Part 14. Ngambek

1420 Words
Sila menengadahkan kepala begitu keluar rumah sakit. Langit gelap. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun menyapa bumi yang sudah cukup lama merindukan kehadirannya. Ia mendesah, kemudian berjalan cepat menuju tempat parkir. Malam ini ia memiliki janji menemui Raya, Mama Hesa, juga Alle. Wanita paruh baya itu memohon agar ia mau menemui wanita itu. Sebenarnya, mereka sudah beberapa kali bertemu ketika ia mendatangi apartement Alle selepas pria itu pulang dari rumah sakit. Meski begitu ia masih merasa canggung. Berbeda dengan Alle. Pria itu begitu mudah mengakrabkan diri dengannya. Ia sendiri bingung. Tidak mengira akan semudah itu merasa nyaman bersama pria itu. Meski kadang percakapan mereka berakhir dengan perdebatan. Seperti ketika mereka pulang dari rumah sakit setelah menunggu proses kelahiran putri Mila. Gara-gara pertanyaan Dokter Banyu yang menanyakan status Alle padanya, mereka bahkan bertengkar di perjalanan pulang. Sila yang dengan enteng menjawab Alle adalah pasiennya membuat pria itu geram bukan kepalang. Kalau memang Sila hanya menganggap dirinya pasien, untuk apa ia sampai ikut menunggu Mila di rumah sakit. Pria yang kesal setengah mati itu tanpa berkata langsung berdiri dengan tongkat lalu berjalan tertatih meninggalkan Sila yang tertegun. Sila merutuki mulutnya sendiri. Ia bisa melihat kemarahan di wajah Alle yang berubah memerah sedetik setelah ia menjawab pertanyaan Dokter Banyu. Dokter Banyu menatap bingung punggung kokoh yang sudah beranjak menjauh. Lalu tatapannya beralih pada Dokter muda di hadapannya. Sila meminta maaf karena harus pergi mengejar Alle, dan meninggalkan Dokter Banyu sendirian. “ Tunggu Al … “ Sila meraih sebelah lengan Alle yang bebas. Alle menghempas tangan Sila. Ia melanjutkan langkah dengan susah payah. Dadanya bergemuruh. “ Maaf … “ Sila melangkah cepat, kemudian berhenti menghadang Alle. Pria itu menghembuskan nafas kasar. Dia sedang marah, dan tidak akan baik jika wanita itu ada di dekatnya. “ Aku minta maaf Al.” Sila menatap penuh permohonan maaf. Dia memang menyesal. Mulutnya bergerak tanpa menunggu sang otak untuk berpikir dengan baik. Alle masih menutup rapat kedua bibirnya, namun mata pria itu mulai membalas tatapannya. “ Kupikir … kita berteman.” Bibir itu terbuka. Sila segera mengangguk. Dia tahu dia sudah salah, dan tidak ingin semakin memperburuk keadaan. Mungkin mereka baru beberapa bulan bertemu, tapi Sila memang sudah menganggap Alle teman. Dia tidak tahu kenapa mulutnya begitu saja mengucap pasien pada Banyu. Padahal tentu saja Alle bukan sekedar pasien. Pria itu adik Hesa nya, dan ya dia juga sudah menganggap pria itu teman. Alle menghembuskan nafas, matanya beralih memperhatikan kondisi sekitar. Tidak ada yang menarik. Hanya beberapa kendaraan yang terlihat berlalu lalang, juga manusia-manusia yang berjalan keluar masuk rumah sakit. Parkiran motor yang terlihat penuh, juga mobil yang berjajar di depan rumah sakit karena tidak mendapatkan tempat parkir. Menunjukkan banyaknya orang yang membutuhkan bantuan pengobatan di rumah sakit itu. Ia menarik nafas panjang, lalu kembali berjalan. Sila mengambil paksa tongkat di tangan pria itu, kemudian kembali memapah tubuh