Part 7. Canggung

1495 Words
Mila masih menatap tak percaya sosok yang sedang menatap Sila. Ia sudah duduk di sofa, sementara Sila memilih berdiri di samping bawah ranjang. Tempat Alle masih tergeletak. Tatapan Dokter muda itu hanya menyapu bagian bawah ranjang untuk sekian lama sebelum kemudian mengangkat kepala. Sementara seorang wanita paruh baya yang Mila ketahui adalah Mama Alle hanya mengamati kedua orang yang masih terdiam saling mengamati. Hanya fokus tatapan mereka yang berbeda. Sila terlihat tidak ingin memandang wajah Alle, sementara Alle tanpa menutupi, manatap wajah gadis mantan kekasih sang Kakak kembar. Ia mendesah pelan. Ruang rawat Alle senyap, padahal ada empat orang yang berada dalam ruang tersebut. “ Umm … tante … “ Mila mencoba mencairkan suasana yang membuatnya tak nyaman. “ Ah … ya…” wanita itu berjalan mendekati Mila kemudian duduk di sofa samping Mila. Mila tersenyum. “ Kapan Alle diperbolehkan pulang ?” Raya mengalihkan tatapan ke arah sang putra yang masih menatap lekat sosok berjas putih tak jauh di depannya. Dalam hati ia mencoba menerka apa yang dipikirkan putranya itu hingga menatap mantan kekasih sang kakak sebegitu lekat. “ Tunggu scan x-ray. Katanya besok.” Jawab Raya tanpa mengalihkan pandangan. Mila mengangguk, mengikuti arah pandang wanita di sampingnya. Lagi-lagi ia mendesah. Bagaimana cara mencairkan suasana jika ketiga orang lainnya terlihat enggan bersuara. Mereka seperti hanyut dalam pikiran masing-masing. “ Hesa … “ gumam Mila yang cukup keras hingga terdengar ketiga pasang telinga lainnya. Ketiga orang itu langsung mengalihkan pandangan kearahnya. Ia meringis. Mendadak merasa tidak enak hati. “ Um .. maksud saya … Alva. Dia … teman baik saya.” Dalam hati Mila merutuki dirinya sendiri kala mulutnya lancang membicarakan orang yang sudah tidak ada. Desah dalam dari samping membuat Mila menoleh. Tante Raya menghela nafas panjang. “ Terima kasih sudah menjadi teman baiknya. Dia … sedikit susah berteman.” Tatapan tante Raya terlihat begitu sayu. Ia pasti sedih mengingat sang putra yang sudah tiada. “ Iya … tapi dia teman yang sangat baik.” Mila tersenyum. Kedua tangannya meraih tangan tante Raya yang tampak bersedih. “ Dia juga jadi idola di sekolah kami. Bukan hanya para guru yang menyayangi karena kepandaiannya. Tapi .. kami semua juga menyayanginya. Dia jadi idola di lapangan basket.” Wajah tante Raya terangkat. Kemudian sebelah tangannya mengusap air mata yang sudah lolos. Putra sulungnya memang sangat pandai sejak kecil. “ Iya kan Sil ??” Sila yang masih menatap kosong ke depan terhenyak mendengar pertanyaan Mila. Pikiraannya sesaat lalu melayang membayangkan Hesa di lapangan basket. Cowok culun yang berubah keren saat di lapangan basket. Mata Sila mengerjap. “ Benar kan Hesa idola kita di lapangan basket ?” tanya ulang Mila saat melihat sang sahabat justru terlihat bingung. Sepertinya Dokter muda itu baru saja melamun. Lalu Mila justru terkekeh. “ Ah .. kalau buat Sila, dia bukan hanya idola di lapangan basket. Tapi juga di hatinya.” Kekehannya langsung terhenti begitu menyadari sudah berbuat kesalahan. Kembali mengingatkan masa lalu akan membuat Sila menjadi sedih. Namun jawaban Sila justru membuatnya terkejut. “ Iya benar.” Sila menjawab dengan yakin. Ia menatap sang sahabat, lalu beralih ke sebelah. Ke arah Mama Hesa. “ Dia yang terbaik.” Lanjut Sila dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Selamanya Hesa akan menjadi yang terbaik bagi dirinya. Ia mendongakkan kepala, menahan laju air mata yang mendesak ingin keluar. Ia tidak ingin menangis. Tidak di depan kedua orang anggota keluarga Hesa. Alle mendesah. Ia bisa melihat jelas cinta di mata yang memerah itu. Ia tahu Faisila mencintai kakak kembarnya begitu besar. Sama besar seperti cinta Alva pada gadis itu. Mereka berdua saling mencintai. Hatinya berdenyut nyeri. Satu sisi hatinya berteriak. Ia juga ingin dicintai sebesar itu. Dan oleh … gadis itu. Otaknya segera bekerja mengusir keinginan mustahil dalam hati terdalamnya. Gadis itu bukan untuknya. Gadis itu terlarang baginya. “ Dia memang yang terbaik. Dimana pun dia berada.” Lanjut Alle yang membuat Sila menatapnya. Sudut bibir pria diatas ranjang pasien itu terangkat, meskipun hanya sedikit. Sila masih bisa melihatnya. “ Di keluarga kami pun, dia yang terbaik.” Alle menatap manik hitam milik gadis yang mencintai kakak kembarnya tersebut. Jantungnya berdegup kencang. Ia memcoba mengalihkan tatapan, namun sialnya bola matanya malas mengikuti perintah dari otak. Bola matanya memilih tetap menyelami manik hitam yang juga sedang menatapnya. Semakin dalam ia menyelami manik itu, semakin sakit rasa hatinya kala melihat Alva di mata gadis itu. Sejak kapan hatinya berdenyut untuk gadis itu ? sejak kapan jantungnya mengetahui siapa pemilik hatinya ? apakah ini perasaan Alva ? ia mengedipkan mata hanya untuk memutus tatapan manik hitam itu. Ia takut semakin tenggelam, dan kehilangan logika. Ia merasakan Alva menguasai hatinya. Ia benci itu. Ia benci perasaan itu. “ Semua anak Mama memiliki kelebihan masing-masing. Semuanya terbaik di mata Mata, maupun Papa.” Sanggah Raya. Ia tidak ingin putranya memiliki perasaan rendah diri. Ia tahu sejak kecik, Alle benci jika seseorang membandingkan dirinya dengan Alva. Alva yang selalu juara, Alva yang baik, Alva yang selalu mengalah. Ia mendesah kala mengingat satu kesalahan besar yang sudah ia dan mantan suaminya lakukan kala mereka kecil. Membandingkan kedua buah hati mereka adalah kesalah terbesar yang seharusnya tidak pernah mereka lakukan. Hal yang sebelumnya tidak ia perhatikan ternyata begitu berpengaruh pada psikologi sang putra. “ Tentu saja … setiap orang memiliki kelebihan, dan kekurangan masing-masing. Kita hanya harus bisa menerima diri kita sepenuhnya.” Ucapan bijak seorang calon ibu yang membuat Raya mengangguk. “ Benar.” Tatapan mata Raya jatuh pada perut buncit Mila. “ Berapa usianya ?” Tanya wanita itu sambil mengusap perut buncit Mila dengan sebelah telapak tangan yang terasa hangat di perut Mila. Mila tersenyum. “ Delapan bulan.” Jawab Mila, lalu bibir wanita itu cemberut. “ Sebenarnya saya ingin lahiran dibantu Sila.” Sila langsung melotot kearah Mila. “ Sayangnya ia bukan Dokter kandungan. Saya suruh sekolah lagi biar jadi Dokter spesialis kandungan, tapi anak saya sudah mau keluar sebentar lagi.” Celotehan Mila akhirnya berhasil mencairkan suasana. Mereka tertawa bersama. “ Dan Dokter kandunganku malah seorang laki-laki.” Mila mendesah. Dokter itu masih kerabat jauh keluarga Alif, sang suami. Makanya sang mertua menyerahkan penanganan kehamilan Mila pada Dokter itu. “ Tidak apa-apa dibantu Dokter laki-laki. Yang penting kamu, dan bayi kamu sehat.” Jawab tante Raya membesarkan hati Mila. Mata Mila melebar ketika mengingat sesuatu. “ Eh Sil … Dokterku masih singgle lho. Udah cukup umur sih … tapi ganteng.” Mila mengangkat kedua alis matanya sembari tersenyum kearah sang sahabat yang sudah kembali memelototkan mata. Tanpa sadar sudut matanya menangkap reaksi tidak suka yang diperlihatkan bahasa tubuh Alle. Keningnya mengernyit. Benarkah yang baru saja ia lihat ? Apakah Alle juga menyukai Sila ? “ Trus kenapa ?” tanya Alle yang langsung membuat Mila menegakkan duduknya. Ada yang perlu ia yakinkan. “ Aku rasa mereka bisa jadi pasangan yang cocok. Dia pasti akan suka sama Si—” “ Bullsh*t !!” cukup keras suara berat itu terdengar hingga semua pandangan terarah ke atas ranjang. Dalam hati Mila tersenyum. Ia sudah mendapatkan kepastian pertanyaan dalam kepalanya. Sekarang yang harus ia lakukan hanyalah menyulut api, lalu melihat kemana asap bergerak. “ Maaf .. Ak-a-ku hanya mengingat sesuatu.” Kilah Alle saat melihat sorot tajam tiga orang yang seolah ingin bertanya apa maksud umpatannya. Dia sendiri tidak tahu kenapa begitu kesal saat mendengar Mila mulai menjodohkan Sila dengan Dokter kandungan wanita itu. Sepertinya ia sudah jadi gila sekarang. Kedua wanita itu harus segera pergi, atau dia tidak akan bisa mengontrol emosi, lalu justru memperlihatkan kepada mereka semua perasaan yang sedang ia sangkal. Alle menggeser tubuh ke samping. Tangannya meraba tombol di sisi kanan bawah, berniat menurunkan sandaran ranjang. Ia akan berpura-pura tidur supaya kedua wanita yang membuat ia kesal pergi. “ Sebentar lagi waktu makan siang, dan minum obat.” Celetuk Sila sembari berjalan ke arah kepala rajang. Gerakan tangan Alle terhenti. Sila menunduk, menyingkirkan tangan Alle, kemudian menekan tombol. Mengembalikan ke posisi bersandar seperti semula. Dalam hati Alle mengumpat. Ia lupa Sila seorang Dokter yang pasti akan mengutamakan aturan mengkonsumsi obat tepat waktu. Hela nafas panjang Sila terdengar. “ Selain kaki, apa masih ada keluhan lain yang kamu rasakan ?” tanya Sila. Matanya memperhatikan selang infus, kemudian bergerak menghentikan darah yang terlihat naik ke selang karena gerakan tangan Alle. Ia menekan-nekan selang infus supaya aliran darah kembali turun. Alle memperhatikan apa yang dilakukan Sila. Sementara di sofa, kedua wanita beda umur terlihat saling pandang dengan tatapan yang sama, lalu keduanya tersenyum tanpa suara. Mereka tidak ingin mengganggu kedua insan yang terlihat masih kaku namun sebenarnya memiliki ketertarikan yang sama. “ Tidak.” Kepala Alle menggeleng pelan. Matanya masih awas mengamati tangan Sila yang mendorong turun aliran darahnya. Dad*nya naik turun dengan cepat. Sial … batin Alle. Dia tidak bisa berkutik di dekat Sila. Lagi-lagi Alle menyalahkan kakak kembarnya yang ia pikir menurunkan perasaan pria itu padanya. “ Apa kamu bisa merawatku setelah keluar dari rumah sakit ?” Alle langsung menutup rapat mulut. Bola mata pria itu bergerak tak tentu arah. Lagi-lagi mulutnya bergerak tanpa perintah otak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD