Sila mengenakan kaca mata bacanya. Ia sedang duduk di ruang istirahat para Dokter. Beberapa teman Dokternya terlihat sibuk dengan Ipad di tangan mereka. Beberapa memang sedang menjalani internship di rumah sakit tempat ia bekerja. Sila mulai membuka selembar demi selembar catatan kesehatan para pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Ia perlu melihat perkembangan para pasien sebelum melakukan visit di tiap ruang rawat. Mila sudah menghubunginya, dan wanita berbadan dua itu akan datang satu jam lagi. Mereka berdua akan menggunjungi Alle setelah Sila selesai Visit pasien. Semalaman ia mempersiapkan perasaan, agar tidak seperti saat sehari sebelumnya ketika ia mendapati Alle di depan mata. Saat itu ia begitu terkejut hingga tidak bisa mengendalikan emosi yang tiba-tiba meluap-luap. Bahagia, karena sebagian besar hatinya ingin kembali wajah itu, tapi juga kesal karena mereka bukan orang yang sama. Ia bahkan tidak sanggup mengendalikan tubuhnya sendiri. Dia tidak tahu apa yang mereka berdua – Alle dan Mamanya—pikirkan tentang Sila dengan tingkahnya yang seperti itu. Hari ini Sila yakin ia akan bisa mengendalikan diri, dan emosi ketika bertemu kembali dengan kembaran Hesa.
Kening Sila mengernyit beberapa kali ketika membaca data perkembangan pasien di tangannya. Beberapa justru terlihat mengalami penurunan. Ia bergegas berdiri sembari membawa data para pasiennya. Berjalan tergesa-gesa, bahkan sedikit kasar ketika membuka, dan menutup kembali ruang istirahat Dokter. Beberapa rekan Dokter yang masih ada di dalam ruangan hanya saling pandang, lalu menggelengkan kepala. Tak biasanya Dokter Fai keluar ruangan tanpa pamit, bahkan sedikit membanting pintu.
“ Suster Mita, ayo kita visit sekarang.” Seorang Perawat yang terlihat masih sibuk mencatat sesuatu dalam sebuah buku itu mendongak, menatap sedikit bingung sang Dokter yang terlihat tidak tenang. Masih 10 menit lagi waktu visit yang di jadwalkan, dia bahkan belum mengingatkan Dokter muda tersebut. Tapi lihatlah, Dokter itu bahkan sudah berdiri di depannya, siap dengan tumpukan data pasien di tangan. Padahal seharusnya itu adalah pekerjaannya sebagai pendamping Dokter tersebut. Matanya mengerjap 2 kali sebelum akhirnya segera berdiri. Merasa tidak enak dengan Dokter Faisila.
“ Sekarang Dok ?” tanya Mita memastikan. Ia bahkan sempat melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Tentu saja hal itu dilihat oleh Sila. Ia mendesah kesal. Memang benar masih ada beberapa menit lagi jadwal visit, namun tidak ada yang salah saat bisa menyelesaikan perkerjaan lebih cepat kan ? apalagi ada beberapa pasien yang kondisinya menurun dilihat dari catatan yang baru saja ia baca. Ia ingin segera melihat pasien tersebut, dan memastikan kembali kondisi mereka. Dia tidak ingin terjadi hal buruk pada satu pun pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Sila hanya menatap tajam Mita, lalu berbalik untuk berjalan menuju lift. Mita meringis, kemudian dengan sigap berlari kecil menyamai langkah sang Dokter yang terlihat kesal padanya. Mita segera menekan tombol buka begitu mereka sampai di depan lift. Tidak membiarkan Dokter Faisila mendahuluinya. Sudah cukup ia melakukan satu kesalahan dengan mempertanyakan tindakan Dokter tersebut.
***
Ponsel dalam kantong jas dokter yang Sila pakai bergetar tepat setelah ia keluar dari ruang rawat pasien terakhir yang dikunjunjunginya. Tanpa melihat nama di pemanggil, Sila mengangkat ponsel. Ia sudah tahu pasti siapa yang menghubunginya.
“ Sudah sampai ?” tanya Sila kepada di penelepon. Suara berisik deru kendaraan terdengar.
“ Sudah nih … barusan parkirin mobil. Kamu sudah selesai visit ?” tanya Mila sembari berjalan menuju lobi rumah sakit. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan sosok yang Sila bilang bak pinang dibelah dua dengan Hesa. Kekasih Sila saat mereka masih memakai seragam putih abu-abu. Dari semalam ia bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Mendadak ia teringat semua kenangan bersama Hesa. Ia sudah menceritakan siapa Hesa pada sang suami. Meskipun Alif, sang suami belum pernah bertemu, ataupun mengenal siapa Hesa sebelumnya.
“ Hmm … barusan selesai.” Sila menjeda obrolan dengan Mila, untuk meminta suster Mita membawa data pasien ke ruang kerjanya. Sementara ia sendiri akan menemui Mila di lobi.
“ Tolong letakkan di meja saya ya Sus. Saya ada janji dengan teman.” Suster Mita mengangguk. Mengambil alih tumpukan file dari tangan Dokter Faisila. Dengan masih menempelkan ponsel di telinga kiri, Sila beranjak menjauhi sang Suster. Arah tujuan mereka berbeda. Sila berjalan cukup cepat menuju lobi. Tidak ingin membuat sang sahabat kebingungan mencarinya. Hentakan suara heels 7 cm yang ia pakai nyaring terdengar. Ia bersyukur suasana lobi cukup ramai hingga suara heels yang ia pakai tidak terlalu mengganggu orang lain. Wanita itu tersenyum kala melihat sang sahabat, Mila sedang menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Wanita berbadan dua dengan busana syar’i nya itu terlihat begitu cantik dan anggun.
“ Hei … “ Sila menyentuh pundak sang sahabat. Mila sedikit berjengkit karena kaget. Tangannya bergerak mengusap d**a, sementara bibirnya mengerucut.
“ Ngagetin aja sih … “ Mila menggerutu, sementara sang sahabat justru terkekeh melihat wajahnya yang bersungut-sungut. Kalau saja ia tidak sedang hamil, ingin rasanya mengomeli Dokter muda yang terlihat sangat cantik dengan jas dokternya. Sahabat yang sudah melalui perihnya kehidupan. Kehilangan 2 sosok terkasih dalam waktu yang singkat, namun masih bisa berdiri tegar. Ia sungguh salut melihat sosok yang sedang menertawainya itu. Seandainya ia yang berada di posisi Sila, belum tentu ia bisa setegar wanita tersebut. Bayangkan saja. Kedua orang tuanya bercerai karena sang Papa yang terlibat perselingkuhan dengan sahabatnya sendiri. Wanita yang di kenal baik oleh sang Mama. Lalu dalam jangka waktu yang tidak jauh ia kehilangan sang Mama, dan kekasihnya.
“ Mau makan dulu atau … ?” pertanyaan Sila membuyarkan lamunannya. Mila menghela nafas panjang.
“ Aku belum lapar. Tadi di jalan udah makan roti 2 bungkus.” Jelas Mila sambil meringis. Sila harus menyadari bahwa sang sahabat sedang berbadan dua. Tentu saja ia butuh makan lebih dibanding biasanya. Sila tersenyum, kemudian merangkulkan sebelah lengannya di bahu Mila.
“ Ibu hamil memang harus makan lebih banyak. Biar anaknya tumbuh sehat.” Bisik Sila di telinga sang sahabat. Mereka berjalan sambil berbincang ringan menuju lift.
“ Di lantai berapa ?” Mila menoleh ke samping. Mereka sedang berdiri di depan pintu lift. Menunggu pintu itu terbuka.
“ Sepuluh.” Jawab singkat Sila. Jantungnya sudah mulai berdetak lebih cepat. Padahal semalaman ia sudah mempersiapkan diri. Mensugesti dirinya bahwa pria yang akan ia temui hari ini hanya orang lain. Dia bukan Hesa, dan dia tidak memiliki pengaruh apapun terhadap dirinya. Juga hatinya. Namun kenyataannya, kedua telapak tangannya pun sudah mulai lembab. Tak lama lagi, pasti akan basah oleh keringat. Tengkuknya juga mulai meremang. Ia gerakkan leher ke kanan kiri untuk sedikit mengurangi rasa tegang yang tiba-tiba saja menyerangnya. Bunyi denting lift terbuka membuat detak jantungnya semakin cepat. Dengan menahan gejolak emosi yang mulai sulit ia kendalikan, Sila memaksakan kedua kaki melangkah memasuki kotak besi itu. Mila dengan sigap menekan angka 10 begitu pintu lift tertutup rapat.
“ Kok aku deg-deg an ya Sil.” Celoteh Mila. Ia menoleh, manatap sang sahabat yang hanya terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Kening Mila berkerut, kemudian memilih kembali meluruskan kepalanya. Mencoba memahami apa yang membuat Sila lebih tertarik menatap pintu besi tersebut. Di sana … hanya ada pantulan mereka berdua mengingat lift dalam keadaan kosong ketika mereka masuk. Tidak ada yang menarik, namun sang sahabat tidak juga mengalihkan tatapan matanya. Dari sudut mata, ia bisa melihat Sila yang diam tanpa bergerak sedikitpun. Ia bahkan tidak bisa melihat kedipan mata sang sahabat. Apa mungkin Sila sedang memikirkan Hesa ? pikir Mila. Bunyi denting pintu terbuka membuat Mila tersentak. Ia menoleh ke samping. Masih sama. Sahabatnya itu masih terdiam, namun kakinya tetap melangkah keluar kotak besi begitu pintu terbuka. Mila mengikuti dengan berbagai pertanyaan dalam kepala yang belum bisa ia ungkapkan. Sila menghentikan langkah sejenak hanya untuk mengambil oxygen sebanyak-banyaknya. Menghelanya berulang kali.
“ Kamu juga deg-deg an ya?” tanya Mila sembari menatap sang sahabat. Bibir tengah Sila terangkat. Mila selalu saja bisa mengetahui apa yang dia rasakan. Apa yang bisa dia sembunyikan dari mata sang sahabat yang menatap menelisik kearahnya. Ia menghela nafas.
“ Melihat dia seperti melihat Hesa.” Dan itu cukup menjelaskan perasaan Sila saat ini. Mila tentu paham. Ia mengusap lengan sang sahabat. Memberikan semangat pada wanita berjas putih tersebut. Lalu lengannya mengapit lengan Sila. Mengajak Sila kembali melanjutkan langkah.
Sila menganggukkan kepala kala beberapa perawat menyapa dengan sopan.
“ Aku jadi menyesal kenapa dulu nggak kuliah kedokteran saja seperti kamu.” Sila menoleh sejenak dengan kening mengernyit.
“ Kenapa emangnya ?” tanya Sila sembari tetap melangkah menuju kamar perawatan Alle.
“ Lihat kamu pake snelli begini … rasanya iri. Pasti sangat bangga bisa memakainya.” Mila akui, melihat Sila dengan jas dokter putih, memperlihatkan kebanggaan yang luar biasa sebagai seorang dokter. Seseorang yang berjasa menyelamatkan nyawa para pasien. Sungguh pekerjaan yang begitu mulia. Dulu sewaktu lulus SMA, ia tidak terpikir ingin menjadi seorang dokter. Tapi sekarang, melihat sang sahabat dengan jas putih, ia merasa iri. Iri ingin bisa mengenakan jas kebesaran itu juga. Mila mengelus perutnya.
“ Tapi udah terlambat. Biar entar anakku saja yang jadi Dokter.” Mila menambahkan. Sila tersenyum. Dalam hati mengaminkan agar kelak anak sang sahabat bisa menjadi dokter. Langkah Mila ikut terhenti ketika dirasakan sang sahabat menghentikan langkah. Sila menatap pintu di hadapannya, sebelum mengambil handsanitizer. Mila yang melihatnya langsung mengikuti sang sahabat. Sudah sampai … batin Mila seraya menatap nomer kamar di depannya. Sila mengetuk pintu dua kali. Tak lama pintu terbuka dari dalam memunculkan wajah Raya. Wanita paruh baya itu tampak terkejut mendapati siapa yang berada di depan pintu rawat inap sang putra. Ia tersenyum setelah bisa mengendalikan rasa terkejutnya, kemudian mempersilahkan masuk.
Diatas ranjang pasien, Alle sedang duduk bersandar sembari membaca sebuah buku. Kepala pria itu perlahan mendongak ketika mendengar langkah kaki mendekat. Mila membekap mulut dengan kedua tangannya. Mata wanita itu membola. Sila tahu ia akan menemukan reaksi keterkejutan itu dari sang sahabat. Sama seperti dirinya saat pertama melihat pria itu. Kaki Mila melangkah ke depan. Masih dengan penuh rasa terkejut, ia mengamati pria yang berada diatas ranjang dengan sebelah kaki tertutup gips. Matanya mulai memanas. Tidak sampai semenit, bulir bening sudah menetes. Ia seperti melihat sang sahabat masa SMA kembali. Alvaro Mahesa Permana. Pria di hadapannya terlihat sama seperti Hesa. Dia tidak bisa menemukan perbedaan kedua nya, bahkan setelah memperhatikannya cukup lama. Di mata Mila, Hesa, dan pria yang sedang menatap dengan bibir terkatup rapat itu terlihat sama. Benar-benar sama. Sekarang ia bisa memahami perasaan sang sahabat saat pertama kali melihat kembaran Hesa. Perasaan Sila pasti sangat kacau.
“ He-sa …” lirih Mila dengan tatapan lurus kearah pria diatas ranjang pasien.