Part 5. Kegalauan Sila

1553 Words
Sila menghempas tubuh lelahnya keatas pembaringan. Ia baru pulang dari klinik. Waktu sudah menunjukkan pukul 9.30 malam. Hela nafas lelah beberapa kali keluar dari mulut gadis itu. Matanya nyalang menatap ke atas. Bukan hanya tubuh yang lelah, tapi juga pikiran. Sudah tiga hari sejak ia kembali melihat kembaran Hesa, selama itu pula wanita paruh baya yang ia ketahui sebagai Mama mereka selalu mendatanginya dengan bermacam-macam makanan. Wanita itu bilang, apa yang ia bawa hanya bagian dari rasa terima kasih karena sudah menolong Alle. Sila sudah jelas-jelas mengatakan bahwa itu sudah menjadi tugas seorang Dokter. Menolong siapa pun yang membutuhkan pertolongan. Namun tetap saja, wanita itu tidak menyerah. Sila hanya berdoa semoga Alle segera bisa rawat jalan. Ia bahkan sampai menghubungi Dokter yang menangani Alle, menanyakan kondisi, dan kapan pria itu bisa keluar dari rumah sakit. Jangan bertanya bagaimana tatapan Dokter Prabu, Dokter ortopedi yang menangani Alle. Pria 45 tahun itu menatapnya penuh minat, kemudian langsung menanyakan apa hubungan Sila dengan pasien yang ia tangani. Sila mendesah. Berkali-kali membuang pikiran seberapa mirip Alle dengan Hesa. Seberapa ingin ia memeluk tubuh itu untuk bisa merasakan kembali kehangatan Hesa. Sebelah tangan Sila bergerak meraih ponsel di atas nakas, samping tempat tidur. Matanya memicing mencari kontak nama seseorang, kemudian menghubungi orang tersebut. “ Hmm … “ sambutan dari seberang telepon setelah beberapa kali nada sambung terdengar. “ Kamu udah tidur Mil ?” tanya Sila. Ia beranjak untuk bersandar di kepala ranjang. Dia pikir belum terlalu larut untuk menghubungi sang sahabat, tapi ternyata dia salah. Suara Mila jelas terdengar seperti suara orang yang baru bangun tidur. “ Aku ketiduran di depan TV. Mas Alif lembur.” Jawab Mila sambil menguap. “ Kamu mau tidur lagi ? aku tutup nih kalau iya.” “ Nggak … Nggak. Justru aku seneng kamu telepon. Biar aku nggak ngantuk sambil nunggu Mas Alif pulang.” Alif adalah suami Mila, sahabat Sila sejak SMA. Mereka menikah setahun lalu, dan sekarang sang sahabat itu sedang berbadan dua. Sila tentu saja ikut bahagia. Sebentar lagi ia akan memiliki seorang keponakan. Sila menghela nafas. “ Kami bertemu lagi.” Hening. Tidak ada sahutan dari seberang telepon. Sila pun ikut terdiam. Menerka apa yang terjadi dengan sang sahabat. Apakah wanita itu justru sudah jatuh tertidur lagi ? sehingga ia tidak merespon Sila. “ Mil … Mila … kamu tidur ya ??” tanya Sila pelan-pelan takut jika benar sang sahabat sudah kembali tertidur, suaranya akan membangunkan wanita hamil itu. Di tempatnya berada, Mila dengan susah payah bangkit dari posisi tidur miring di sofa depan televisi. Televisi itu masih menyala meskipun tak ia lihat sama sekali. Usia kehamilan yang sudah menginjak 8 bulan mulai membuatnya kesulitan bergerak dengan cepat. Setelah mengatur duduknya dengan nyaman, Mila berdehem hingga membuat Sila sadar bahwa sang sahabat masih bersamanya. “ Maksudmu … kamu bertemu siapa ?” tanya balik Mila ketika sudah cukup lama Sila diam menunggu komentar sang sahabat. Sila mendesah. Ternyata Mila belum bisa menebak siapa yang ia maksud. “ Alle. Allegra Mahesa Permana.” Jelas Sila dengan menyebut nama lengkap Alle. “ Hah ???!!” Kali ini respon yang Sila dapat dari sang sahabat terlalu cepat. Lengkap dengan pekikan wanita itu. Sila meringis, takut jika bayi dalam kandungan sang sahabat terkejut, dan malah ingin segera keluar. “ Jangan teriak Mil … kasihan bayi kamu itu.” Keluh Sila. “ Alle kembaran Hesa ? Hesa nya kita ??!!” sepertinya Mila tidak mempedulikan keluhan Sila. Wanita itu justru semakin terpekik. Yang tidak Sila ketahui bahwa di rumahnya, Mila bahkan sudah langsung berdiri dengan sebelah tangan memegang bagian bawah perutnya. Ia terlalu terkejut. “ Hmm … “ Mila berdecak ketika jawaban sang sahabat hanya gumaman saja. Ia masih ingat ketika satu tahun yang lalu Sila bercerita tentang sosok adik kembar Hesa. Saat itu dia bahkan serasa mau pingsan. Dia pernah menebak Hesa memiliki saudara kembar, namun saat itu ia pikir tebakannya meleset. Siapa yang menyangka bahwa ternyata tebakannya terbukti benar setelah 5 tahun berlalu. Bukankah dia hebat ??? “ Jangan cuma hmm dong Sila. Ayo cerita. Di mana kalian ketemu ? apa dia masih sama seperti Hesa ?” Dalam hati Sila mengumpati sang sahabat ketika wanita itu justru terdengar sangat antusias. Berbanding terbalik dengan dirinya yang justru merasa galau … kacau. Bagaimana tidak ? menatap Alle seperti menatap Hesa nya. Dia ingin memeluk, tetapi tidak bisa. Rasanya Sila ingin menangis saja. “ Sila … “ panggil pelan sang sahabat. Sebelah tangan Sila mengusap tengkuk yang tiba-tiba terasa meremang. “ Iya … Alle kembarannya Hesa. Dia … di rumah sakit.” Jawab Sila pada akhirnya. Sang sahabat akan terus memcercanya dengan pertanyaan yang sama sampai ia menjawab. Lagi pula tujuannya menghubungi Mila karena memang ingin bercerita. Paling tidak mungkin ia akan merasa sedikit lebih lega setelah bercerita. “ Apa … dia juga sakit ?” kali ini nada suara Mila turun 2 oktaf. Lebih terdengar sendu. Mungkin Mila takut Alle juga memiliki sakit yang sama seperti Hesa. Penyakit yang akhirnya membuat Hesa pergi untuk selama-lamanya. Bahkan sebelum sempat bertemu lagi dengan sang kekasih. “ Bukan Mil. Dia di rumah sakit karena kecelakaan tung—” “ Bagaimana keadaannya sekarang ? dia baik-baik saja kan ?” potong cepat Mila. Ketika mengetahui Hesa memiliki saudara kembar, ia juga berpikir akan menjadi sabahat pria itu. Sama seperti ia menjadi sahabat Hesa saat ia masih hidup. Ia memiliki kenangan yang baik bersama Hesa. Teman yang terlihat cuek, tapi ternyata sangat perhatian. Saat liburan mereka untuk yang pertama, dan terakhirnya, Hesa membiarkan Sila lebih sering bersamanya. Hesa bilang Mila sedang sedih karena habis putus, jadi dia tidak ingin membuat Mila sedih saat melihat dia dan Sila bersama. Meskipun sebenarnya ia tahu sang sahabat menyelinap keluar kamar ketika gadis itu mengira ia tertidur. Tentu saja ia tahu Sila menyelinap untuk bertemu dengan Hesa. Entah apa yang mereka lakukan. Lalu sekarang, mendengar kembaran Hesa ada di rumah sakit, tak terasa hatinya merasa sedih. Apakah ia terlalu berlebihan ? mengingat ia sendiri bahkan belum pernah bertemu dengan Alle. Atau mungkin karena hormon kehamilan hingga ia jadi begitu sensitif ? lebih mudah tersentuh pada hal-hal yang menyedihkan. “ Luka-luka nya sudah membaik. Hanya kaki kanan yang masih di gips karena tulangnya retak.” Jawaban Sila membuat Mila mengusap perut dengan sebelah tangan yang bebas. Ia kembali membawa tubuhnya perlahan duduk di sofa. Sedikit merasa tenang. Entah mengapa ia membayangkan wajah Hesa yang sedang tersenyum. “ Sila … “ “ Hmm … “ “ Aku ingin menengok Alle.” Sila terdiam. Tidak menyangka sang sahabat justru ingin menemui lelaki itu. Sedangkan ia sendiri justru ingin menghindar. “ Keinginan baby Sila … please … “ Dan Sila hanya bisa mendesah kalah saat sang sahabat sudah menggunakan bayi dalam kandungannya itu sebagai alasan. Mila mengulum bibir menahan tawa yang akan keluar. Ia tahu … di tempatnya, sang sahabat pasti sudah menyerah. Ia tahu kelemahan gadis itu. Mila membekap mulutnya dengan sebelah telapak tangan saat sang sahabat masih terdiam. Ia sudah hampir tidak bisa menahan tawa yang ingin keluar. Dan akhirnya tawa itu benar-benar keluar ketika Sila dengan nada pasrah berucap. “ Baiklah … demi keponakanku.” Sila langsung berdecak sebal begitu mendengar tawa kemenangan sang sahabat. Tapi tak lama senyum menghias wajah sendunya. Membayangkan sang sahabat yang tertawa bahagia ikut memercikkan rasa bahagia di hatinya. Ia tak menyangka persahabatan mereka akan tetap langgeng bahkan setelah 5 tahun mereka tidak saling bertemu. Sila terlalu sibuk dengan kuliah kedokteran yang ia tempuh. Ia ingin bisa menyelesaikan secepat mungkin hingga waktu yang ia punya hanya ia gunakan untuk belajar, dan belajar. Satu alasan lain adalah, hanya dengan menyibukkan diri ia bisa melupakan kesakitannya karena kehilangan sang Mama, serta sang kekasih. “ Ok. Besok aku ke rumah sakit. Kamu piket jam berapa ?” Mila dengan bersemangat bertanya. Ia akan meminta ijin suaminya setelah pria itu pulang. “ Jam 9 sampai jam 5. Kalau kamu mau ke rumah sakit jam 11 aja ya. Entar sekalian kita makan siang sama-sama.” Pinta Sila yang diangguki oleh Mila di tempatnya. “ Jangan lupa ijin dulu sama Mas Alif.” Perintah Sila yang terdengar galak di telinga Mila. Mila mencebikkan bibir. Tentu saja ia tahu harus ijin pada suami tercintanya. “ Iya tahu. Kamu kayak Mama aja. Cerewet.” Kesal Mila. Mamanya memang tidak lelah mengingatkan bagaimana Mila harus bersikap pada sang suami. Mungkin usia dia baru 24 tahun tapi tentu saja ia sudah tahu bahwa surga seorang istri itu ada pada sang suami. Jadi dia akan selalu mematuhi kata sang suami. Ia juga hanya akan pergi dengan ijin pria itu. Suaminya adalah orang yang tahu tentang agama dengan baik. Sebagai imam, pria itu mengajari segala hal dalam rumah tangga berdasarkan agama. Tentu saja ia bersyukur mendapat seorang suami seperti Alif. Pria yang 7 tahun lebih tua darinya hingga bisa berperan tidak hanya sebagai suami, tapi juga sebagai seorang kakak disaat-saat tertentu. Suara deru mesin mobil membuat Mila kembali beranjak. Ia mengintip keluar, dan melihat mobil sang suami masuk ke pekarangan rumah. “ Sila … sorry aku tutup dulu ya. Mas Alif sudah pulang. Istri mau menyambut suami pulang dulu nih.” canda Mila dengan kekehan khasnya. “ Iya … iya … yang punya suami. See you besok ya. Salam buat Mas Alif.” “ Sil … “ Sila yang sudah akan memutus panggilan berhenti. “ Ya … “ “ Kamu tidak jatuh cinta pada Alle ?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD