Lingerie, Sayang ....

1008 Words
Hapus? Jangan? Hapus? Jangan? Aku terus menimbang-nimbang langkah terbaik apa yang akan diambil setelah membaca dua pesan dari Zahra tadi. Ah, hapus saja lah. Daripada jadi penyakit. Melihat Mas Andre yang masih terlelap membuatku yakin untuk menghapus pesan dari wanita yang terindikasi sebagai mantan kekasihnya. Enak saja, setelah suaminya meninggal dia ingin kembali lagi pada Mas Andre? No way! Jangan harap, ya! Menghapus pesan untuk semua orang. Klik. Menghapus pesan untuk semua orang. Klik. Aku tersenyum licik setelah melakukan penghapusan pesan. Rasanya ada kepuasan tersendiri saat menjadi penjahat seperti sekarang. Hah, penjahat? Bukan. Bukan aku yang jahat, tapi Zahra. Sudah tau Mas Andre sudah punya istri masih saja ingin cari simpati! Seketika timbul niat di hati untuk mengerjai mantan kekasih Mas Andre yang berpenampilan syar'i tapi masih suka cari perhatian dari suami orang. Huh! "Zahra, mulai sekarang nggak usah WA-WA aku lagi, ya. Aku udah punya istri. Istri aku galak soalnya, kayak singa. Takutnya kamu diamuk sama dia. Kan bisa berabe." Send. Aku terus menahan tawa pasca menulis pesan WA unfaedah itu. Terlihat pesan yang kukirimkan centangnya berubah biru. Yes! Berarti dia sudah baca. Giliranku menanti pesan balasan darinya. Harap-harap dia bakal mengaku salah dan meminta maaf. Pastinya itu akan sangat memuaskan. Aku mengetuk-ngetukkan tumit ke lantai saat menunggu pesan balasan dari janda muda itu dengan rasa tak sabar. Sekian lama kunantikan, pesan balasan tak kudapatkan. Aku begitu gugup saat melihat Mas Andre menggeliat. Mungkinkah dia bangun kali ini? Dadaku berdebar hebat takut tertangkap basah tengah mengobrak-abrik ponselnya. Ya ampun, bagaimana ini? Buru-buru kuhapus pesan iseng yang kukirimkan pada Zahra tadi. Dengan gerakan cepat, kuletakkan ponsel kembali ke tempat semula. Berharap suamiku tak curiga kalau aku telah mengotak-atik ponsel sekaligus mengerjai mantan kekasihnya. Beginikah rasanya jadi maling yang takut tertangkap basah? Mendebarkan! Benar-benar memacu adrenalin. Aku mengembuskan napas penuh kelegaan saat menyadari suamiku belum bangun sampai saat ini. Aku yang sebenarnya juga sedikit lelah, ikut merebahkan diri di samping suamiku seraya terus berharap Zahra tak membalas lagi pesan yang tadi kukirimkan padanya. Ah, beginikah rasanya menjadi buronan? Sungguh, aku takut Mas Andre tahu kalau aku sudah mengotak-atik ponselnya. Itu aib. Aku hampir terlelap merasa kaget saat merasakan ada yang mengusap pipiku. "Mas …." Aku yang baru hendak memejamkan mata terlonjak dan melebarkan bola mata. Mas Andre hanya tersenyum kala melihat ekspresi kaget yang kutunjukkan. "Apa, Sayang? Nggak jadi tidur?" tanyanya seraya mengulas senyuman mautnya yang memabukkan. Sungguh, jika saja aku tak tahu kalau dia ini badboy, mungkin saja aku akan sangat mudah jatuh cinta padanya. "Nggak usah manggil sayang! Nggak lagi di depan Zahra," ketusku lantas mengangkat tubuh dan duduk bersandar di kepala ranjang. "Cie … ada yang cemburu." Mas Andre justru menggodaku dengan mengataiku cemburu. Keterlaluan sekali dia. "Ish, siapa yang cemburu coba? Kalau kamu mau balikan sama dia juga ga masalah. Malah kebeneran," ungkapku penuh penekanan di dua kata terakhir. "Jadi kamu nyuruh aku poligami dan jadiin Zahra istri mudaku, begitu maksudmu?" ledeknya menjengkelkan. "Ish, kalau mau balikan sama dia ya sama aku udahan. Gimana, sih?" Aku menggerutu sambil mengerucutkan bibir. Jujur saja, aku benci dengan yang namanya poligami. Dan jika memang Mas Andre masih mengharapkan janda muda itu, lebih baik aku mengalah. Aku tak mau jadi istri tua. Takut makan hati. "Nggak mau, pengennya dua. HAHAHA." Tawanya terdengar membahana, memenuhi indera pendengaranku. "Dasar, Badboy serakah." Aku berucap ketus sambil mendelik menatapnya. Lagi-lagi Mas Andre terpekik seolah menganggap kemarahanku seperti sebuah lelucon. Untuk beberapa saat, kami saling diam. Sungguh hatiku masih diliputi rasa was-was membayangkan seandainya Zahra benar-benar membalas pesanku tadi. Mati lah, aku. Tamat riwayatku. Refleks tanganku menepuk kening tanpa terasa. Beginikah rasanya jadi orang usil? Hidup jadi tak tenang dan dirundung kecemasan. "Lu kenapa, Cil?" Mas Andre bertanya heran padaku. "Ah, enggak, Mas, kayaknya ada nyamuk tadi." Aku menjawab sekenanya. "Mana nyamuknya?" Mas Andre memindai wajahku dengan seksama. "Ini, di sini." Aku menunjuk kening dengan gugup. Takut dramaku ketahuan. "Kurang ajar itu nyamuk." Tanpa terduga, Mas Andre mengecup keningku menciptakan debar-debar aneh dalam d**a. "Ish. Dasar nakal!" Aku mencebik bibir saat menatap lekat wajah suamiku yang tersenyum licik pasca mengecup kening istrinya ini. "Cil, sekarang aja, yuk." Mas Andre merapatkan tubuhnya lantas memeluk erat tubuhku. Membuatku jadi sangat serba salah. "M-Mas, kalau kita ngelakuin sekarang, sampai kapan pun aku gak ada kenangan malam pertama, dong." Aku yang memang belum benar-benar siap melakukan 'itu' dengannya, mencoba mencari alasan masuk akal agar Mas Andre tak menuntut haknya sekarang. "Oh … gitu? Oke, lah, Honey." Mas Andre melepas pelukan saat menyadari ada beberapa pesan masuk ke ponselnya. Wajahku seketika pucat saat membayangkan jika saja Zahra merupakan salah satu pengirim pesan di gawai Mas Andre kali ini. Jantungku berdegup hebat saat mencuri pandang ketika Mas Andre men-scroll layar ponselnya. Hati ini terus berdoa Zahra tak lagi mengirimi suamiku pesan balasan. "Kamu kenapa, Cil?" Mas Andre menatapku curiga saat mungkin menyadari aku melirik-lirik layar ponselnya. "Eng-enggak kenapa-napa, Mas." Aku membalas gugup pertanyaannya. Mas Andre hanya menggeleng sambil mengetik entah untuk dikirimkan pada siapa. Namun yang jelas aku berharap tidak pada Zahra. Aib itu. Aib …. *** "Cil, shopping, yuk," ajak Mas Andre selepas makan siangku dengannya berakhir. Sementara mama mertua beserta Mbak Emi—ART di rumah ini masih di rumah sakit menunggu Gerald diizinkan pulang. "Hah, apa? Shopping?" balasku gugup. "Iya … belanja." Aku mencebik bibir. Pakai dijelaskan lagi. Macam lah aku ini bodoh sangat. Ups! Kok jadi ikut logat Upin-Ipin, sih? "Mau beli apa emang?" Aku menyelidik. "Ntar juga tau." *** "Mau warna merah sama hitam aja, Mbak," ujar Mas Andre seraya mengambil kartu kredit dari dalam dompetnya di depan kasir. "Yang bener aja, Mas. Kamu beliin baju tipis menerawang ini buat aku?" Aku menggerutu kesal saat Mas Andre memilih empat buah lingerie di butik pakaian dalam ternama ini. "Lingerie, Sayang. Tolong jangan katrok-katrok banget, lah …" Mas Andre lagi-lagi terpekik, seperti menganggap kalau aku ini benar-benar t***l sehingga tak bisa membedakan mana lingerie mana saringan. Aku berdecak sebal. Tak menyangka kalau ajakannya shopping tak lain hanya untuk membeli pakaian tipis tapi mahal ini. Dasar otak m***m! Yang di pikirannya selalu tak jauh-jauh dari urusan ranjang. Menyebalkan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD