Mila meringis melihat tangan suaminya yang penuh bekas cakaran. Bahkan beberapa luka tampak mengeluarkan sedikit darah. Gara-gara mulut ember Sila dia menyadari seberingas apa dia di ruang bersalin. Alif menghela nafas melihat wajah sang istri yang penuh rasa bersalah. Mila memang mencakarnya habis-habisan ketika wanita itu merasakan sakitnya kontraksi. Sebagai seorang suami, ia bisa memahami apa yang sang istri lakukan adalah hal wajar. Ia butuh mengalihkan rasa sakit. Dan mungkin hanya dengan mencakarnya, wanita yang ia cintai dengan setulus hati itu bisa sedikit membagi rasa sakitnya. Dia tidak merasa keberatan sedikitpun. Ia justru senang karena pada akhirnya ia bisa menemani sang istri melewati sakitnya proses melahirkan. Dia yang melihat saja serasa ingin menangis, apalagi Mila yang merasakannya. Ia mengusap kepala sang istri.
“ Ini tidak seberapa dibanding rasa sakit yang kamu rasakan. Jangan merasa bersalah.” Ia menunjukkan luka di tangan dengan tersenyum menenangkan sang istri. Lihat saja, sang istri sudah mulai berkaca-kaca. Di samping ranjang, Sila menatap tidak enak ke arah Alif. Ia merasa bersalah setelah menertawai sang sahabat. Tapi ia benar-benar tidak bisa menahan tawa ketika membayangkan bagaimana Mila mencakar-cakar tangan sang suami.
“ Lif, aku obati dulu tanganmu. Meskipun lukanya mungkin tidak terlalu dalam, tapi lebih baik cepat diobati supaya tidak infeksi.” Suara berat membuat empat orang di ranjang menoleh. Dokter Banyu yang sudah berganti seragam menggunakan jas Dokternya nampak membawa kotak P3K. Alif menunduk untuk mencium kening sang istri sebelum beranjak menjauh. Sila menghela nafas, meraih sebelah tangan sang sahabat.
“ Sorry … tadi beneran nggak bisa nahan tawa. Ngebayangin kamu nyakar-nyakar Mas Alif.” Sila mempraktekkan gerakan mencakar hingga membuat Mila memberengut kesal. Sahabatnya itu belum tahu sesakit apa kontraksi. Coba saja kalau dia sudah pernah merasakan apa yang baru saja ia rasakan, wanita itu pasti tidak akan bisa menertawakannya. Bibirnya mencebik.
“ Akan aku ingat beneran Sil. Entar kalau kamu mau melahirkan, akan seperti apa tangan suamimu.” Lalu seringai muncul di bibir gadis itu. Ia sudah lupa dengan rasa sakit yang belum lama menderanya. Kedua alisnya terangkat tinggi, lalu menoleh ke arah pria yang duduk di sisi bawah ranjang.
“ Kamu sudah siap dicakar-cakar istri kamu saat dia melahirkan ?” tanya Mila yang membuat Alle membelalak, kemudian bergerak kikuk. Tidak terpikir wanita yang baru saja melahirkan itu akan menanyakan hal tersebut kepadanya. Dia yang hanya menjadi pendengar selama berada di dalam ruang rawat itu kemudian berdecak. Dengan sudut mata, ia melirik Sila yang terdiam setelah menggoda sang sahabat. Tak tahu harus menjawab seperti apa, pada akhirnya Alle hanya mengangkat kedua bahu.
Sila tidak tahu kenapa Mila bertanya kepada Alle seperti itu sementara bola mata wanita itu jelas-jelas melirik kearahnya. Ingin mengumpat tapi tidak mungkin ia lakukan di depan banyak orang. Kalau saja mereka hanya bertiga di dalam ruangan itu, tentu Mila tidak akan lolos dari mulut tajamnya. Mila berdehem saat suasana justru menjadi hening. Dua orang di dekatnya hanya terdiam. Sementara di sofa, sang suami sedang berbincang dengan orang tua, serta mertua. Dokter Banyu sudah menutup kembali kotak P3K setelah mengobati luka di tangan sang suami.
“ Sila … “ panggil pelan Mila. Sila memberhatikan sang sahabat.
“ Itu Dokter yang pengin aku kenalin sama kamu. Masih saudara jauh Mas Alif. Dia baru balik 2 tahun ini. Sebelumnya dia kerja di Yogya.” Jelas Mila pelan dengan pandangan masih lekat kearah dokter yang sudah menbantu proses melahirkan bayinya. Dari suami, juga sang mertua ia tahu Dokter Banyu adalah pria baik. Pria itu memilih mendedikasikan kemampuan yang ia miliki di daerah terpencil yang jauh dari kota selama bertahun-tahun. Karena kondisi sang Mama yang sudah sering sakit-sakitan, akhirnya pria itu memutuskan kembali ke Jakarta agar bisa menemani sang Mama. Mila pikir tidak ada salahnya mencoba menghubungkan Dokter Banyu dengan sang sahabat. Berharap Sila bisa membuka hati, dan mencoba hubungan baru. Sahabatnya itu masih belum bisa move on dari Hesa, padahal sudah 6 tahun Hesa pergi. Ia hanya berharap Sila akan bisa kembali bahagia seperti ketika masih bersama Hesa. Hanya saja, sekarang ia sedikit galau setelah bertemu dengan kembaran Hesa. Satu sisi hatinya mengatakan Alle akan bisa kembali membuat hati Sila menemukan cinta.
“ Aku udah kenal sama dia.” Jawaban tak terduga Sila membuat Mila menoleh. Ia menatap tak percaya sang sahabat.
“ Beneran … aku udah kenal.” Sila menegaskan kembali kalimat yang ia ucapkan. Alisnya terlipat ke tengah. “ Um … sekitar 2 bulan yang lalu.” Sila mengingat-ingat pertemuan pertamanya dengan pria yang ternyata berprofesi Dokter sama seperti dirinya.
“ Cuma baru tahu kalau ternyata dia Dokter.” Sila terkekeh melihat wajah Mila dengan mulut setengah terbuka. Jelas sekali Mila tidak menyangka bahwa mereka berdua sudah saling kenal bahkan sebelum ia mengenalkan mereka. Apalagi kalau wanita itu tahu bahwa Mama Dokter Banyu sudah berniat menjodohkan mereka. Entah akan seperti apa reaksi sang sahabat.
“ Trus ??” tanya Mila yang penasaran mendengar bahwa sang sahabat sudah mengenal sosok Dokter Banyu. Sila baru akan menjawab ketika bunyi derit pintu terdengar. Mereka secara reflek memalingkan pandangan kearah pintu. Seorang suster masuk dengan mendorong box bayi. Mata semua orang yang berada di dalam ruangan itu berbinar. Keempat orang tua yang sebelumnya masih berbincang di sofa bahkan sudah sama-sama beranjak untuk menyambut kedatangan cucu mereka. Begitupun dengan Alif. Senyum lebar pria itu memperlihatkan seberapa bahagianya ia setelah menjadi seorang ayah. Sang suster hanya menghentikan dorongan sebentar, sebelum kembali melangkah mendekati ranjang pasien. Ia mengulas senyum untuk semua orang. Sila yang sebelumnya duduk di samping Mila beranjak, memberikan ruang untuk sang suster mendekat.
Mila menerima bayi mungil yang diberikan padanya. Matanya berkaca-kaca meski senyum tak luntur dari bibirnya. Ia mengamati malaikat kecil yang baru saja ia lahirkan. Bayi mungil yang tambak begitu cantik. Kemua mata bayi itu masih tertutup. Ia mengeliat dari balik kain bedong, dan mulut kecilnya bergerak-gerak seolah ingin meminta dilepaskan dari belitan kain yang membuatnya tidak bebas bergerak.
“ Saatnya inisiasi dini Bu … “ sang suster menjelaskan. Sila yang paham, langsung meminta Alle beranjak. Ia tidak mungkin membiarkan Alle melihat Mila menyusui bayinya.
“ Kami keluar dulu deh Mil.” Pamit Sila. “ Dia cantik banget.” Sila tersenyum melihat sang bayi di dekapan Mila. Wanita itu mengangguk membenarkan. Bayinya memang cantik. Sila berjalan keluar bersama Alle, diikuti Dokter Banyu.
“ Mau kopi Dokter Fai ?” tanya Dokter Banyu setelah mereka bertiga keluar dari ruang rawat Mila. Memberi waktu Mila dan keluarganya. Sila menoleh kearah Alle.
“ Nggak apa-apa kan ngopi dulu ?” tanya wanita itu.
“ Sure.” Jawab singkat Alle. Sila berbalik ke arah Dokter Banyu, kemudian mengangguk.
***
“ Kok Mas Banyu nggak cerita kalau … kerja di sini ?” tanya Sila setelah mereka duduk di kafetaria rumah sakit. Di hadapan mereka masing-masing satu cangkir kopi yang masih mengepul. Menandakan cairan hitam pekat itu masih terlalu panas untuk langsung di minum. Dokter Banyu tersenyum.
“ Kamu nggak pernah tanya apa pekerjaan saya.” Jawabnya diplomatis. Sila menarik bibir tengahnya keatas. Memang benar dia tidak pernah bertanya, tapi pria itu bisa saja langsung bercerita tanpa ia minta. Apalagi ia memiliki profesi yang sama. Yah … meskipun ia hanya Dokter umum.
“ Nggak ada salahnya kan cerita ?. Jadi aneh aja Mas tahu kerjaanku, sedangkan aku nggak tahu.” Sila memberengut. Mereka memang belum lama saling kenal, tapi Sila sudah menganggap pria itu teman. Teman jogging lebih tepatnya.
Alle masih diam memperhatikan kedua orang yang terlihat sudah sangat akrab. Ia merasa seperti tidak terlihat di situ. Ia menghela nafas panjang. Rasanya sangat tidak nyaman berada bersama orang yang tidak menganggap keberadaannya. Ia mengalihkan pandangan ke luar kafetaria. Beberapa orang terlihat berjalan tergesa-gesa memasuki rumah sakit. Hari sudah mulai gelap. Matahari sudah tak lagi menampakkan sinar. Enam tahun yang lalu ia begitu akrab dengan bau rumah sakit. Selama hampir dua minggu ia berada di rumah sakit. Ia bahkan sampai muak dengan bau obat yang menusuk hidungnya. Makanan rumah sakit yang terasa hambar di lidah. Jerit tangis ketika sang terkasih pergi. Suara roda brankar yang di dorong cepat. Bunyi ‘bib’ dari peralatan rumah sakit. Infus yang melekat di tangan. Dan setelah semua, ia masih tetap kehilangan Kakak kembarnya.
“ Dia … siapa kamu ?”