Pindahan

1529 Words
"Kamu tidak sedang main-main, kan, Indri?" Gigi Mas Andre bergemeletuk pasca memberikan aku sebuah tuduhan keji. Matanya menyorotku tajam, seperti menuntut kejujuran. Ya Allah, Mas, apa kamu pikir aku sedang berbohong kali ini? "Jawab, Indri!" desak Mas Andre masih seperti menahan amarah. Huh! Apakah semua lelaki seperti ini? Akan mengamuk dan marah-marah tak jelas jika haknya tak didapatkan? "Jawab!" Aku menggeleng kaku sambil menatap nanar wajah Mas Andre yang tampak begitu kecewa. Jangankan dia, aku sendiri saja masih syok dengan kedatangan tamu bulanan yang sempat terlupakan ini. "Sekali lagi kutanya, apa kamu tidak sedang berbohong kali ini?" Mas Andre tampak belum puas dengan jawaban tanpa suara yang kuberikan. "Tidak, Mas … demi Allah, aku memang datang bulan. Apa kamu mau bukti?" Aku balik bertanya sambil menatapnya tajam. Lama-lama, geram juga terus-terusan dituduh sebagai pembohong seperti ini. Asal kamu tahu saja, Mas … aku juga sebenarnya penasaran seperti apa rasanya. Karena kata orang, kan … malam pertama itu tak, 'kan mungkin terlupakan. Jadi … wajar saja, 'kan kalau aku penasaran dan ingin tahu? Mas Andre menatapku sekilas lantas menggeleng dan mendesah resah. Dari pancaran wajahnya, lelaki tampan ini tampak begitu frustrasi. Semangat dalam dirinya seperti tak terlihat lagi. Berkali-kali suamiku menjambak sendiri rambutnya dan mengembuskan napas dengan kasar. Menimbulkan rasa bersalah di hatiku karena tak bisa memberikan haknya malam ini. "Mas …." Aku mengusap lembut punggung Mas Andre yang tak terbalut kain. "Tidurlah!" ketusnya sambil menghempas pelan tanganku. Ia lantas menjatuhkan tubuhnya di sofa kamar tanpa menatapku. Napasnya tampak tak beraturan saat pandangan matanya lurus ke depan seperti sedang merenungi sesuatu. Setelahnya, kuambil pembalut dari dalam lemari dengan perasaan gamang. Ya Allah, baru kali ini aku mendapatkan tamu bulanan dan rasanya semenyesal ini. Perut yang sedari tadi melilit, memaksaku terjaga sampai pukul sebelas malam. Bayang malam pertama yang gagal pun turut andil membuatku tak kunjung dapat memejamkan mata meski berbagai posisi tidur telah kucoba. Aku benar-benar tidak bisa tidur. "Mas, kamu … baik-baik aja, kan?" Aku buru-buru mengangkat badan dengan perasaan was-was saat melihat suamiku keluar dari kamar mandi dengan menunjukkan wajah lemas. Apakah dia baik-baik saja? Kenapa dia terlihat pucat begitu? Apakah gagal mendapatkan haknya membuat Mas Andre begitu sedih dan frustrasi? Kenapa dia tampak sangat lemas sekembalinya dari kamar mandi? Apa dia meratapi nasib dengan meringkuk dan menahan tangis di dalam kamar mandi? Ah, rasanya tidak. Masa iya dia secengeng itu? Tak mau memberikan jawaban gamblang, Mas Andre mengangguk samar lantas merebahkan tubuh di sampingku. "Tidurlah, Cil. Besok kita pindahan." ucapnya lirih seraya menarik selimut sesaat setelah mengusap lembut rambutku. "Apa? Pindahan?" Aku bertanya sambil tergeragap. "Ya." Mas Andre mematikan lampu tidur di sampingnya lantas menutup wajahnya dengan bantal. Sebagai isyarat enggan melanjutkan obrolan. *** Paginya. "Jadi, pindahan hari ini, Ndre?" tanya mama mertua seusai sarapan dan kami masih mengitari meja makan sebelum melakukan kegiatan masing-masing. "Ya, Ma, jadi." Mas Andre mengangguk mantap dan tanpa keraguan. "Ndri, kalau gitu … Mama titip Mas Andre, ya," gurau mama mertua saat wanita paruh baya ini mengalihkan pandangan padaku yang masih terbayang-bayang bagaimana rasanya menjalani kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya bersama mantan badboy satu ini. Mendengar pesan yang disampaikan mama mertua, aku hanya tersenyum tipis. Tak tahu harus menanggapi bagaimana pesan ibu kandung suamiku yang terkesan mengada-ada ini. Bukankah Mas Andre sudah dewasa? Kenapa pula Mama menitipkannya padaku? Ada-ada saja. Hm. Selera humor mertuaku yang sosialita ini … ternyata bagus juga. "Jangan bercanda, Ma. Yang ada Andre yang jagain Bocil Bawel ini, bukan sebaliknya," protes Mas Andre seperti tak terima saat sang mama berujar ingin menitipkan dirinya padaku. Mendengar ucapan kakak kandung Gerald ini, secara refleks bibirku membentuk kerucut. Sungguh, julukan Bocil Bawel sama sekali jauh dari kata elegan. Terlebih lagi, dia mengucapkannya di depan sang mama. Bukankah ini memalukan dan sangat-sangat menjatuhkan harga diriku? Mama mertuaku yang cantik, mengulas senyum hangat yang terlihat menenangkan. "Ya … saling menjaga, ya. Kalian, 'kan suami istri, rukun-rukun, ya. Biar Mama cepet punya cucu." Mendengar kata cucu, aku yang tengah meneguk air putih langsung tersedak. Ya Allah ... aku baru berusia 19 tahun dan mertuaku mengharapkan cucu? Kalau aku punya anak cepat, bagaimana kuliahku nanti? Apa aku sanggup mengurus anak sambil belajar? Apakah aku sanggup? "Nunggu lampu merah si Indri kelar, Ma, habis itu langsung Andre hajar, deh. Biar cepet jadi. HAHAHA." Mas Andre tertawa renyah menyahut ucapan sang mama. Di sini, aku hanya mampu menelan saliva dengan berat mendengar lelucon Mas Andre barusan. "Hajarnya gimana, Bro?" Gerald yang tangan dan kakinya masih terbalut perban, menyeletuk sambil cengar-cengir, menggoda sang kakak. "Heleh, pura-pura bego, kerjaannya nonton belu aja … sok polos lu jadi orang!" balas Mas Andre ketus membuat muka Gerald sedikit memerah. Belu? Apa maksudnya? Otakku bekerja keras untuk menerjemahkan ucapan suamiku barusan. Baru setelah beberapa saat aku tersadar akan apa artinya. Oh ... maksudnya ... blue? Hah! Ya ampun serusak itukah keluarga suamiku? *** "Mas, kenapa kita harus pindahan segala, sih? Aku nggak ada masalah kok kalau harus tinggal sama Mama. Memangnya kamu pernah liat aku tengkar sama Mama? Aku, 'kan bukan menantu durhaka, Mas." Aku melontar tanya sekaligus mengeluarkan unek-unek ketika melihat suamiku menyusun sendiri baju-bajunya di dalam koper besar saat mempersiapkan diri sebelum kami pindah rumah pagi menjelang siang hari ini. Mas Andre hanya menggeleng pelan mendengar ocehanku. "Bukan itu alasan kita pindahan, Cil." "Terus, alasannya apa?" Sungguh, aku takut dianggap sebagai menantu durhaka sehingga mama mertua menginginkanku pergi dari rumah ini. "Alasannya adalah … biar kita bisa bikin anak kapan aja. Nggak ada yang ngeliat. Nggak ada yang kepo. Nggak ada yang membatin. Dan nggak ada yang kepengen." Mas Andre menjawab ringan pertanyaanku. Aku mendecih geram dengan beberapa jawabannya yang terkesan main-main. Dasar piktor! "Aku nggak lagi bercanda, Mas …." "Emang, kamu lihat aku main-main?" balasnya sambil menunjuk sendiri wajahnya sesaat setelah menatapku sekilas. Aku mengentakkan kaki dengan jawaban tak memuaskan yang diberikan suamiku. Membuat Mas Andre gemas dan menarik kedua pipiku. "Sayang … alasan kita pindahan, ya ... biar kita lebih nyaman. Kamu tahu, 'kan, ada sebutan ipar adalah maut?" tanya Mas Andre penuh kelembutan seraya mengusap rambutku. Mendengar pertanyaan darinya yang luar biasa lembut, aku hanya bisa mengangguk mengamini. "Nah, makanya itu … apa lagi adek aku cowok blangsak kayak Gerald. Waspada aja," ujar Mas Andre menjelaskan sesuai pendapatnya. "Oh … gitu?" Aku manggut-manggut mencoba memahami maksud suamiku. "Iya, kamu paham, 'kan, sekarang? Tolong, lah, jadi cewek cepet dikit mikirnya. Jangan lemot terus. Emang mau punya julukan baru?" Mas Andre terkekeh saat matanya mengerling padaku yang berdiri di sampingnya. "Maksud kamu? Julukan baru apa, ha?" Aku melebarkan bola mata dengan perasaan kesal. Gemar sekali badboy satu ini memberikan banyak julukan untuk istrinya! "Telmi. HAHAHA." "Iih … jahat!" Aku menggerutu sambil memukul-mukul punggung suamiku dengan perasaan gemas dan geram. Mas Andre hanya cekikikan melihat kemarahanku. "Kamu kalo lagi ngambek cantik juga." Sejurus kemudian, ucapan Mas Andre membuatku melayang mendengarnya. Ya … mungkin aku terlalu berlebihan menanggapi pujiannya. Aku tertunduk dengan pipi yang terasa menghangat. "Melayang dah … awas jatuh!" Seketika aku tersentak mendengar sindiran yang dilontarkan Mas Andre. "Iih … siapa juga yang melayang, ngaco banget, deh, biasa aja kali," sangkalku seraya menetralkan perasaan. "Iya-iya, tapi kalo ini bikin melayang, nggak?" Mataku terbuka selebar-lebarnya saat Mas Andre membekap bibirku dengan bibirnya lantas melanjutkannya dengan sentuhan lembut. "Mas …." Aku menarik bibirku dengan cepat. "Kenapa?" tanya Mas Andre penuh keheranan. "Emang kamu nggak inget kalau aku lagi datang bulan?" "Lha, terus?" "Bahaya, Mas …." "Bahaya kenapa?" Mas Andre menatap wajahku dengan tatapan menyelidik. "Kalau ntar kebablasan gimana?" Aku memilin jari saat berucap. "Heleh kamu aja yang piktor! Masa gitu doang bikin kebablasan. Ayo, siap-siap." *** Setelah berpamitan pada mama mertua dan adik ipar serta para ART di rumah mertua, Mas Andre membawaku pergi menuju rumah baru yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumah orang tuanya yang mewah bak istana. Cluster elit dua tingkat menjadi tempat peraduanku dan Mas Andre dalam menyongsong hari-hari yang akan datang. Memasuki rumah baru, aku bisa merasakan ada sebuah perasaan lega mengisi hati. Inikah alasan suamiku ingin meninggalkan rumah mewah orang tuanya? Karena ingin merasakan arti berumah tangga sejati? Siang ini, selepas beberes membersihkan rumah baru bersama-sama, Mas Andre dan aku beristirahat melepas lelah dengan tidur di ranjang kamar dalam keadaan saling memeluk. Nyaman sekali. Kami sama-sama terlonjak saat menyadari ponsel suamiku tak berhenti berdering. Mas Andre buru-buru melepas pelukan dan menyambar telepon genggamnya yang tergeletak di atas nakas. Lelaki berbibir tipis itu tak langsung menjawab panggilan sesaat setelah menatap siapa si penelpon yang terpampang di layar. Dari sorot matanya, aku menangkap kalau Mas Andre seperti tengah dilema untuk mengangkat telepon itu atau tidak. Membuatku penasaran. "Siapa yang nelpon?" Suamiku menggeleng, tak segera menjawab pertanyaanku. Membuat rasa penasaran dalam dadaku kian membuncah. Siapa yang menelpon sebenarnya? "Siapa yang nelpon?" ulangku penuh penekanan. "Zahra." Suamiku berucap lirih tanpa menatapku. "Apa? Zahra?" Mendengar namanya, sontak ada hawa panas yang menyeruak dari dalam d**a. Napasku memburu menahan rasa kesal yang tak bisa kujelaskan alasannya. Apakah aku cemburu? Mau apa lagi, sih, dia? Benarkah dia serius ingin mengacaukan rumah tanggaku dengan Mas Andre? Tidak bisakah dia mengontrol diri untuk tak menghubungi mantan kekasihnya? "Angkat aja, Mas. Siapa tau panggilan penting." Aku mencoba menahan rasa kesal saat berucap. Ragu-ragu Mas Andre mengangkat telepon dari janda muda itu. "Apa? Innalillahi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD