"Jangan lupa, pake ini ntar malam, ya." Mas Andre mengerling pada tas kertas di tangannya saat keluar dari mall besar yang kami datangi siang ini. Aku menolak membeli apa pun karena bayang-bayang malam pertamaku dengannya terus bermain dalam benak. Membuatku tak berselera walaupun sebelumnya telah terlintas untuk membeli wafel dengan berbagai macam selai.
"Seriusan ini langsung pulang?" Mas Andre seperti ragu akan keputusanku yang langsung memilih pulang ketimbang harus berbelanja ria selepas dia membelikanku lingerie. Aku mengangguk samar karena semangatku untuk berbelanja memang telah pudar.
"Iya, serius. Aku rasanya nggak enak badan, deh, Mas." Aku mengurut ringan tengkukku yang rasanya tiba-tiba terasa berat.
"Wah … jangan bilang ini the next reason buat menghindar dari malam pertama, ya." Mas Andre menyelidik curiga. Aku memutar bola mata. Malas. Iya ini memang malam pertama. Malam pertamaku saja. Kalau dirimu entah yang keberapa, Mas! Mungkin yang ke seratus. Huh.
"Jangan suudzon, Mas!" Aku langsung naik pitam. Sesuka hati dia menuduhku.
"Gimana nggak suudzon, Cil? Kamu itu kecil-kecil akal bulus." Suamiku menyeringai saat memasukkan barang belanjaan, atau lebih tepatnya lingerie tadi ke bagasi mobil saat kami telah sampai di underground parking area mall ini.
Aku mendecih geram. Selain bocil bawel, dia juga memberikanku julukan baru—Akal Bulus. Bukankah ini melampaui batas?
Adakah suami lain di luaran sana yang gemar memberi julukan sesuka hati pada istrinya seperti suamiku ini? Rasanya tak ada. Kalau ada tolong kabari aku. Agar aku tak merasa sendiri!
Belum sempat menaiki mobil, suara lantang seorang wanita yang memanggil nama suamiku, membuat gerakan kami tertahan saat hendak membuka pintu Pajero Sport black edition yang dibawa Mas Andre siang ini.
"Ndre …."
Aku dan Mas Andre menoleh ke belakang dan mendapati wanita berpenampilan menor dan berpakaian kurang bahan berjalan cepat ke arah kami. Ah, maksudku ... lebih tepatnya ke arah Mas Andre.
"Hai, Ndre," sapa wanita itu saat sudah berhadapan dengan suamiku di parkiran bawah tanah ini.
"Hai juga, Sil." Mas Andre tampak ramah membalas sapaan wanita seksi yang mengerling padaku dengan tatapan tak suka. Aku memalingkan wajah saat pandangannya ia fokuskan padaku. Sungguh tatapannya yang tak bersahabat saat menatapku, membuatku sangat tidak nyaman. Pandangan sinisnya saat menatapku persis menatap pada seorang tukang hutang yang selalu mangkir saat ditagih. Ada masalah apa dia sebenarnya?
"Lo apa kabar?" Tampak wanita itu dengan lancangnya memeluk dan melakukan 'cipika-cipiki' pada suamiku. Melihat itu, aku tak mengerti kenapa ada yang terasa panas di dalam sini. Padahal sudah jelas-jelas aku tidak sedang memasak air atau pun menanak nasi. Kenapa ada yang terasa mendidih, ya?
Aku sontak memalingkan muka saat melihat adegan bernuansa kebarat-baratan itu. Sebagai orang kampung yang lahir dan besar di kampung, tentu saja keakraban antar lawan jenis seperti itu terasa begitu tabu untuk dilihat.
"Baik." Tak nampak keberatan dengan aksi wanita itu, Mas Andre tampak santai menjawab pertanyaan gadis yang dia panggil 'Sil' tadi.
"Beneran kamu udah merit, Ndre?" cecar wanita berbadan aduhai dengan wajah cantik oriental yang dia miliki.
"Ya … seperti yang lo liat." Lagi-lagi Mas Andre menjawab santai pada gadis yang hak sepatunya mungkin setinggi sepuluh sentimeter itu.
"Ini ... bini lo, Ndre?" Saat pandangannya beralih, wanita ini tampak kembali menatap sinis padaku. Huft! Menjengkelkan.
"Iya." Mas Andre mengangguk yakin dan tak ada beban saat mengakui aku sebagai istrinya. Membuatku merasakan sesuatu yang … entah. Apakah aku bangga karena diakui sebagai istri? Namun, apa yang perlu kubanggakan darinya yang seorang badboy? Apa karena dia lelaki kaya? Tidak. Sebenarnya aku tidak menikahinya karena alasan materi.
Wanita cantik berambut panjang dengan kulit putih ini berdecak ringan sesaat setelah menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Tumben lo mau ama yang begini? Biasanya lo suka sama yang montok-montok. Emang, yang begini ada sarinya?" Walaupun dia mengucap sambil berbisik, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas apa yang ia ucapkan. Terang saja, aku kan belum tuli. Otakku serasa mengeluarkan asap mendengarnya yang terang-terangan menghina.
Aku mengeratkan gigi dengan perasaan geram menatap wanita tak tahu diri yang jelas-jelas memandangku dengan sebelah mata. Apakah statusku sebagai istri Mas Andre tak membuatnya merasa sungkan walaupun barang sedikit?
"Mas, bisa kita pulang sekarang? Aku capek." Tak ingin berlama-lama menatap wanita cantik dengan pakaian minim dan perangai minus ini lebih lama, aku memutuskan untuk bersuara dan meminta pulang. Kalau Mas Andre menolak, sudah kuputuskan untuk pulang sendiri. Menaiki ojek online pun tak masalah.
"Ya udah, Sil. Gue duluan, ya. Bini gue kayaknya nggak enak badan."
Tampak wanita yang dipanggil 'Sil' itu mengangguk tapi tatapan sinisnya padaku tak memudar barang sedikit pun. Punya masalah hidup apa dia sebenarnya?
Seperti aku punya hutang saja.
Sejurus kemudian, wanita tak tahu malu itu kembali memeluk dan melakukan cipika cipiki pada suamiku untuk kedua kali dalam waktu kurang dari sepuluh menit perjumpaan mereka. Bukankah itu sangat memuakkan?
Apa dia pikir sedang bermain film Hollywood?
***
Saat dalam perjalanan pulang, entah dapat dorongan dari mana, aku tertarik juga ingin tahu lebih jauh pasal gadis tak tahu malu yang berjumpa dengan kami di underground parking tadi.
"Ada hubungan apa kamu sama dia?" Tanpa terasa, intonasi suaraku naik satu oktaf saat menanyakan perihal wanita seksi tadi.
"Oh … Sesil?" Mas Andre tampak santai menanggapi kekesalan yang pasti tergambar jelas di wajahku.
"Entahlah siapa namanya, aku gak peduli." Aku menyahut dengan nada ketus tanpa terasa. Lelaki berdarah Indo yang aku menikah dengannya atas dasar ganti rugi, tertawa pelan melihat reaksi yang ditunjukkan.
"Temen …, Sayang. Kamu cemburu?" tanyanya ringan dengan pandangan mata fokus ke jalan raya sedang tangannya memegang kemudi.
"Ish. Siapa yang cemburu? Cuma nggak suka aja."
"Lah, ya, sama aja, dong."
"Ih …, udah, deh, aku gak mau debat. Nyetir aja yang bener!" Aku yang mulai BT memilih menyudahi perdebatan. Melihatku yang uring-uringan, Mas Andre hanya tersenyum tipis kemudian menggeleng pelan.
***
Malam ini, di depan cermin kamar mandi, aku terus membetulkan posisi baju tipis dan menerawang yang melekat di tubuh kurusku.
Dilihat dari sisi mana pun, kenapa pakaian ini jauh dari kata sopan, ya? Lantas bagaimana aku harus menemui Mas Andre dengan pakaian begini?
"Cil. Kayaknya aku punya julukan baru, deh buat kamu." Terdengar Mas Andre berteriak dari pintu kamar mandi. Membuatku semakin gugup saja.
"Selain Bocil Bawel dan Akal Bulus, ternyata kamu juga Putri Kamar Mandi …." Dia bersuara lantang saat menyematkan julukan baru untukku.
"Ish, bawel, deh." Aku mencoba menetralkan debar dalam d**a saat melihat wajah dan tubuhku dari pantulan cermin besar di kamar mandi mewah ini. Ya ampun … sudah seperti w************n saja penampilanku saat ini. Astaghfirullah.
"Cil. Buruan, deh, keluar. Jangan bercanda, deh, Cil! Masa iya kamu pengen mengukir sejarah malam pertama di kamar mandi? HAHAHA.
"Cerewet, deh!" Aku menyahut geram.
"Ya udah, buruan keluar! Hari ini nggak boleh ada alasan lagi. Pokoknya, aku dan kamu harus jadi kita. Titik."
Ya ampun, orang itu!
Benar-benar menjengkelkan.