Sebuah Kenyataan

1065 Words
Aku tak bisa membayangkan semerah apa wajahku kali ini. Saat tubuhku yang hanya berbalut pakaian tipis menerawang, disaksikan oleh sepasang mata lelaki bergelar suami. Gugup. Aku benar-benar gugup dibuatnya. Jantungku berdegup kencang saat Mas Andre menatap penampilanku yang tak biasa ini, tanpa henti. Refleks, aku menyilangkan kedua tangan untuk menutupi bagian atas tubuhku yang terekspos di hadapannya. Bukankah ini memalukan? Melihatku yang tampak salah tingkah, Mas Andre terpekik, menunjukkan ekspresi geli. Merasa ditertawakan, aku merengut kesal. Ya ampun … benar-benar lelaki satu ini. Apa dia menganggapku seperti lelucon? Apa saja tengah menyamakan aku layaknya penari erotis Timur Tengah yang menghibur dengan pakaian serba minim dan menyebalkan seperti ini? "Bisa kita mulai sekarang?" Mas Andre menaikkan sebelah alisnya saat bertanya. Membuatku semakin tak karuan rasa. Duniaku seolah berhenti berputar mendengar pertanyaan sederhana yang ia lontarkan. Namun, sebisa mungkin aku berusaha menyikapi sewajarnya. Aku tahu, menolak ajakan suami hukumnya dosa. Sebab itulah, aku berniat memberikan haknya malam ini. Terlepas dari seperti apa pun masa lalunya, dia memang berhak atas tubuhku karena aku istrinya. Ya, karena memang aku telah halal untuknya. Astaghfirullah, apakah ini mimpi? Bagaimana mungkin Indri yang masih polos ini, hanya halal disentuh oleh mantan playboy yang sudah sangat berpengalaman ini? Andaikan aku bisa memutar kembali waktu, sudah barang tentu aku akan lebih berhati-hati hari itu. "Bi-bisa, Mas." Aku menjawab terbata-bata sambil mengangguk dengan gerakan kaku. Meski sudah kuusahakan bersikap senatural mungkin, tapi nyatanya rasa canggung itu tetap saja datang. Bagaimana tidak? Ini pengalaman baru untukku. "Ayo." Mas Andre menuntunku ke arah ranjang. Membuat jantungku berdentam-dentam. Seperti genderang mau perang. Bismillah. Bismillah. Apa yang kulakukan malam ini kuniatkan semata-mata sebagai bentuk pengabdian pada suami sekaligus ibadah. Semoga Engkau meridhoinya ya, Rabb. Aku terus menundukkan kepala, tak berani menatap saat suamiku menuntunku untuk duduk di bibir ranjang. "Cantik." Aku tak tahu suamiku tengah berbasa-basi atau tidak saat memujiku kali ini. Namun, yang pasti, pipi dan hatiku menghangat mendengar pujiannya. Wanita mana yang tak suka dipuji? "Dan … hot," bisik Mas Andre tiba-tiba, membuat bulu romaku sontak berdiri. Embusan napasnya yang hangat di telingaku mampu memberikan efek berbeda dalam diriku. "Ndri." Aku yang semula tertunduk, seperti dipaksa mendongak saat tangan kekar Mas Andre meraih daguku dan memaksaku menatapnya. Debaran dalam dadaku semakin riuh saat menatap wajah tampan yang kali ini melemparkan sebuah senyuman manis padaku. "I-iya, Mas?" Aku menjawab dengan gugup seraya memilin jari jemari dengan kaku. "Kamu beneran udah siap?" Ya ampun, kenapa tiba-tiba sikapnya jadi lembut seperti ini? Tak seperti kemarin-kemarin yang seperti singa lapar, kali ini sikap Mas Andre benar-benar gentle dan mampu membuat hati ini meleleh dibuatnya. Wanita mana yang tak suka diperlakukan dengan lemah lembut? Aku menarik napas panjang sebelum berucap, "I-iya, Mas, aku udah siap, kok." Melihatku yang gugup setengah mati, Mas Andre justru tertawa. Membuatku semakin grogi saja. "Istriku …." Ya ampun manis sekali dia memanggilku sebagai istrinya kali ini. "Kita ini mau bersenang-senang, kamu nggak perlu tegang, ya. Relax … dan nikmati prosesnya," ucapnya ringan. Wajar dia santai. Dia, 'kan sudah berpengalaman. Dadaku tiba-tiba bergemuruh hebat saat mengingatnya yang seorang petualang cinta. Aku memalingkan wajah dengan napas turun naik dan mata yang terasa memanas saat mengingat status bad boy yang ia sandang. Hatiku kembali berontak, tak adakah lelaki baik-baik di dunia ini yang pantas berjodoh denganku? Kenapa aku harus berjodoh dengan lelaki liar sepertinya? Napasku tiba-tiba terasa sesak. Entahlah, asal mengingat sisi gelap suamiku, hatiku pasti selalu saja berontak dan merasa takdir yang kudapatkan tak terlalu bagus. Aku tersentak saat tiba-tiba Mas Andre, menarikku ke dalam dekapannya. "Kamu takut terkena HIV kan?" Pertanyaannya kali ini mampu membuatku mendongakkan wajah menatapnya. Untuk beberapa saat, kami beradu pandang tanpa kata. Hanya hati yang saling bicara. Dan … hatiku tak memungkiri ketampanannya. Ya … dia memang amat memukau. Wajar saja jika banyak gadis yang jatuh dalam pelukannya. "Tenang, Sayang … aku negatif. Lagian, aku bukan lelaki bodoh yang melakukan 'itu' tanpa pengaman." Mas Andre berucap sangat ringan seolah tengah membicarakan hal yang remeh. Aku sendiri hanya mampu menelan ludah yang terasa berat karena tiba-tiba tenggorokanku rasa tercekat. "Ndri …." "Ya …?" "Jadilah wanitaku seutuhnya malam ini," bisik Mas Andre di telingaku. Bisikannya bagai mantra yang membuatku terpana. Kutatap lekat mata elangnya dengan hati dengan gejolak di hati yang kian menjadi. Perlahan, bibirnya menyentuh lembut bibirku. Menghadirkan kembali sensasi indah malam hari itu yang sempat tertunda karena kecelakaan yang menimpa Gerald. Tidak. Maksudku … sensasi yang lebih indah dari malam hari itu, karena sekarang, aku benar-benar mencoba menikmati kehangatan saat bibir kami saling bertautan. Puas menikmati ciuman hangatnya, aku kembali dibuat mabuk kepayang saat Mas Andre memberikan cumbuan yang begitu besar efeknya untuk diriku yang belum berpengalaman. Puas mencumbu, Mas Andre lantas …. Lingerie sudah tertanggal dan Mas Andre telah menindihku, saat aku merasakan perutku yang tiba-tiba serasa diremas. "Mas …." Aku yang semula sedang menikmati cumbuan suamiku, tiba-tiba merasa terganggu saat remasan di dalam perutku semakin menyiksa. "Apa?" Mas Andre yang sepertinya telah benar-benar siap 'menggarap' istrinya menghentikan aksi saat menyadari rintihan kesakitan keluar dari mulutku. "Aku sakit perut." "Jangan bercanda, Indri! Permainan sudah hampir dimulai kau tau?" Mas Andre yang sepertinya sudah 'on fire' tampak geram saat aku mengungkapkan kalau aku sakit perut. "Tapi ini benar-benar sakit, Mas! Aku nggak lagi bercanda." Aku berucap serius. Dengan amat terpaksa Mas Andre menarik tubuhnya yang menindih tubuhku sedari tadi. Aku menyambar handuk untuk menutupi tubuhku ketika aku berlari kecil ke kamar mandi. Buru-buru kulepas pakaian dalam yang masih tersisa, saat aku telah sampai di ruangan ini. Flek warna coklat pada celana dalamku menjadi sebuah pemandangan yang mencengangkan dan membuat hatiku mencelos dalam seketika. Ya Allah, aku haid? Aku terdiam kaku melihat kenyataan ini. Entah kenapa, tubuhku tiba-tiba terasa lemas menyambut kenyataan ini. Tak menyangka, haid yang sebelumnya kutunggu-tunggu, kehadirannya kini terasa mengecewakan. Aku melangkah gontai dengan handuk yang membalut tubuh saat berjalan ke luar kamar mandi. "Udah?" Mas Andre yang sebelumnya terdiam dalam lamunan, menunjukkan binar wajah ceria saat menyadari aku keluar dari kamar mandi. Tak langsung menjawab pertanyaannya, aku menggigit bawah bibir dengan perasaan campur aduk. "Kok gak semangat gitu, ayo mulai lagi." Mas Andre bangkit dan berjalan menghampiriku yang kali ini telah hilang semangat seratus persen. "Tapi …." "Tapi apa?" Mas Andre memindai wajahku dengan tatapan menyelidik. "Aku datang bulan, Mas …," ungkapku dengan nada berat. Aku tahu, ini pasti akan membuatnya sangat kecewa. Tidak. Bukan dia saja, tapi aku juga. Karena dalam diam aku juga telah mendambakan hal itu. "Hah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD