MENARA Sanggar Mohabbatein bercahaya gemerlapan. Tarian dan nyanyian masih berkumandang memeriahkan suasana gembira pernikahan siri Maharana Rajputana dan Chandni. Malam semakin menanjak. Bulan purnama berbinar sempurna di langit malam, bersama taburan bintang nan indah. Rajputana memasuki kamar pengantinnya. Kamar yang sangat luas bagai kamarnya di istana, terdapat hamparan karpet dan dipan bersantai untuk tamu atau dirinya agar lebih menikmati kunjungan selirnya kelak.
Aroma dan kabut tipis dari dupa semerbak dalam kamar. Sangat wangi lembut mengademkan. Cahaya diya dan lampu minyak cukup terang meski tidak menyilaukan. Rajputana terpaku pada sosok memesona bagai cahaya rembulan dalam hidupnya. Chandni berdiri di tengah ruangan dan merendahkan tubuh memberi hormat padanya. Jantung Rajputana berdebar- debar kencang takjub pada pesona gadis itu. Dia adalah buah terlarang .... Demi Tuhan, Chandni seharusnya tidak menikah lagi, tetap menjanda demi sumpah kelak mengikuti sang suami ke surga, akan tetapi ia di sini, menikahinya.
"Ini malam kita, Tuanku. Setelah ini Chandni tidak akan menari untuk orang lain kecuali Tuanku. Bolehkah Chandni memperlihatkan hiburan khusus untuk Tuanku?"
Rajputana duduk di dipan. "Silakan!" ujarnya.
Gadis itu duduk menata gaun dan selendang yang berpayet berat agar terentang sempurna bagai kelopak bunga mekar di siraman sinar bulan. Lalu dia menembang syair lembut bermakna rayuan, tetapi seolah malu- malu pada lelakinya. Perhiasan di tangan dan kerudungnya bercircir merdu.
"Mohe Rang Do Laal" (x2) (*)
-Warnai aku dengan warna merah
Chandni menutupi wajah dengan kedua tangan berukir cat merah, dan membukanya memperlihatkan keningnya yang telah bertitik merah oleh Rajputana.
"Nand Ke Laal Laal"
-Oh putra Nanda! (Krishna)
"Chhedo Nahi Bas Rang Do Laal"
-Jangan menggodaku, cukup warnai saja aku dengan warna merah
"Mohe Rang Do Laal"
-Warnai aku dengan warna merah
"Dekhun Dekhun Tujhko Main Hoke Nihaal" (x2)
-Aku hanya melihatmu tapi sudah merasa gembira
Tubuhnya memperlihatkan lekuk pinggul menggoda dan bahu yang berkedik manja. Dia meresah sayu.
"Chhu Lo Kora Mora Kaanch Sa Tann"
-Sentuh tubuhku seperti saat menyentuh gelas kaca
"Nain Bhar Kya Rahe Nihaar"
-Berhentilah untuk menatapku
"Mohe Rang Do Laal"
-Warnai saja aku dengan warna merah
"Nand Ke Laal Laal"
-Oh putra Nanda!
Bagai kunang- kunang jantan terbang tertarik ke arah betinanya yang berkelap- kelip terang. Rajputana bangkit dari dipan dan mendatangi Chandni. Gadis itu berdiri dengan suka rela, menghentikan nyanyian dan tariannya. Netra berbinar menatap mata kelam sang raja.
"Bagaimana aku bisa menyentuhmu, Chandni-ku? Ada banyak aral di antara kita," lirih Rajputana yang tidak dimengerti Chandni. Bukankah pria hanya perlu mengikuti nafsu mereka? Maharana terlalu banyak beban pikiran.
Chandni menangkup rahang Rajputana dengan tangan berhias rantai emas dan merah mehendni. Senyuman tulusnya membentuk lekukan dalam di kedua pipinya. Senyum yang membuat para lelaki tergila-gila. "Seperti ini, Tuanku!" gumam Chandni, lalu menyesap perlahan bibir Rajputana.
Rasanya sangat damai, sangat melegakan. Megap- megap mulut Rajputana mengimbangi kecupan lihai Chandni. Itu adalah ciuman yang selalu didambakannya sepanjang hidupnya. Ia ingin bahagia, tetapi terasa sangat tidak pantas. Sudut mata Rajputana berlinang tetesan bening embun duka. Sebelah tangannya melingkari pinggang Chandni, sebelahnya lagi menangkup belakang kepala gadis itu, agar memastikan ia memegang kendali cum.buan mereka.
Pembagian rasa yang tidak akan pernah terpuaskan, menuntutnya lebih agresif dan menguasai. Laksana bertarung dalam batinnya. Sabetan pedang melukai tubuhnya, ia berdarah- darah, tetapi tetap melangkah maju. Imdad, maafkan aku .... Imdad, maafkan aku .... begitu batinnya meratap.
Sebagaimana cakra mereka bertukar dan perasaan mereka, begitu juga isi hati mereka. Chandni bisa mendengar gumaman lirih itu dan nama Imdad membuatnya tersentak. Ia menarik diri tiba- tiba dari Rajputana, memalingkan wajah sambil mengusap bibirnya. "Ma- maharana ... maaf, Chandni ... agak tidak enak badan ...."
Rajputana mendeham pelan, terkejut sekaligus lega. "Hmm, ah, ya, tidak apa- apa. Seharian tadi sangat melelahkan. Sebaiknya kau istirahat saja. Aku akan tetap di sini untuk salat dan berdoa."
Chandni lekas menoleh pads Rajputana lagi. "Benarkah, Yang Mulia?"
Rajputana mengusap keningnya, pada bindhi merah tanda kepemilikannya. Senyum tipis tersemat di bibirnya. "Iya, Chandni-ku. Beristirahatlah. Aku tidak terburu-buru denganmu. Dahulu, kini, bahkan di masa yang akan datang, kita akan tetap bersatu, karena itu aku tidak pernah terburu-buru mengejar cintaku."
Chandni tersipu dan berlari kecil ke balik tabir kain, di mana tempat tidur mereka berada. Chandni mengintip Rajputana dari sana. Lelaki itu memang melakukan seperti ucapannya. Ia meletakkan turban dan perangkat pedangnya, lalu ke kamar mandi mengambil air wudhu. Rajputana kembali ke kamar dan salat dengan khusyuk. Salat dan doa yang sambung menyambung sepanjang malam.
Chandni tengkurap bersangga di bantal- bantal empuk memandangi Rajputana. Kekaguman pada sosok berpendar keemasan itu menghantarkannya dalam tidur lelap.
Di sela berdoa, Rajputana menilik Chandni. Ia terenyuh menyaksikan gadis itu tertidur mengenakan pakaian dan hiasan lengkap. Rajputana bangkit dari sajadah lalu ke sisi Chandni. Sampai di sana, ia duduk di tepi ranjang dan memandanginya saja. Tidak jadi melepaskan kerudung Chandni. Ia khawatir gadis itu akan terbangun.
Rajputana bertopang kepalan tangan di pelipis. Sorot tiada lelah dan rasa cinta bercampur kekaguman tercurah pada gadis itu. "Kenapa hidup membelit kita dalam kisah cinta serumit ini, Chandni-ku?" lirihnya lagi.
Tidak ada jawaban didapatkannya. Rajputana pun terus termenung memandangi kecintaannya. Hingga tiba waktu subuh Rajputana tergegau, ketika membuka mata menyadari ia juga tertidur di sisi Chandni. Gadis itu bertopang dagu dengan kedua tangan, tengkurap memandanginya sambil senyum-senyum. "Tuanku, sudah subuh. Azan sudah berkumandang. Apa Tuanku mau salat lagi?" tanya Chandni.
"Ah, iya, terima kasih, Chandni." Rajputana beringsut bangun dari peraduan, lalu menelengkan kepala dan menoleh pada Chandni dengan ekspresi keheranan. Gadis itu masih saja senyum-senyum. "Aku merasa lebih segar. Chandni, kau melakukan sesuatu padaku?"
Gadis itu mengangguk. "Chandni menyalurkan cakra pada Tuanku agar Tuan bisa tetap berenergi saat beribadah. Cahaya Tuan sangat indah tatkala berdoa."
Rajputana mengusap kening Chandni. "Terima kasih, Chandni-ku." Lalu mendaratkan kecupan kilat di bibir gadis itu.
Rajputana berdiri dan melangkah ingin berwudhu lagi, tetapi terhenti sebentar karena Chandni bertanya padanya. "Kapan Chandni boleh ke istana? Bukankah selir seharunya tinggal di istana agar senantiasa dekat dengan Tuanku? Chandni ingin selalu berdekatan dengan Tuanku."
Rajputana tidak menoleh padanya. Ia menjawab ragu. "Nanti, akan tiba waktunya, sayang. Sementara lebih baik seperti ini." Rajputana lalu meneruskan langkahnya.
Setelah salat subuh, Rajputana mesti ke istana untuk mengurus urusan kerajaan. Para ajudannya sudah siap di depan pintu. Rajputana membenahi pakaian di depan cermin. Mengetahui Tuannya harus ke sana kemari, Chandni menyiapkan hidangan lengkap, akan tetapi hanya bisa menyodorkan ala kadarnya pada Rajputana.
"Makan ini dulu, Tuanku," pinta Chandni sambil mengubit selembar idli (serabi tepung beras) lalu mengoleskan kuah pedas dan menyuapkannya ke mulut Rajputana. Pria itu membuka mulut menerima makanan dari tangannya. Bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali hingga selembar idli habis dengan cepat. "Kalau begini lebih baik duduk dan makan benar-benar," rengut Chandni.
Rajputana terkekeh. "Aku ingin makan disuapi saja. Lebih nikmat dari tanganmu," godanya dan gadis itu semakin merengutkan bibir.
"Beri aku sesuatu yang lebih manis, Chandni," kata Rajputana. Gadis itu mencebik, tetapi mengambil sebutir gulab jamun dan menyuapkannya ke mulut Rajputana. Pria itu menggigit manisan tersebut sambil terkekeh. "Bukan yang ini, sayang, tetapi sesuatu yang paling manis."
"Hm? Manisan yang mana lagi? Chandni tidak membawa manisan lain selain itu."
"Ini," sela Rajputana, lalu menyesap, memesrai bibir Chandni. Mata gadis itu terbelalak, lalu berkedip-kedip mencoba memahami maksud Rajputana. Kecupan bibirnya begitu manis, disertai lengket lelehan gula. Rajputana berucap di sela ciumannya. "Senyummu, gerakan bibirmu adalah manis yang kuinginkan, sayang. Apa begitu susah memahami keinginanku?"
Chandni mendesah kekalahan. "Ah, Tuanku ... kenapa tidak bilang terus terang? Yang Mulia membuat Chandni bingung saja."
Rajputana berhenti menciumnya dan mengamati lekat gadis itu tersipu dengan pipi memerah dan lekukan mungilnya. Sangat berat meninggalkan kediaman jika berhadapan dengan makhluk sememesona itu. Namun kewajiban negara harus di atas kepentingan pribadi. Rajputana mengecup kening Chandni. "Aku pergi dulu. Aku akan mengunjungimu lagi nanti."
Rajputana lalu keluar kamar dan berjalan lugas diiringi para ajudan dan pengawal. Chandni melepas kepergian Rajputana di ambang pintu kamarnya. Nanti adalah sebuah janji yang tidak pasti. Chandni sadar ia bukan wanita satu-satunya bagi sang raja. Ia merasa khawatir akan lama berjumpa Rajputana lagi.
Selain disibukkan urusan pemerintahan, Rajputana juga mencoba menyeimbangkan perhatiannya pada sanggar dan istana, agar tidak kentara menimbulkan kecemburuan dari para selir maupun bahan permasalahan pejabat istananya. Ada kalanya ia memilih tidak menemui Chandni meskipun ia merindukannya. Ia sekadar menengok dan menonton sajian hiburan para selir, walau tidak ada satu pun yang diajaknya ke tempat tidur. Ia juga bertandang ke kediaman Anuradha, sekadar bertanya kabar dan apakah Anuradha ingin cerai darinya, tetapi wanita itu bergeming soal keputusan akhir pernikahan mereka. Anuradha sudah tidak punya siapa- siapa lagi. Rajputana menjadi satu-satunya pegangan hidupnya. Sedikit rasa bersalah membuat Rajputana tidak memaksanya bercerai.
Di sela waktu senggangnya, Rajputana mengunjungi rumah orang tua Imdad.
"Raju-chacha! Raju-chacha!" seru Thoriq dan Mansoor yang sedang bermain pedang- pedangan di halaman rumah. Mereka berlarian ke pelukan Rajputana. Rajputana berjongkok menyambut dua bocah yang nyaris kembar itu.
"Ooh, ksatria- Ksatria hebatku!" puji Rajputana, mendekap kedua anak itu lalu berdiri menggendong mereka di lengannya. "Bagaimana latihan kalian? Sudah bisa mengalahkan raksasa jahat?"
"Belum, Paman Raj. Kami tidak punya guru yang mengajari kami ...," keluh Mansoor dan Thoriq. "Haan, Baba Toru belum pulang- pulang juga! Coba Paman Raj perintahkan Baba pulang, biar melatih kami."
Nyeri menusuk da.da Rajputana. Ia menyembunyikannya dengan memaksa tersenyum. "Hehehe, Imdad Bhai sangat berbakti pada negeri. Begitulah ...."
"Tetapi pimpinan negeri yang dibelanya sama sekali tidak menghargainya!" geram Maimoona yang bergegas keluar rumah, melintasi halaman dan segera mengambil Thoriq dan Mansoor dari tangan Rajputana.
Saif Ali yang seorang jenderal pun kalah cepat dari Maimoona. Ia tidak ingin istrinya memarahi raja mereka. Sangat tidak sopan. "Yang Mulia," sapa Saif Ali sambil menunduk hormat.
Mansoor dan Thoriq merengek kesal dijauhkan dari Rajputana. Maimoona menyuruh pelayan membawa mereka ke dalam. "Kalian main di dalam dulu," tegasnya pada anak- anak itu. Maoimoona kemudian membelalakkan mata pada Rajputana. "Mau apa Anda kemari? Saya kira Anda akan menjadi orang yang paling menderita kehilangan Imdad, tetapi rupanya tangis dan duka Anda hanya sandiwara. Belum habis masa berkabung, Anda sudah mengambil Chandni tanpa memikirkan anaknya dan masa iddahnya. Anda melakukan perbuatan haram dan licik. Apa pantas Anda jadi pemimpin negeri ini? Bencana akan datang kepada Anda, Maharana!"
"Ssst! Jaga ucapanmu, Maimoona," risik Saif yang tidak enak hati di hadapan Rajputana. Walaupun ia tidak membenarkan tindakan Rajputana, ia menyadari Rajputana juga terbebani akan hal tersebut.
"Tidak apa- apa, Paman, saya bisa mengerti kemarahan Bibi." Rajputana tertunduk sekaligus membuang muka. "Dalam opini saya, musuh memanfaatkan masa- masa Chandni kehilangan ingatan ini, oleh karena itu penting segera memulihkan ingatannya. Ini memang tampak salah di mata orang-orang. Jika ada cara lain saya akan melakukan apa pun itu. Sejak awal memang tidak ada yang wajar mengenai Chandni. Ia mematahkan semua logika yang kita ketahui, begitu juga aturan. Saya memberanikan diri mengambil risiko ini, walaupun nyawa saya jadi taruhan. Jika saya mati, maka putuslah urusan dunia saya. Saya akan sangat bahagia bisa bersama Imdad lagi. Hanya janji saya pada Imdad yang membantu saya untuk melanjutkan hidup. Saya harus melindungi Chandni bagaimana pun caranya."
Maimoona membisu. Lidahnya kelu sesaat, kemudian suaranya menjadi lebih lirih ingin menangis. "Lalu bagaimana dengan nasib Toru?" Air mata Maimoona mulai bercucuran. "Setiap malam ia menangis sampai tertidur ingin bertemu ibunya. Saya takut ia sakit atau malah lupa ia punya ibu. Ia kehilangan kasih sayang ayah dan ibunya begitu saja. Malang sekali nasibnya. Kenapa hidup begitu kejam pada anak sekecil dia?"
Saif merangkul istrinya sambil mengusap-usap menyabarkannya. "Sabarlah, istriku. Pasti ada berkah Allah untuk Toru. Kita doakan saja ingatan ibunya cepat pulih. Chandni juga pasti tidak menginginkan in. Aku yakin dalam pikirannya ia merasa terperangkap."
"Iya, Paman, saya juga berpikir demikian, karena itu kita harus pelan- pelan menyadarkannya," imbuh Rajputana.
Maimoona berhenti menangis dan penuh harap menatap Rajputana. "Apa sebenarnya rencana Anda, Maharana?"
"Begini, mulai besok, saya akan membawa Toru menemui Chandni. Toru sudah saya anggap anak saya sendiri. Dia adalah calon putra mahkota. Sebagai pengisi waktu luangnya, saya akan menyuruh Chandni jadi pengasuh Toru. Jika sebagai tugas kerajaan, saya yakin Chandni tidak akan menolak."
Maimoona dan Saif saling pandang seraya berpegangan tangan penuh asa. Keduanya saling mengangguk lalu berujar pada Rajputana. "Semoga rencana ini berhasil, Maharana."