chandni ratuku. Tidak ada tempat sedamai dan setenang negeri di awan. Dia akan aman terlindungi." Ia menoleh lagi pada Avram. "Karena itu Chandni harus tinggal di sini. Dengan kekuatanku aku bisa mengubah jiwanya menjadi salah satu orang kita." Avram menunduk dalam dan bertumpu satu lutut memohon dengan hormat pada rajanya. "Tetapi dia dilindungi titisan raja matahari, Yang Mulia. Kita tidak bisa menghancurkannya." Erion tertawa ketus. Ia mendelik Avram. "Bukan kita yang akan menghancurkan pria itu, Avram, tetapi orang- orangnya sendiri yang akan melakukannya. Mereka serakah dan tidak tahu diri. Mereka mendatangkan bencana untuk diri mereka sendiri, akan tetapi mereka selalu menyalahkan yang di atas. Apalah kita? Kita jauh lebih hebat. Kehidupan kita jauh lebih sejahtera. Mereka iri. Malang sekali!" Erion membenahi lengan bajunya, lalu menengadahkan tangan ke udara dan memunculkan cahaya terang dari tangannya. Ia mengumpulkan kekuatannya. Bola matanya bergemintang, berujar penuh ambisi. "Pria itu sedang terluka dan ia tidak bisa berbuat apa- apa. Aku akan turun untuk menjemput gadis rembulanku." Erion mengepalkan tangannya. Cahaya di tangannya menghilang. Ia melesat turun dari awan menuju ke tempat Chandni berada. "Yang Mulia!" Avram berseru cemas lalu bergegas menyusul rajanya. Di bagian cakrawala yang lain, juga ada makhluk lain yang malang melintang di angkasa. Pemuda yang memiliki wajah ketampanan luar biasa, bersayap putih kokoh yang membawa tubuh kekarnya melayang ke mana saja. Pemuda itu adalah Devdas. Malaikat maut yang harus menjalani serentetan peristiwa tidak menyenangkan dalam kesehariannya. Semenjak bola cahaya Imdad pecah dan jiwa itu masuk ke dalam tubuhnya, Devdas selalu merasa gelisah. Banyak pertanyaan muncul dalam benaknya, yang sebelumnya tidak pernah ada. Banyak hal baru diperlihatkan Zourdan padanya dan ia tidak bisa berhenti memikirkan ada hubungan apa itu semua dengan dirinya. Apakah dirinya atau jiwa manusia yang merasukinya? Ketika sayup- sayup terdengar suara merdu nyanyian seorang perempuan, Devdas tersentak. Ia merasakan kedamaian dan kerinduan yang tak tertahankan. Matanya nanar, berkeliaran mencari sosok pemilik suara itu. Di mana dia? Siapa dia? Kenapa tubuhnya bereaksi terhadap suara itu? Devdas tidak tahu harus ke mana, akan tetapi getaran hatinya menuntunnya melayang menuju hutan rimba di bawah sana. Semakin mendekat, suara itu semakin jelas, bagai bersenandung di tepi telinganya. Tubuhnya merasakan sentuhan- sentuhan lembut yang tidak pernah dialaminya. Ia terombang- ambing oleh rasa yang tidak dipahaminya, yaitu mabuk kepayang. Apakah aku orang yang dicari gadis itu? Apakah mataku yang ditatapnya? Tetapi ia belum pernah bertatapan dengan seorang manusia, kecuali yang diambil nyawanya. Bagaimana mungkin mereka pernah saling pandang? Ia tidak tahu. Banyak hal yang ternyata tidak diketahuinya. Devdas perlahan terbang semakin ke bawah. Erion dan Avram tiba di hutan, berpijak di dahan pohon, memandang mengamati Chandni dari kejauhan. Gadis itu keasyikan bersenandung sambil menari, menyepak permukaan air sungai yang disusurinya. Matahari menyirami gadis itu dengan sinarnya, menambah pesona aura kecantikannya. Suaranya menghipnotis, gemulai gerakan tubuhnya begitu menggoda. Perlahan- lahan, tanpa waswas, kedua jin udara itu semakin mendekat. "Nainowale Ne ... o ... oo." Pemilik mata yang memikat hati. "Nainowale Ne .... Chheda Mann Ka Pyala." Pemilik mata yang memikat hati, menyebabkan gelas di hatiku bergetar. "Chhalkaayi Madhushala." Engkaulah penyebab wadah cairan maduku tumpah. "Mera Chain Rain Nain Apne Saath Le Gaya." Kau mengambil alih kedamaian dan tidur malamku. Chandni tidak berhenti menari dan menyanyi walau pun musuh semakin mendekat. Ia menyadari kehadiran mereka sejak awal dan bersikap seolah- olah sedang dimabuk cinta, demi memancing para jin udara mendekat. Ada 2 orang dan Chandni tidak bisa membaca sebesar apa kekuatan mereka. Yang dirasakannya cakranya tertarik ke arah salah satu dari mereka. Jika ia tidak mempertahankan akal sehatnya, sosok itu yang akan mengambil alih kesadarannya. Sambil bergerak mengayun tangannya, Chandni berputar, memasang anak panah secepat kilat dan mempelesatkannya ke arah 2 jin udara itu. Erion dan Avram terkesiap mendapat serangan mendadak. Keduanya berhasil mengelak, tetapi anak panah Chandni sempat menggores lengan Avram. Avram memegangi lengan atas sebelah kiri dan terbelalak melihat luka goresnya mengeluarkan darah. Erion dan Avram bertatapan dengan Chandni yang bersiaga dengan panahnya. "Kurang ajar!" desis Avram seraya menghunuskan tatapan tajam pada Chandni. Ia mengusap luka itu dan menyembuhkan diri. Avram lalu bersiap menyerang balik gadis itu. "Tahan dirimu, Avram!" seru Erion. Erion merentangkan tangan menghalangi Avram. Ia tersenyum pada Chandni. "Sesuai dugaanku, kau memang gadis yang luar biasa pandai, Sang Rembulan. Aku tidak menyangka kau nyaris mengelabui kami." "Mana Tuan Imdad?" gertak Chandni. Erion mencibirnya seraya mengangkat bahu. "Mana aku tahu? Aku tidak peduli dengan jiwa manusia biasa. Yang kuinginkan hanya dirimu." Erion mengulurkan benang pengikat cakra untuk melilit Chandni, tetapi gadis itu mengelak sambil menembakkan anak panah. "Yang Mulia Erion!" teriak Avram karena melihat Erion tidak beranjak. Pyasshh! Dengan santai Erion mengibaskan tangan menepis anak panah itu. Senjata Chandni hancur tanpa ia perlu menyentuhnya. "Sialan!" desis Chandni. Ia tidak tahu senjata apa lagi dan jenis serangan bagaimana yang bisa mengatasi energi Erion. Chandni berlari mengitari tempat itu, mencari sudut yang pas menarget titik kelemahan Erion. Erion dan Avram merentangkan kedua tangan mereka, menyalurkan jala cakra bercahaya keperakan untuk memerangkap Chandni. Gerakan Chandni kalah cepat dibanding serangan Erion. Tubuh Chandni terjerat jala. "Kyaah!" Gadis itu terpekik lemah, lalu kehilangan kesadaran. Jala itu melumpuhkan seluruh nadi- nadinya. Tubuh Chandni melayang di udara, berarak ke arah Erion. "Huahahaha ...." Tawa Erion menggaungkan kemenangan. Gadis rembulannya sekarang berada dalam kuasanya. Devdas yang melihat kejadian itu dari atas merasakan ada hal yang tidak mengenakkan hatinya. Ia bergegas mendekat. Ia mengetahui jenis apa dua pria itu, tetapi tidak pernah berurusan langsung. Devdas menghampiri Erion. "Apa yang kalian berdua lakukan?" tanyanya. Raut wajah Erion dan Avram berubah masam. Mereka mengenali makhluk jenis apa pemuda bersayap itu, tetapi mengetahui bahwa jenis Devdas hanya menjalankan tugas pokok. "Bukan urusanmu!" ketus Erion. Kening Devdas mengernyit, matanya memicing pada tubuh gadis yang ditangkap Erion. Ia tidak menyukai perbuatan mereka. "Kalian mengambil jiwa gadis itu!" tuding Devdas. Devdas mengepakkan sayapnya. Embusan keras mendorong Erion dan Avram hingga terlempar beberapa meter. Jala cakra terlepas. Tubuh Chandni jatuh dari ketinggian, akan tetapi sebelum terempas ke tanah, Rajputana muncul, berlari secepatnya dan menyambut tubuh Chandni. Chandni dan Rajputana terkapar di tanah, sama- sama tidak sadarkan diri. "Sialan!" geram Erion. Ia berdiri tegap, melayang di udara, begitu juga Avram. Erion meneriaki Devdas. "Kenapa kau mencampuri urusan kami?" "Kalian menyakitinya!" Devdas balas berteriak. Dalam tubuhnya terasa sangat perih melihat dua orang itu tersakiti. Erion meringis tidak senang. Devdas lebih kuat darinya dan bagaimana pun ia tidak bisa menyerang malaikat. Erion meluapkan kekesalannya dengan menyerang Rajputana. Hadirnya Rajputana, titisan sang Matahari hanya akan menghambat tujuannya. Mengabaikan Devdas, Erion dan Avram melancarkan serangan untuk menyingkirkan Rajputana. Bola cahaya ditembakkan ke arah Rajputana. Devdas muncul di tengah- tengah, menghalau bola cahaya itu dengan kibasan tangannya. Erion dan Avram tersentak. Malaikat itu berujar lantang. "Mengambil nyawa mereka adalah tugas malaikat, bukan kalian. Kalian menyakiti mereka. Apa salah mereka? Pergi dari sini!" Erion tidak beranjak dari tempatnya. Ia mendengkus keras, mengepalkan tangan mengumpulkan kekuatan untuk menghantam Devdas. Malaikat itu melesat ke arahnya. "Yang Mulia!" Avram tidak ingin mengambil risiko rajanya terluka lagi. Ia melesat menarik Erion menjauh, kembali ke angkasa. Devdas melesat mengikuti mereka. Di daratan, Rajputana mulai sadar, meskipun sangat lemah. Lukanya bertambah parah karena gerakan menangkap tubuh Chandni. Darah merembes banyak dari balik bebat lukanya. Ia mengangkat kepala dan lega mendapati Chandni masih bernapas. Dengan sisa- sisa tenaganya, Rajputana merangkak mendekati Chandni dan mendekapnya dengan sebelah tangan. "Chandni ...." lirihnya, lalu membenamkan ciuman ke bibir Chandni untuk menyalurkan cakranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD