Part 3. Fakta

1372 Words
Sila merasa tak lagi bisa mengendalikan raganya sendiri. Tubuh itu mendadak lemas. Ia pasti sudah jatuh merosot ke lantai, jika saja Raya tidak cekatan mencekal bahu wanita muda itu. Raya kebingungan melihat reaksi Dokter Faisilla. Wajah Dokter muda itu seperti tak lagi terjangkau aliran darah. Pucat pasi. Ia yakin sebentar lagi, Dokter yang masih ada dalam rengkuhan tangannya tersebut akan segera pingsan. Raya dengan perlahan membawa Sila menuju sofa. Tak sepatah katapun keluar dari bibir pucat tersebut. Tatapan mata Sila kosong. Faisila seperti terlempar kembali ke masa setahun silam. Pertemuan pertamanya dengan sosok itu. Sosok yang sama persis dengan Hesa nya. Hanya suara laki-laki itu yang sedikit lebih berat dari suara Hesa yang dia ingat dengan baik, karena tersimpan rapi dalam kotak memorinya. Ah … dan potongan rambutnya. Ya … laki-laki itu memiliki rambut yang lebih berombak dibanding Hesa yang memiliki struktur rambut lurus. Selain itu, ia tidak menemukan perbedaan diantara kedua orang tersebut. Kakak beradik kembar Mahesa itu sama persis. Flash back “ Aku Alle … adik kembar Alvaro Mahesa Permana.” Tubuh Sila seketika merosot. Dengan cekatan tangan yang semula menggantung itu menahan lengan Sila. Tubuh Sila sudah basah dengan air hujan. Begitu juga tubuhnya yang sebentar lagi pasti akan sebasah Sila jika mereka tidak segera mencari tempat yang teduh. Alle memapah tubuh lemah Sila. Tidak hanya lemah, tubuh itu juga menggigil hebat hingga Alla harus mendekapnya dari samping. Yang terpikir dalam otak Alle adalah kemungkinan Sila kedinginan setelah cukup lama terkena hujan, meskipun tidak begitu deras. Tapi ternyata dia salah. Tubuh yang coba dia hangatkan itu justru tambah bergetar. Ia menghentikan langkah tepat di depan gerbang. Mencoba memperhatikan sosok disampingnya, ia merunduk. Wajah itu pucat dengan bibir yang masih bergetar. “ Ada apa ?” Ulin segera turun dari mobil dan berlari menghampiri Sila yang terlihat sangat tidak baik-baik saja. Dia pikir keduanya akan mencari tempat berteduh di antara beberapa makam yang memang di bangun dengan atap menyerupai sebuah rumah, untuk berbicara. Namun melihat kondisi Sila dengan tubuh bergetar, dan pakaian yang sudah cukup basah, Ulin segera melepas jaket yang ia pakai. Memakaikan jaket tersebut ke tubuh sang sabahat, kemudian menarik tubuh itu untuk ia dekap. “ Semua akan baik-baik saja.” Bisik Ulin di telinga Sila. Ia tahu Sila mungkin shock melihat kedatangan seseorang yang terlihat sama persis seperti mantan kekasihnya, Hesa. Tapi Sila memang harus bertemu dengan Alle setelah beberapa waktu lalu ia tahu Alle mencari gadis itu. Alle menghubunginya setelah bertemu dengan Arda, salah satu teman sekelas mereka ketika berada di Jepang. Dari Arda lah Alle tahu kemana harus mencari Sila. Alle menghubungi Ulin, dan menceritakan kepentingannya untuk menemui Sila. Ada surat yang Hesa tinggalkan untuk Sila. Ulin yakin Sila akan senang menerima surat dari Hesa. Surat itu bisa sedikit mengobati kerinduan sang sahabat. Begitu mengetahui kabar kedatangan Sila dari sahabat dekat gadis itu, Mila, Ulin segera menghubungi Alle. Dan akhirnya di sinilah mereka berdua bertemu. Hanya saja Ulin tidak menyangka apabila reaksi Sila akan seperti itu. Ulin merasakan cengkeraman tangan Sila di pinggang. “ Antar Aku pulang. Aku melihatnya … tapi bukan dia.” Racau Sila. Sila masih belum bisa mempercayai penglihatannya. Yang ingin ia lihat dalah Hesa, bukan yang lain. Tapi kenapa yang muncul di hadapannya justru seseorang yang mengaku sebagai adik kembar Hesa. Dia tidak ingin melihat adik kembar Hesa. Hanya Hesa yang ingin ia lihat. Ia ingin kembali tidur hingga alam mimpi bisa membawanya melihat sang kekasih. Ia ingin tidur, dan terbangun tanpa tahu Hesa memiliki adik kembar. Ia ingin tidur, dan terbangun dengan Hesa ada bersamanya. “ You need to talk to him.” Pelan Ulin berbisik. Sila menggeleng lemah. Ulin mengusap punggung sang sahabat. Getar tubuh itu sudah perlahan berkurang. Sila perlu tenang terlebih dahulu. Kemungkinan gadis itu masih shock, dan belum bisa mengontrol emosinya. Di tempatnya berdiri, Alle memperhatikan kedua sahabat tersebut. Bagaiman Ulin mencoba menenangkan Sila yang terlihat begitu kacau. Ia tahu gadis itu. Kedua tangannya terkepal erat. Ia masih mengingat saat gadis itu berlari, dan memeluknya. Keadaan gadis itu hampir sama dengan keadaannya saat ini. Hanya saja ia berada di dalam pelukan orang yang berbeda. Bukan dirinya. Wajahnya mengeras, ia melarikan bola mata ke tempat lain. Tidak ingin melihat pemandangan di depan mata yang membualnya kesal tanpa alasan jelas. Oh ayolah … Alle tidak seharusnya marah melihat Ulin memeluk Sila. Siapa Sila untuk Alle ? Sila bahkan tidak tahu mereka pernah bertemu sebelumnya. Sila hanya mengenal kakak kembarnya, Alvaro Mahesa. Sila tidak mengenal Allegra Mahesa. Alle menghela nafas panjang, membenarkan bisikan otaknya. Dia bukan siapa-siapa untuk Sila, dan dia tidak punya hak apapun untuk marah saat melihat kedekatan gadis itu dengan lelaki lain. Jangtungnya berdetak lebih kencang. Apakah saat ini perasaan Alva yang sedang menyelimuti hatinya ? mungkinkah rasa marah itu milik Hesa karena melihat kekasih yang ia cintai berada dalam pelukan pria lain ? sekarang ia mengerti. Itu terasa lebih masuk akal baginya, dari pada ia memikirkan kemungkinan ia jatuh hati pada gadis itu. Ia dan kakak kembarnya memang sering berbagi perasaan. Saat Alva sedih, ia bisa merasakan kesedihan itu. Saat ia sedang galau, Alva pun bisa merasakan galau yang sama. Kepalanya memutar ke belakang. Di dalam sana tempat peristirahatan Alva yang terakhir. “ Alle … “ panggilan itu membuat Alle tersentak. Ia segera berbalik kembali, dan mendapati pria yang ia kenal bernama Ulin. Ulin sudah melepaskan pelukan mereka, namun tangannya masih menggenggam erat sebelah telapak tangan Sila. Mata tajam Alle bergulir ke samping. Sila, gadis itu masih menundukkan kepala. Kepala itu masih tidak ingin mendongak. Tidak ingin melihatnya. Ia tahu dirinya pasti mengingatkan gadis itu pada Alva. Mereka memang kembar identik hingga banyak yang tidak bisa membedakan mereka berdua. “ Sila kedinginan. Bisa kita cari tempat untuk bicara sembari Sila menghangatkan badan ?” Ulin manatap wajah bak pinang dibelah dua dengan Hesa. Wajah mereka sama persis. Tidak heran Arda sampai salah mengenali pria di hadapannya ketika mereka bertemu di Jepang. Menurut cerita Arda, dia bahkan langsung memeluk pria yang ia sangka teman SMA mereka … Hesa. Kata Arda, dia seperti bermimpi saat melihat Hesa, dan mulai berpikir bahwa kematian Hesa hanya hoax semata. Teman mereka sang bintang lapangan basket itu masih hidup. “ Baik.” Jawaban Hesa membawa Ulin kembali pada kenyataan. Ia menoleh ke samping, Sila masih belum mau mengangkat wajah. “ Kami ikuti mobil kamu.” Jawab Ulin tanpa mengalihkan tatapan dari Sila. Ia masih memperhatikan bahu sang sahabat yang naik turun dengan cepat. Apa Sila menangis ? tanya Ulin dalam hati. Alle melirik genggaman tangan keduanya yang masih belum terurai, sebelum beranjak berjalan menuju mobil ferrari hitam yang terparkir di belakang mobil yaris milik Ulin. Ulin menarik tangan Sila, membawa gadis itu kembali ke mobil. Membukakan pintu untuknya, sebelum berjalan memutar ke sisi kanan mobil. Mobil Alle perlahan bergerak, diikuti mobil yang dikendari Ulin di belakang. Sila akhirnya bisa bernafas dengan benar. Kepalanya terangkat menatap mobil hitam di depannya. Ia masih mengingat mobil itu. Mobil yang di pernah membawanya pulang setelah malam penggerebekan balap liar itu. Matanya membelalak, kemudian kepala itu menoleh ke kanan, ke arah sang sahabat yang sedang mengendari mobil. “ Sejak kapan kamu tahu Hesa punya saudara kembar ?” Ulin melirik Sila dari spion atas. “ Beberapa bulan yang lalu.” Jawab Ulin sambil terus memperhatikan mobil di depannya. Tidak ingin kehilangan jejak. Alle mengendarai mobilnya lumayan kencang. “ Benar ??!” tanya Sila dengan penuh penekanan seolah ia tidak percaya dengan jawaban sang lawan bicara. Kening Ulin mengernyit, sebelum kembali melirikkan mata ke spion. Merasa heran mendengar nada tanya yang keluar dari mulut sang sahabat. Ia mengangguk. Meskipun tidak menoleh, ia yakin Sila melihat kepalanya menganguk. Sila kembali menatap ke depan. Apa mungkin ia salah ? tapi sepertinya pemikirannya masuk akal. Saat itu ia sendiri bahkan merasa heran karena pria yang ia kenali sebagai Hesa, melupakan alamat rumah yang sudah dua kali ia datangi. Lalu pemikirannya kembali pada perbincangan mereka di dalam mobil. Ia jelas mengingat bercerita tentang Rafid saat itu. Rafid sebagai sosok yang sudah ia anggap seperti kakak kandung yang tidak pernah ia miliki. Lalu Hesa yang di temuinya di sekolah kembali bertanya apa hubungannya dengan Rafid. Ia pikir Hesa melupakan pembicaraan mereka malam itu. Tapi sekarang, semua benang merah itu sudah terhubung. Ia menoleh kearah Ulin. “ Malam itu … bukan Hesa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD