Alle masih terus merutuki mulutnya yang bergerak tanpa persetujuan sang otak. Bisa-bisanya dia meminta Sila merawatnya setelah nanti keluar dari rumah sakit. Ia masih jelas mengingat wajah kaget Sila begitu ia menyatakan keinginan itu. Kedua mata bulat Dokter muda itu mengerjap berkali-kali, kemudian telunjuknya menunjuk dad* wanita itu sendiri. Seolah ingin menegasakan permintaan Alle tidak salah. Dan sialnya lagi, ia bahkan langsung mengangguk membenarkan. Ia mendesah. Menutup buku yang sedang ia baca. Lebih tepatnya ia pegang, karena meskipun matanya menghadap kearah buku, tapi pikirannya masih melayang pada kejadian 1 jam yang lalu.
Flash back
“ Dokter tidak keberatan dengan permintaan putra saya kan ?” Sila yang masih menatap tidak percaya sosok dihadapannya menoleh. Mama Alle, tante Raya mamandang dengan penuh harap. Ia sendiri bukan Dokter spesial ortopedi, dokter yang sebenarnya dibutuhkan oleh Alle. Dia hanya seorang Dokter umum. Matanya menangkap isyarat anggukan kepala Mila yang duduk di samping tante Raya.
“ Tapi saya hanya Dokter umum tante. Yang Alle butuhkan Dokter Ortopedi.” Sila mencoba menjelaskan. Raya memang meminta Sila, dan Mila memanggilnya tante supaya lebih akrab. Raya mengangguk. Ia paham maksud Sila. Akan tetapi ia melihat sang putra yang memiliki ketertarikan pada Dokter muda itu. Alle adalah anak satu-satunya yang masih bisa ia rengkuh. Ia ingin melihat putranya itu bahagia setelah hal berat yang sudah dia lalui. Itu sebabnya ia akan selalu mendukung Alle.
“ Tidak apa-apa Dok. Untuk kaki kanan Alle, tentu saja kami akan berkonsultasi dengan Dokter ortopedi. Saya rasa putra saya juga butuh bantuan dokter untuk luka-lukanya yang lain.” Kening Sila mengernyit bingung sementara Raya justru tersenyum simpul. Sila menoleh kembali ke arah Alle yang masih terdiam. Ia menatapnya cukup lama, sebelum akhirnya mengangguk. Mungkin ia bisa membantu menganti perban dan mengobati luka yang masih basah. Pikirnya.
Alle yang beberapa saat menahan nafas akhirnya bisa kembali mengembuskannya. Berbagai pikiran berkecamuk dalam otaknya yang tidak seberapa besar. Marah pada kelancangan mulutnya, namun juga takut kecewa jika Sila menolak permintaan tersebut.
“ Terima kasih.” Ucap pelan Alle yang masih bisa Sila tangkap. Sila menganguk. Matanya mengamati beberapa luka pada tubuh Alle yang masih terbalut kasa. Sila menelengkan kepala saat melihat perubahan wajah Alle. Wajah pria itu memerah. Tangannya bergerak maju, namun Alle sudah terlebih dulu melengos sebelum tangannya mendarat pada dahi pria itu. Tangan Sila menggantung. Ia hanya ingin mengecek suhu tubuh Alle, tapi sepertinya pria itu tidak suka.
“ Maaf ..” lirih Sila kemudian kembali menurunkan tangannya. Sila berdehen. Merasa tidak nyaman setelah apa yang terjadi.
“ Umm … kalau begitu kami permisi dulu.” Ia menoleh ke arah sang sahabat yang masih nyaman di tempat duduknya. Mulut wanita berbadan dua itu ternyata sudah sibuk mengunyah suguhan yang diberikan tante Raya. Melihat tatapan sang sahabat, Mila meringis. Ia mengacungkan kue ditangan yang belum habis.
“ Aku habisin ini bentar. Nggak sopan makan sambil jalan kan ?” Sila hanya mendengus kemudian berjalan untuk ikut duduk di sofa. Menunggu Mila menghabiskan makanannya.
“ Ini enak lho Dok. Ayo dimakan dulu.” Raya mendorong piring diatas meja mendekat ke depan Sila. Sila hanya tersenyum. Sebenarnya ia tidak ingin ngemil karena sebentar lagi ia dan Mila akan makan siang. Namun tangan Raya yang terus menyodorkan piring kearahnya memaksa tangannya bergerak mengambil satu potong.
“ Beneran enak kok Sil. Aku udah habis dua potong.” Ucap Mila di sela kunyahannya. Sila melirik sang sahabat yang acuh dengan kode yang ia berikan. Sila harus paham bahwa ia sedang hamil, dan perempuan hamil tidak boleh dilarang. Atau nanti bayinya akan terus mengeluarkan liur. Ia tidak mau itu. Tangan Mila sudah akan kembali mengambil satu potong kue diatas piring sebelum perkataan Sila membuatnya berhenti dengan bibir cemberut.
“ Mil … habis ini kita mau makan siang. Yakin perutmu tidak begah nantinya kalau terus makan ?” Mila berdecak kemudian menarik tangannya. Raya terkekeh.
“ Sebentar … tante bungkusin buat kamu. Entar bisa di makan di rumah. Tante takut bayi kamu nanti ileran.” Raya beranjak dari tempat duduk menuju ke meja tempat ia menyimpan beberapa makanan. Baik dari pemberian mereka yang datang menjenguk Alle, maupun yang ia beli sendiri. Ia kembali dengan 2 dus mika berisi kue yang sama, lalu memberikannya pada Mila dan Sila.
“ Ini buat kalian.” Sila mencoba menolak karena di rumahnya masih banyak camilan pemberian para tetangga, namun Raya memaksa agar ia tetap menderimanya. Sila mendesah. Berbeda dengan Sila, Mila justru tersenyum senang sembari mengucap banyak terima kasih sebelum mereka beranjak dan benar-benar meninggalkan ruang rawat Alle.
Flashback off
“ Ada apa ?” Raya berjalan mendekat kemudian duduk di tepi ranjang sang putra. Sejak Sila dan Mila pergi, sang putra lebih banyak melamun. Ia tahu buku ditangan sang putra bahkan tidak terbaca sama sekali. Pikiran anaknya itu melayang entah ke mana. Beberapa saat ia melihat tatapan kosong sang putra. Ada ketakutan terselip dalam hati kala melihat Alle seperti itu. Bayangan kejadian beberapa tahun sebelumnya melintas, dan itu membuatnya semakin takut.
“ Hah .. ?” Alle tersentak begitu merasakan ranjang bergerak dan mendapati sang Mama yang sudah duduk di sampingnya. Raya menatap sang putra. Tangannya bergerak mengusap punggung tangan Alle. Mencoba menenangkan sang putra.
“ Semuanya akan baik-baik saja. Jangan terlalu banyak berpikir. Ingat kesehatanmu.” Ujar Raya yang kemudian diangguki Alle. Alle menatap sang Mama, kemudian menghela nafas panjang.
“ Alva … “ ia masih menatap lekat sang Mama dengan pandangan sayu. “ Dia meninggalkan perasaan itu padaku.” Mata raya mengerjap mendengar apa yang Alle katakan. Ia tahu sewaktu Alva masih hidup, kedua putra kembarnya memang bisa saling merasakan perasaan masing-masing. Namun sekarang kondisi sudah berbeda. Alva sudah berpulang, jadi apa sebenarnya yang Alle maksud ?
“ Perasaan apa ?” Raya menelisik wajah sang putra yang sedikit memucat.
“ Sila Ma … perasaan ini milik Alva.” Alle memukul dad*nya sendiri. Ia tidak suka dengan apa yang sedang dia rasakan untuk Faisila. Ia tidak suka memiliki perasaan yang sama seperti yang Alva rasakan. Ia tidak ingin sama seperti Alva. Ia ingin menjadi dirinya sendiri. Tidak ingin terkungkung oleh bayang-bayang Alva dalam dirinya. Ia menyayangi Alva. Sangat. Tapi ia tidak ingin orang melihatnya seperti Alva. Dia benci itu. Benci ketika orang akan mulai membandingkannya dengan sang kakak kembar yang begitu sempurna di mata semua orang. Termasuk dimatanya sendiri.
“ Itu bukan perasaan Alva. Itu perasaan kamu sendiri.” Raya menarik turun tangan Alle yang masih memukul dad*nya. Ia tidak ingin sang putra kembali kehilangan jati dirinya sendiri. Alva adalah Alva, dan Alle adalah Alle. Mereka memang kembar, tapi mereka adalah dua orang yang berbeda. Kepala Alle menggeleng. Alle tidak bisa mempercayai perkataan sang Mama. Dia bukan orang yang mudah jatuh cinta. selama hidupnya dia hanya sekali merasakan jatuh cinta, dan wanita itu bukan Faisila. Wanita itu adalah teman masa kecil yang sudah begitu lama ia kenal sebelum akhirnya memiliki perasaan lebih.
“ Ini memang perasaan Alva Ma. Aku baru bertemu Sila tiga kali. tidak mungkin aku memiliki perasaan seperti ini.” Alle menatap nanar sang Mama. berharap sang Mama membenarkan asumsinya.
“ Perasaan … ingin bersama gadis itu.”