Dengan masih memakai jaket milik Ulin, Sila duduk berhadapan dengan sosok yang menyerupai mantan kekasihnya. Tangan yang masih dingin mencoba mencari kehangatan dari secangkir coklat panas di hadapannya. Di seberang sana, Alle menyesap kopi perlahan. Ulin sengaja membiarkan mereka berdua bicara empat mata. Dia sendiri memilih duduk agak jauh dari mereka. Memberi kedua orang itu privasi.
“ Dia meninggalkan surat untukmu.” Alle meletakkan cangkir kopi ke atas meja. Waktunya bicara. Kepala Sila terangkat, ia terlihat kaget. Bibirnya mulai terbuka perlahan.
“ Su-surat ?” tanyanya nyaris dengan suara mirip desisan. Alle memperhatikan gadis di hadapannya. Rambutnya masih setengah basah. Jaket yang terlihat kebesaran untuk tubuh kecil itu nyaris membuat gadis itu terlihat tenggelam. Ia mengangguk.
“ Iya. Surat yang ia tulis sebelum masuk ke ruang operasi.” Mendengar itu, kedua mata Sila langsung memanas. Bulir-bulir bening itu kembali menetes tanpa permisi. Ia menunduk. Hatinya masih terasa begitu sakit tiap kali mengingat kekasihnya tak lagi ada. Kedua telapak tangan yang sedang mencari kehangatan pada secangkir coklat panas itu bergetar. Sila menarik kedua tangannya ke bawah meja. Di atas pangkuan, kedua tangan itu terkepal kuat. Bayangan Hesa dengan baju operasi berkelebat dalam benaknya. Membayangkan tubuh lelaki itu penuh dengan selang membuat Sila semakin menggigil.
“ A-ak-ku … ha-rus … pulang.” Sila merasa tidak akan sanggup berlama-lama di tempat itu bersama dengan seseorang yang mengingatkan dirinya pada Hesa. Pikirannya kacau. Ia tidak bisa mengontrol emosi. Alle menghela nafas, tangannya masuk ke saku jaket bagian dalam. Sepucuk surat ada ditangannya. Sesaat ia menatap surat yang sudah bertahun-tahun ia simpan. Ia mendesah. Sudah saatnya surat itu bertemu sang pemilik asli. Ia meletakkan di atas meja, kemudian mendorongnya ke hadapan Sila. Mata Sila mengerjap berkali-kali. Tak ada pergerakan dari gadis itu kecuali kerjapan bola mata.
“ Ini milikmu.” Alle menatap wanita yang masih menunduk menatap sebuah amplop putih di depannya. “ Ambillah … “ lanjutnya. Sebelah tangan Sila keluar dari balik meja. Dengan sedikit gemetar tangan itu menyentuh amplop tersebut. Jari-jari lentiknya mengusap sisi atas amplop. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu, Alle tidak dapat menebaknya. Ia tahu Sila sangat mencintai Hesa. Ia bisa melihat cinta itu dengan jelas. Bahkan setelah lima tahun berlalu, perasaan gadis itu masih begitu kuat. Hesa sangat beruntung memiliki cinta gadis itu. Akan tetapi sayang, mereka harus terpisah oleh maut. Satu hal yang tidak bisa mereka lawan. Hesa sudah berjuang keras melawan penyakitnya. Berusaha tidak mengeluh saat sakit mendera pria itu. Seandainya saja operasi itu berjalan sesuai harapan. Seandanya saja.
Flashback off
“ Sila ??” Nafas wanita muda yang berprofesi sebagai seorang Dokter itu masih memburu. Matanya mengerjap ketika mendengar namanya di panggil. Suara yang masih sangat dia kenal itu memanggil namanya.
“ Kalian sudah saling kenal ?” Sila menoleh ke samping, mendapati seorang wanita paruh baya yang baru dia ketahui bernama Raya ada di sampingnya. Menatapnya penuh tanya.
“ Dia Sila Ma … Sila nya Alva.” Begitu penjelasan Alle terdengar, Raya menutup mulut dengan dua telapak tangannya. Matanya melebar. Dunia memang sempit. Setelah enam tahun akhirnya ia bisa melihat sosok Sila yang sempat di dengarnya dari sang sulung. Sosok gadis istimewa yang membuat putranya itu bersemangat untuk sembuh. Ya .. dia ingat. Nama gadis itu Sila. Begitu Alva memanggilnya. Hanya saja ia tidak menyangka akan menemukan gadis itu di rumah sakit. Lebih tidak menyangka lagi bahwa ternyata Dokter Faisila yang menolong putra ke-dua nya adalah Sila yang ingin ia temui. Tuhan memberi jalan pertemuan mereka dengan cara berbeda. Tangan wanita paruh baya itu turun, kemudian menangkup kedua tangan Sila yang berada diatas pangkuan Dokter muda tersebut. Matanya sudah memanas. Suaranya bergetar ketika ia membuka mulut.
“ Saya Raya … Mama Alva.” Bulir air mata turun membasahi pipi wanita tersebut. Pantas saja sang putra sulung sangat mencintai gadis ini, batinnya berkata. Gadis ini sangat baik. Ia bisa tahu bahkan dari pertama bertemu. Gadis yang memiliki hati lembut. Bagaimana gadis itu memperlakukannya ketika pertama bertemu, sudah bisa membuatnya melihat seperti apa Dokter Faisila.
“ Akhirnya kita bisa bertemu.” Raya mengusap tetes-tetes air mata yang mengalir di wajahnya. “ Alva banyak bercerita tentang kamu.” Lanjutnya. Tangan Sila bergerak ke bawah hidung. Menggosoknya beberapa kali ketika air mata mulai mengumpul pada kedua sudut mata.
“ Dia sangat mencintai kamu.” Bulir-bulir yang sudah terkumpul itu akhirnya turun. Dengan cepat Sila menyekanya. Kepala gadis muda itu mengangguk. Tentu saja ia tahu Hesa sangat mencintainya. Dia tidak perlu meragukan perasaan lelaki itu.
“ Dia sudah berjuang. Tapi Tuhan lebih menyayanginya. Tante harap, Sila bisa mengiklaskan kepergian Alva. Dia sudah bahagia bersama-NYA.” Tangis Sila pecah, ia menunduk dalam. Kedua bahunya bergetar kuat. Apakah ia sudah mengikhlaskan kepergian Hesa ? ia tidak tahu. Tetes-tetes air mata itu turun semakin deras. Ia kembali merasa hancur. Menyadari kehilangan terbesar setelah sang Mama. Selama ini ia masih menganggap Hesa ada di sekitarnya. Pria itu masih terus menyemangati apapun yang ia kerjakan. Masih sering hadir dalam tiap tidur ayamnya. Hanya tersenyum seperti biasa. Tersenyum manis kearahnya tanpa berkata sepatah katapun. Bagi Sila itu sudah cukup. Melihat pria itu sudah cukup untuk merasakan kehadirannya. Di ruang kerja, di kamar, di klinik dia bisa melihat pria itu.
Dering suara ponsel menyentak lamunannya tentang Hesa. Ia menghapus sisa-sisa air mata yang sudah setengah kering, sebelum mengangkat panggilan yang ternyata dari perawat yang bertugas bersamanya. Suara seraknya menyapa sang perawat.
“ Sudah saatnya visit Dok.” Sila terlalu larut dalam kesedihan hingga hampir saja melupakan tugasnya di tempat itu. Ia seorang Dokter. Bukan lagi gadis SMA dengan seragan putih abu-abu.
“ Baik. Tolong bawakan data pasien diatas meja, dan langsung temui saya di lantai 5.” Pinta Sila pada sang perawat. Akan terlalu memakan waktu jika ia harus kembali ke lantai 1 terlebih dahulu. Sila beranjak, menatap wanita paruh baya yang juga ikut beranjak. Tentu saja wanita paruh baya itu mendengar pembicaraan Dokter muda di hadapannya.
“ Saya permisi.” Pamit singkat Sila yang diangguki Raya. Sila berpaling ke arah di mana ranjang pasien berada.
“ Semoga cepat sembuh.” Ia mengangguk kecil, sebelum berbalik, kemudian berjalan cepat meninggalkan ruangan yang sudah membawanya kembali ke masa lalu selama beberapa saat.
Di tempatnya berbaring, Alle menatap punggung Sila hingga lenyap tertelan daun pintu. Ia sendiri terkejut saat melihat gadis itu muncul dari balik pintu bersama Mamanya. Tidak pernah terpikir akan kembali bertemu dengan mantan kekasih sang kakak kembar, setelah pertemuan terakhir mereka setahun silam. Ia menghela nafas, memutar kepala ke arah sang Mama yang masih menatap pintu, tempat terakhir Sila menghilang.
“ Ma … “
“ Jadi itu yang namanya Sila ?” tanya sang mama tanpa mengalihkan pandangan. Ia masih mengingat bagaimana Alva bercerita tentang seorang gadis teman sekelasnya yang bernama Sila. Wajah Alva kala bercerita tampak begitu bahagia. Ia pernah mengatakan ingin mengenalkan Sila padanya, hanya saja saat itu ia sedang tidak berada di Indonesia. Saat pemakaman Alva, Ia bahkan menyempatkan bertanya pada salah seorang teman sekelas sang putra sulung yang hadir. Gadis itu tidak datang, hingga ia tidak bisa bertemu dengannya. Namun sekarang, setelah enam tahun berlalu, akhirnya dia bisa melihat gadis itu. Sosok yang menjadi penyemangat sang putra. Suara hela nafas kasar Alle membuatnya menoleh.
“ Ya … dialah Sila. Sila nya Alva.” Tatapan sang Mama masih menelisik, seolah masih mengunggu ia melanjutkan kalimatnya. Alle mendesah.
“ Alle ketemu dia tahun lalu Ma … buat kasih surat terakhir Alva.” Akhirnya Alle bisa melihat kepala sang Mama menganguk.
“ Jadi … kalian sudah saling kenal ?”
“ Tidak bisa dikatakan kenal Mama. Hanya pernah bertemu. Itu dua hal yang berbeda.” Sanggah Alle. Mereka memang tidak bisa dikatakan saling kenal. Saat pertemuan terakhir pun mereka tidak banyak bicara. Gadis itu terlalu kacau saat mereka bertemu. Alle tahu saat itu Sila pasti sangat terkejut mendapati dirinya. Mendapati mantan kekasihnya memiliki saudara kembar. Ia tahu kakak kembarnya itu tidak pernah menceritakan tentang keberadaan dirinya. Dan dia tahu apa alasan Alva.
“ Apa … dia sudah punya kekasih sekarang ?”
“ Ma … “ Alle langsung menatap tajam sang Mama. Entah kenapa ia menjadi was-was mendengar pertanyaan sang Mama. Raya membalas tatapan sang putra. Alva, dan Alle, mereka kembar identik. Mereka juga saling berbagi perasaan. Saat yang satu sakit, maka yang lain juga ikut merasakan. Tidak ada salahnya kan kalau ia berharap Sila bisa berakhir bersama Alle ? Dua anak kembarnya memang memiliki sifat yang berbeda. Alva, dia tergolong anak yang tenang. Dia pendengar yang baik. Sedang Alle, dia sedikit lebih meledak-ledak. Tapi ia tahu keduanya memiliki hati yang baik. Mereka berdua saling menyayangi.
“ Tidak ada yang salah dengan itu Alle. Mama yakin Alva pun akan senang jika kalian bersama.” Kata sang Mama, seperti mengetahui apa yang sedang ia pikirkan. Dan benar saja … tepat seperti yang Alle pikirkan. Sang Mama ingin ia menggantikan posisi Alva di hati gadis itu. Alle selalu membenci tiap kali harus dibandingkan dengan Alva. Alva yang pandai, Alva yang tenang, Alva yang menyenangkan, Alva yang baik. Semua hal tentang Alva yang semuanya positif. Berbanding terbalik dengan dirinya.
“ Dia bukan untukku.”