Petir bergemuruh laksana langit runtuh. Malam gelap bertambah suram dengan turunnya hujan dan sesekali guruh menjalar di atas sana. Chandni merasa aman berlindung dalam gua bersama si rusa, berbeda dengan Rajputana yang tersesat dalam belantara hutan. Lampu minyaknya mati. Kudanya meringkik gelisah dan susah diajak melangkah. Rajputana meraba- raba dalam gelap. Ia turun dari kuda dan mengusap-usap punggung kuda itu untuk menenangkannya. Selain kegelapan gulita, makhluk astral penghuni hutan menyebarkan hawa yang mengganggu pendatang agar mereka meninggalkan hutan. Rajputana mempertaruhkan semua pada nasib baiknya.
Kilatan dari langit sesekali menerangi jalan, sedikit menggiatkan Rajputana untuk tetap melangkah mencari Chandni sambil memanggil namanya. Meski tidak pernah ada sahutan dan tanda- tanda keberadaan Chandni. Tanpa bintang, tanpa penerangan, Rajputana buta arah dan tersesat. Sepanjang malam ia berjalan, basah kuyup, menggigil kedinginan, hingga giginya bergemeletuk.
Subuh menjelang, tersisa hujan gerimis. Rajputana kelelahan, duduk tersandar di batang pohon, menarik napas berusaha menabahkan hatinya.
Chandni ke mulut gua untuk menengok suasana di luar. Rusa betina ikut di sisinya turut menengok. Chandni melirik si rusa dan berpikir akan sangat jahat jika ia menyembelih hewan yang mendampinginya itu. Ia harus mencari sesuatu untuk dimakan, tetapi suasana pagi yang sesuram malam, derai hujan meski tidak seberapa, membuatnya berat hati melangkah keluar. Chandni manyun sendiri, terbayang Tuan Imdad akan memarahinya jika menjadi malas hanya karena hujan sedikit. Chandni merasa ia harus mengatasi rasa gelisahnya dikala hujan turun. Bagaimana ia bisa menghadapi jin sakti jika dengan hujan saja ia takut?
Chandni masuk ke dalam gua lagi, mengambil busur dan anak panahnya, lalu keluar gua, menerobos hujan sampai ke sebuah pohon dan memetik setangkai daun yang besar untuk menjadi payung lalu lanjut menjelajahi sekitarnya.
Semakin tinggi matahari, hujan semakin reda dan suhu menghangat. Chandni bersembunyi di rimbun dedaunan mengincar seekor ayam hutan. Sekali memanah, ia berhasil mengenai ayam berbulu hitam itu. Ia mendatangi hasil buruannya, mencabut anak panahnya untuk digunakan lagi, lalu mengikat kaki ayam dan menggantungnya di sebatang kayu.
Saat mengerjakan itu, sesosok makhluk bercahaya putih melesat di belakang Chandni. Secara naluriah, Chandni langsung waspada. Ia bergegas mengemas ayamnya, mengangkutnya beserta busur, lalu mengejar makhluk itu.
Wujud makhluk astral itu serupa burung cenderawasih, badannya bercahaya putih, berekor panjang dan indah yang berbias cahaya warna pelangi. Pancaran energi makhluk itu sangat berbeda dari makhluk lain yang banyak beredar di sekitarnya. Chandni yakin burung itu semacam hewan pengintai yang dikirim makhluk lain.
Burung itu terbang rendah, berkelit di antara pepohonan. Chandni berlari dan melompati rintangan, sekali memanah burung itu dengan anak panah yang dialirinya cakra, tetapi meleset. Dengan sigap, ia mencabut panah yang menancap lalu lanjut mengejar. Chandni curiga makhluk itu memancingnya semakin jauh memasuki hutan dan menemui makhluk lain yang lebih ganas. Namun ia tidak takut. Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Ia tidak akan undur diri hanya karena tidak tahu apa yang akan dihadapinya.
Ketika burung itu berada lurus sejajar mata panahnya, Chandni mempelesatkan senjata berenergi cakra tersebut. Ia sangat yakin bidikannya tepat sasaran. Namun sepersekian detik burung itu meletus, bagai percikan kembang api, dan menghilang begitu saja. Sementara anak panahnya menerobos dedaunan lalu menancap pada sesuatu di sana.
Chandni terkesiap, larinya terhenti. Ia merasakan energi yang dikenalnya berada di dekat situ. Terlihat pancaran cahaya keemasan dari balik rimbun dedaunan. Mata Chandni membulat. Ia mengetahui seseorang yang memiliki aura keemasan itu. Mungkinkah ia telah memanah Maharana Rajputana Udai Singh?
Pria itu muncul, menyibak dedaunan. Berjalan sempoyongan dengan panah menancap di bawah tulang selangkanya. Darah merembes di tempat mata panah berada. Wajahnya memucat. Sorot mata Rajputana nanar menatap kekasihnya, tersenyum lemah sambil menyebut namanya bagai embusan napas terakhirnya. "Chandni ...."
Kening Chandni mengernyit dalam. Merutuk dalam hati, kenapa Rajputana mesti datang ke hutan? Apa untuk mengajaknya pulang? Agar ia berhenti mencari Imdad dan hidup tenang bersamanya? Bukankah karena kegagalan Rajputana suaminya mati sia- sia di tangan Sohail? Rajputana seharusnya menghabisi Sohail sejak awal. Persetan dengan aliansi! Persetan dengan belas kasih!
Muka Chandni meringis, mendatangi Rajputana lalu mencabut panahnya tanpa mengindahkan erangan kesakitan Rajputana. Pria itu jatuh berlutut di kakinya, menutup mata dan roboh ke samping, tak sadarkan diri. Chandni berdiri menatap tajam diikuti ringisan getir. Air matanya menetes. Hatinya perih terasa di sayat- sayat. Kepada pria ini ia telah mengkhianati Tuan Imdad. Kenapa ia harus menikahi Rajputana? Kenapa kehidupan cintanya harus terbelit seperti ini?
Suara burung- burung mengepak terbang menjauh menyadarkan Chandni. Ia menghapus air matanya lalu menatap sekelilingnya. Terlihat beberapa berkas cahaya siluman burung tadi terbang ke arah langit. Chandni menajamkan penglihatannya, lalu tersentak menyadari makhluk- makhluk itu sengaja menjebaknya agar melukai Maharana Rajputana. Mungkinkah karena cakra Maharana terlalu kuat bagi mereka?
Chandni bergegas berlutut memeriksa Rajputana. Melihat kondisi Rajputana yang merangas, jelas pria itu sudah tidak sehat sebelum kena panah. Chandni menghentikan pendarahan lukanya dengan memberi tekanan di sekitar luka serta mengalirkan cakranya untuk menstabilkan kondisi Rajputana. Chandni mengamati sekelilingnya yang semakin banyak diintai makhluk astral lain, terlebih kondisi Rajputana yang lemah, akan menjadikan mereka berdua sasaran empuk jika para makhluk itu menyerang keroyokan.
Chandni kembali memandangi Rajputana tanpa rasa iba. "Baiklah, Maharana. Anda sudah terlanjur berada di sini, tetapi saya tidak akan meninggalkan hutan ini hanya karena Anda terluka," katanya.
Chandni membopong Rajputana di punggungnya dan pergi dari situ. Gua adalah satu-satunya tempat paling aman di hutan itu. Perjalanan kembali ke sana memakan waktu dan menguras tenaga Chandni. Sesekali ia berhenti untuk istirahat dan memetik tanaman herbal serta buah- buahan hutan yang bisa dimakan.
Senja hari mereka berhasil tiba di gua. Chandni merebahkan Rajputana di selembar tikar usang. Kemudian ia meletakkan ayam buruan dan bahan hasil temuannya di sudut gua. Rajputana masih tidak sadarkan diri, badannya menggigil akibat demam tinggi. Chandni bergegas menyalakan api unggun. Ia merebus air, membuat tapal obat luka untuk Rajputana.
Dalam gua terasa hangat oleh api unggun. Dengan telaten Chandni merawat Rajputana. Ia membuka atasan sherwani Rajputana, menelusuri da.da bidang pria itu untuk meneliti aliran darahnya. Luka terpanahnya nyaris mengenai paru- paru Rajputana. Luka yang cukup dalam, tetapi Chandni cukup optimis Rajputana bisa bertahan. Ia mengelap seputaran luka dengan air hangat, lalu menempelkan tapal dan membebat menggunakan sobekan kain sarinya. Setelah itu, barulah Chandni mengurus daging ayam untuk santapannya. Ia juga membuat rebusan akar untuk obat minum Rajputana.
Chandni makan sambil memandangi Rajputana walau pikirannya merenungkan hal lain. Sekarang makhluk itu tahu Rajputana terluka dan ia berada di hutan, tentunya jin udara itu akan datang mengincarnya, bukan? Jadi, ia hanya perlu menunggu.
Kelelahan membuat Chandni tertidur lelap. Satu malam lagi telah berlalu. Paginya, Chandni memeriksa Rajputana dan ternyata masih tidak sadarkan diri. Tubuhnya masih demam tinggi. Air rebusan obatnya pun tidak tersentuh. Chandni memanaskannya lagi lalu meminumkannya sedikit demi sedikit hingga habis satu seloki. Chandni lalu meninggalkan Rajputana ke sungai untuk mandi dan mencari ikan.
Sekembalinya ke gua, Rajputana masih tidak bangun juga, tetapi menggigilnya berkurang. Chandni mengganti tapal luka Rajputana, lalu membuat rebusan kaldu ikan serta rebusan obat lagi dan meminumkannya pada Rajputana. Setelah tenang beberapa saat, demam Rajputana berkurang dan pria itu perlahan membuka matanya.
Rajputana melihat Chandni menajamkan sebatang kayu untuk membuat anak panah. Wajah gadis itu sangat serius dan matanya menghunus tajam terpusat pada bakal senjatanya. Tatapan Rajputana melembut, lega menemukan Chandni dalam keadaan baik-baik saja. "Chandni ...," panggilnya lirih.
Chandni segera menoleh. "Yang Mulia sudah sadar? Syukurlah. Bagaimana perasaan Yang Mulia?" ujarnya dengan nada yang lugas.
Rajputana meraba luka di dekat tulang selangka kirinya. "Sakit ... di sini ...."
Chandni bergegas berlutut di hadapannya dan menunduk dalam. "Maafkan hamba, Yang Mulia. Saya tidak sengaja melukai Yang Mulia. Makhluk itu menjebak saya."
"Kau memang dijebak, Chandni. Dia ingin kau datang ke sini agar kau masuk dalam perangkapnya."
"Saya mengambil risiko itu demi menyelamatkan Tuan Imdad."
"Tidak ada Imdad di hutan ini, Chandni, semua itu hanya tipu muslihat."
"Saya tidak peduli, Yang Mulia!" tegas Chandni. "Faktanya makhluk itu mengenali Tuan Imdad, menyerupai sosok astralnya, ia pasti tahu sesuatu. Jika benar katanya dia berada di istana langit, maka jika saya bisa pergi ke sana bukankah saya akan lebih dekat menjangkau Tuan Imdad? Saya penasaran kehidupan para makhluk penghuni langit dan saya akan menemukan jawabannya."
Napas Rajputana bergetar saat ia menarik udara sebanyak- banyaknya mengisi paru- parunya. Lukanya semakin nyeri saat melakukan itu. Ia mengumpulkan tenaganya agar bisa mendebat Chandni. "Musuh yang nyata harus kita hadapi berada di daratan, Chandni! Di muka bumi ini! Jangan memulai peperangan dengan makhluk yang sudah jelas berbeda tempat asal- usulnya! Hal itu di luar kuasa kita."
Chandni geram sekali atas ucapan Rajputana. Ia mengatupkan rahang menyahuti Rajputana. "Mereka memulai perang dengan saya karena telah mengimitasi Tuan Imdad!" Mata Chandni berkaca-kaca, bibirnya gemetaran menahan duka mendalam. "Mereka membunuh calon bayi saya. Mereka menginginkan jiwa saya. Jika saya tidak menyelesaikan perang ini, maka selamanya hidup saya tidak akan damai. Mereka akan mengincar saya dan orang-orang yang saya sayangi. Bisa jadi Toru, lalu Manse, atau mertua saya, atau paman dan bibi saya, atau seluruh warga Rajpur, atau apa pun yang saya lindungi. Apa Maharana tidak menyadarinya?"
Rajputana turut menegarkan diri. Ia berujar dingin pada Chandni. "Aku telah membuat sumpahku pada Imdad bahwa aku akan melindungimu, aku akan menjagamu tetap aman dan selamat bagaimanapun caranya bahkan jika aku harus menguncimu dalam menara!"
Chandni berdiri dan berujar angkuh di depan Rajputana. "Maka saya tidak akan mengikuti Anda, Maharana! Saya memilih jalan saya sendiri. Silakan pergi dari sini dengan kaki Anda sendiri." Chandni gusar dan melangkah mantap meninggalkan pria itu. Ia pergi ke luar gua.
Rajputana ingin bangun dan menyusulnya, tetapi tenaganya tidak ada dan nyeri menderanya. Rajputana malah terbaring terempas ke peraduannya. Ia meneriaki Chandni yang diabaikan gadis itu. "Kembali kau ke sini, Chandni! Aku rajamu! Jangan pernah menentangku! Kau dengar aku? Chandni, kembali! Uhuk ... uhuk ...." Rajputana batuk keras dan mengeluarkan gumalan darah dari mulutnya. Namun, Chandni sudah menjauh dan tidak mendengarnya lagi.
Rajputana berguling- guling di alas rebahnya karena sangat kesakitan. Ia meraung memanggil kekasihnya yang sekarang memperlakukannya bagai orang asing. "Chandni, kumohon ... kembali! Jangan pergi .... aku tidak mau kehilanganmu ...."