Pagi-pagi Rajputana menjemput Thoriq di rumahnya, lalu membawa anak itu ke sanggar Mohabbatein. Anak itu didandani dengan pakaian sherwani mewah dan turban selayaknya putra mahkota. Dalam kereta kuda, Thoriq duduk di pangkuannya. "Ingat, Toru, jangan panggil ibumu Amma, tapi panggil dia Chandni," pesan Rajputana.
"Baik, Paman Raj," sahut Thoriq bersemangat.
"Eh, jangan panggil aku paman Raj. Panggil aku Baba."
"Baik, Baba!" ujar Thoriq. Rajputana mengulanginya di sepanjang perjalanan, memastikan anak itu tidak salah sebut lagi jika di hadapan Chandni.
Di sanggar sedang menyanyi puji-pujian pagi hari. Rajputana dan Thoriq ikut bergabung di barisan belakang, memandangi Chandni memimpin nyanyian dan tarian rasa syukur. Suara merdu serta tariannya memberikan semangat dan suasana kegembiraan. Rajputana terenyuh menyaksikan betapa bebas dan tanpa bebannya Chandni saat melakukan hal yang menjadi kesenangannya.
Thoriq di pangkuannya juga turut terbawa suasana. Thoriq tersenyum riang gembira bertepuk tangan dan menggoyang- goyangkan kepala mengikuti irama. Rajputana membisikinya. "Itu Amma-mu. Dia wanita yang paling luar biasa yang pernah ada dalam hidup ayahmu dan hidupku. Ingat, panggil dia Chandni supaya dia tidak ketakutan."
"Iya, Baba Raj," sahut Thoriq. Rajputana semringah seraya mencubit dagu Thoriq. Mereka pun terbuai lagu- lagu merdu hingga usai kegiatan pujian pagi itu.
Ketika penghuni sanggar membubarkan diri, Chandni yang sudah merasakan kehadiran Rajputana sejak awal segera celingukan mencari sosok pria itu. Ia tersenyum manis melihat rajanya gagah perkasa dalam pakaian resmi berwarna krem, serta turban mewah dan pedang bersarung emas tersemat di pinggang. Namun, senyum Chandni goyah melihat sosok anak laki-laki yang dituntun Rajputana. Bocah tampan yang diliputi aura serigala berbulu perak. Penampakan itu membuat penglihatan Chandni nanar dan pikirannya seolah kosong, lalu ia merasa sekelilingnya gelap.
"Chandni!" sapa Rajputana seraya menepuk pundak Chandni. Gadis itu tersentak, mata menerawangnya berkedip- kedip, lalu tersenyum kikuk. "Eh? Hmm, salam, Tuanku!" Chandni segera bersalut untuk Rajputana.
Sarasvati mendekat membawa nampan berisi bunga dan cat bindhi. "Salam, Yang Mulia. Pagi ini Anda membawa putra kecil Anda. Senang sekali bisa melihatnya, Yang Mulia." Dalam hati Sarasvati tersentuh melihat Rajputana dan Thoriq bergandengan tangan seperti ayah dan anak sungguhan.
"Hmm, iya," sahut Rajputana. Ia mengambil sejumput cat bindhi lalu mengoleskannya di dahi Chandni dan belahan rambutnya. Gadis itu menunduk dalam ketika ia melakukannya.
Sarasvati berjongkok menyapa Thoriq. "Apa kabarmu, Pangeran Muda? Masih suka menangis?"
Thoriq mengangguk. "Baba Raj bilang, aku tidak akan menangis lagi jika bertemu Chandni."
Chandni tergagap. "Be- bertemu aku?"
Rajputana segera menyambung. "Iya, Chandni. Anak ini adalah Thoriq, putra angkatku, yang akan menjadi penerusku kelak. Ia baru kehilangan ayahnya dan juga ibunya. Ia sangat merindukan ibunya sehingga mengira semua gadis adalah ibunya. Ia menangis setiap malam mengharapkan kedatangan ibunya, tetapi tidak pernah terwujud."
Chandni jatuh iba pada Thoriq. "Lalu, apa hubungannya dengan hamba, Tuanku?"
"Kau cukup mumpuni untuk mengurus anak kecil. Aku yakin kau bisa menghibur Toru dan membuatnya melupakan kesedihannya. Jadi, aku akan menitipkan Toru padamu, di samping mengisi waktu luang saat aku tidak ada."
"Saya ... saya ...."
"Tidak apa- apa. Tidak perlu buru-buru. Aku akan mendampingimu," tambah Rajputana.
Sarasvati berdiri di sisi Chandni dan merangkulnya. "Bibi juga akan membantumu, anakku. Jangan khawatir."
Melihat wajah penuh harap tuannya, bibinya, dan anak kecil yang malang, Chandni tidak tega menampik permintaan itu. "Baiklah, Chandni akan berusaha yang terbaik."
Rajputana tersenyum lega. Ia menarik Thoriq agar berdiri di depan Chandni. "Chandni," ucap Thoriq menyapa ibunya.
Ada debaran yang tidak dapat dijelaskan dalam dadanya saat bertatapan dengan mata abu- abu serigala mungil itu. Chandni tergagap mengatupkan kedua tangan. "Sa-salam, Tuan Muda Toru," ujarnya. Rajputana menyemangatinya. "Pegang tangannya, Chandni. Mari kita ke dalam bersama- sama. Kami belum makan pagi ini. Bisa kau menyiapkan makanan untuk kami?"
"Hmm, tentu, Tuanku! Akan segera Chandni siapkan." Chandni berhenti berpikir macam- macam. Ia meraih tangan mungil Toru dan menuntunnya. Bertiga bersamaan mereka melangkah menuju paviliun khusus selir. Sementara Sarasvati bergegas ke dapur untuk menyiapkan makanan lebih dulu.
Chandni senang dengan kehadiran Thoriq, karena Rajputana seharian tinggal di sanggar. Chandni menyiapkan hidangan terbaiknya, melayani Rajputana dan Thoriq sebagaimana suami dan anaknya. Mereka bermain petak umpet, berlarian di taman, serta membuat gaduh paviliun dengan suara tawa canda.
Chandni terbaring di pangkuan Rajputana, sementara Thoriq menggelitiki perutnya. Chandni berlagak kegelian, lalu balas menggelitiki Thoriq. Anak itu akan berebah di dekapannya, atau berlindung di balik punggung Rajputana supaya tidak kena serangan balasan Chandni.
Rajputana sangat senang berada di antara mereka. Ia adalah sosok pengisi lelaki yang sempat hilang di antara ibu dan anak itu. Kebahagiaan yang dirasakannya terasa sangat kurang ajar. Namun, bagaimana ia bisa menampiknya? Ia masih bernapas dan harus melanjutkan kehidupan.
Malam menjelang, kelelahan bermain membuat Thoriq mengantuk. Anak itu menguap berkali- kali, lalu menangis rewel. "Amma .... Amma ...," rengeknya, duduk di tengah karpet sambil menggosok kedua mata dan kaki berkial-kial. Chandni berjongkok di sisinya. "Hai, Toru, jangan menangis, sudah ada Chandni di sini," bujuknya, tetapi anak itu malah menarik- narik bajunya sambil mendekapkan diri ke da.danya.
Rajputana yang baru selesai salat Magrib menaruh sajadahnya ke nakas, menyaksikan hal itu, segera mendekat. "Mungkin Toru mengantuk dan ingin tidur," ujar Rajputana.
Ayunan untuk anak sudah disiapkan di ruangan itu. Rajputana dan Chandni memasukkan Thoriq ke ayunan, dan mencoba menidurkannya, akan tetapi Thoriq tetap saja menangis. Sarasvati datang mengantar makan malam, mendengar keributan itu, segera menghampiri, turut menengok ayunan. "Toru kenapa?" tanyanya.
Rajputana cemas dan kebingunan, begitu juga Chandni. "Entahlah, Bibi. Chandni lihat ia tidak kenapa- kenapa. Tidak ada sakit apa pun."
Sarasvati menggendong Thoriq keluar ayunan. "Anak pintar, ada apa, sayang? Katakan pada nenek," bujuknya.
Bocah itu merengek- rengek, "Aaah, Toru mau su.su Amma! Su.su Amma ...." Sambil menimang Thoriq, Sarasvati menanyai Chandni. "Air su.sumu masih keluar 'kan, Chandni?"
Rajputana mendengar hal itu bungkam dan tersipu- sipu.
"Eh? Hmm, apa?" Chandni gelagapan dan salah tingkah, mendekap da.danya sendiri.
"Kamu sering kesakitan di bagian payu.dara, itu karena air su.sumu tidak kau su.sukan," ungkap Sarasvati.
"Cha-Chandni ...."
Sarasvati terus mendesaknya. "Ah, sudah, jangan banyak pikiran. Ini, bawa Toru ke kamar dan berbaring bersamanya." Thoriq berpindah ke gendongan Chandni, akan tetapi tangan Chandni terlalu kikuk menggendong anak itu karena kebingungan.
Rajputana menggendong Thoriq sebelah tangan, lalu ia menggandeng Chandni dan menariknya ke kamar tidur. "Tidak apa- apa, Chandni, akan kutemani," ujar Rajputana.
Chandni tidak bisa membantah lagi. Ia duduk di tepi ranjang, Thoriq ditaruh di pangkuannya. Mau tidak mau ia menangkup tubuh mungil Thoriq dan membuainya. Rajputana membuka ikatan- ikatan simpul choli di punggungnya, sehingga kain itu melorot, dan kedua buah indah laksana bulan purnama bermata pancuran nutrisi untuk anaknya mencuat kencang. Thoriq yang sudah berpengalaman, menemukan kembali buah yang dirindukannya, segera menyesap kuat dan lahap. Dengkusan napasnya keras berkejaran, tetapi tangisnya langsung berhenti. Chandni terdiam terperangah. Rasa nyeri dalam kuluman anak itu membuatnya mendesah. Da.da terasa panas lalu berangsur- angsur hangat, kemudian wajah Chandni merona merasa malu. Bongkahan dari tubuhnya bisa dinikmati orang lain dan menghasilkan sesuatu yang bisa disantap.
"Nah, sudah, memang begitu seharusnya. Inilah yang dibutuhkan anak- anak, Chandni," ucap Sarasvati menenangkan gadis itu. "Akhirnya Toru bisa mendapatkan tidur nyenyaknya. Kalau anak tenang, kau dan Maharana pun bisa tenang beristirahat."
Tidak ada yang menyahut. Chandni mendekap Thoriq yang menyusu padanya, sedang sebelah tangan menggenggam tangan Rajputana. Gadis itu menggigit bibir gugup. Sarasvati lalu tersipu melihat muka Rajputana merah padam melirik kelaparan pada lekuk tubuh Chandni. "Ah, ya, tadi saya membawa makanan. Akan saya siapkan sebentar." Sarasvati keluar kamar. Rajputana melepaskan tangan Chandni, bergegas menyusul wanita tua itu.
Sarasvati membuka rantang di meja makan. Rajputana menghentikannya dengan memegangi tangannya. "Tidak usah repot-repot, Bibi. Biarkan saja di sini. Nanti biar Chandni yang menyiapkannya untuk saya," ujar Rajputana.
Sarasvati jadi salah tingkah. Ia pun menutup kembali rantang makanan tersebut. "Oh? Ehm. Baiklah, Yang Mulia. Kalau begitu saya permisi. Lagipula sudah malam, saya kecapekan."
"Ya, terima kasih, Bibi." Rajputana mengantar Sarasvati sampai pintu depan, lalu mengunci pintu itu dan bergegas kembali ke kamar.
Chandni masih di posisinya semula, duduk gelisah karena kegiatan yang terasa asing baginya. Rajputana duduk di sisinya dan menggenggam tangannya lagi. "Bagaimana? Toru sudah tenang 'kan?" tanya Rajputana. Bocah itu meliriknya dengan mata nyaris terbalik karena mengawang- awang menuju tidur tanpa melepaskan isi mulutnya.
Chandni menjawab resah. "Ya, tapi Chandni bingung, Tuanku ...." Ia menatap lekat Thoriq yang terlelap di dekapannya. Air matanya lalu menetes. Ia melepaskan genggaman Rajputana untuk mengusap air matanya. Pria itu terhenyak gamam mendengar ucapan Chandni. "Chandni merasa sangat bersalah. Chandni tidak tahu kenapa, Chandni sangat takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Anak ini ... Chandni merasa telah menghancurkan hidupnya. Kenapa? Apa yang telah Chandni lakukan? Chandni merasa gagal ...."
Rajputana menangkup dagu Chandni, mengangkat wajahnya sehingga mata sendu mereka bertatapan. Mata Rajputana turut berkaca- kaca. "Jangan dipikirkan, Chandni," lirihnya. Lalu mencium lembut bibir Chandni berulang- ulang. "Jangan diingat jika kau tidak ingin. Lupakan semuanya jika itu yang kau inginkan. Tidak apa- apa jika kau melupakan semuanya. Tidak ada yang menyalahkanmu, sayang. Tidak ada karena itu semua hanya mimpi."
"Tuanku Raj ...," desah Chandni sambil mulai membalas kecupan demi kecupan Rajputana.
"Haan, mere- Chandni ...."
"Kenapa mimpinya sangat kelam?"
"Karena kau sendirian. Jangan takut lagi, sudah ada aku di sisimu. Aku akan menjadi cahaya yang menerangi dan melindungimu, Chandni-ku."
Thoriq tertidur lelap, dilepaskan Rajputana dari dekapan ibunya. Anak itu tidak terusik saat dipindahkan ke ranjang. Rajputana lalu membaringkan Chandni sambil mencum.bunya mesra. Di sisi putra mereka, kerinduan yang lama tertahan akhirnya diluapkan. Percintaan yang perlahan, tidak bergegas maupun mengejar nafsu. Sebuah penyatuan penuh kepasrahan. Ada rasa sakit dan luka yang tidak bisa dihindari dan mereka harus hidup dengan duka itu. Namun dengan menjalaninya berdua, mereka bisa saling menguatkan.