kekar Alle. Tidak mempedulikan lirikan sinis yang pria itu berikan. “ Aku antar balik ke apartemen saja ya ?” tanya Sila setelah ia, dan Alle duduk dengan nyaman di dalam mobil. Tangan gadis itu sudah bergerak menyalakan mesin mobil. Mereka berdua memang tidak kembali ke ruang rawat Mila. Sila hanya menelepon sang sahabat dan mengatakan harus segera pulang. Ia berjanji akan kembali menjengguknya keesokan hari. Mila yang tahu bahwa Sila juga membuka praktek untuk orang-orang tak mampu mengira sang sahabat harus segera kembali ke klinik. Mila langsung mengiyakan saja. Padahal sebetulnya bukan itu alasan Sila yang sebenarnya. Melihat mood Alle yang sudah terjun bebas, membuatnya merasa bersalah. Ia tidak ingin Alle semakin kesal karena masih harus menungguinya ngobrol bersama Mila. Sila melirik Alle sembari memutar kemudi. Alle masih menatap lurus ke depan. Ia ingin kembali bertanya tapi merasa takut. Melihat Alle diam dengan wajah mengeras entah kenapa membuatnya gundah. Keluar dari gerbang rumah sakit Sila menoleh ke arah Alle. Alle menghela nafas panjang. Perasaannya tidak karuan. Marah … kesal … kecewa. “ Bukannya kamu minta aku ambil mobil ? takut si hijau masuk angin ?” sungut Alle. Pria itu melirik tajam wanita di sampingnya. Sementara Sila mengulum keras kedua bibir agar tawanya tidak meledak. Dia tahu Alle masih marah. Jelas sekali terlihat dari tatapan serta raut wajah pria itu. Tapi pilihan kata untuk si hijau yang terpaksa di parkir di luar garasi, dan kehujanan membuatnya ingin tertawa keras. Alle mengdengus, lalu melarikan wajah ke kaca samping. Ia bertambah kesal karena melihat Sila yang menahan tawa. Lebih baik melihat hilir mudik kendaraan bermotor di jalan, batin pria itu. Tak menggubris omongan Alle, Sila tetap melajukan mobil kearah apartemen Alle. Cara jalan pria itu masih timpang. Masih harus membawa tongkat, jadi dia akan menoleransi si mahal berada sedikit lebih lama di dalam garasinya. Karena suasana masih hening, Sila berinisiatif menyalakan radio. Sedikit suara berisik supaya mereka tidak merasa canggung. Ia baru menyadari satu perbedaan antara Hesa dan Alle. Alle tergolong mudah marah, sedang Hesa adalah pribadi yang bisa mengontrol emosi dengan cukup baik. Hesa juga bukan tipe yang sulit memaafkan, tapi Alle sepertinya berbeda. Agak sulit meminta maaf pada pria itu. Lihat saja, hampir 30 menit laki-laki itu masih betah menatap jalanan dari kaca samping. Sila membelokkan mobil ke dalam parkiran sebuah kedai nasi goreng. Alle merasa lehernya begitu pegal. Entah sudah berapa lama ia menoleh ke kiri karena tidak ingin melihat Sila. Hingga akhirnya Mobil menepi di depan sebuah kedai nasi goreng, kepalanya berputar untuk menatap Sila. Yang ditatap hanya tersenyum manis. Membut jantungnya terasa jumpalitan. “ Makan dulu ya … aku lapar.” Aku Sila lalu segera mematikan mesin mobil begitu si hijau terparkir cantik. Alle yang juga sudah merasa lapar, mengikuti Sila. Membuka sabuk pengaman, kemudian keluar dari mobil dengan tongkat di tangan. Ia malu jika harus di papah Sila kedalam kedai. Sila berjalan pelan di samping Alle. Mengimbangi langkah kaki pria itu. Ia tahu Alle tidak mau dipapah. Sila mendesah lega setelah duduk di kursi berhadapan dengan Alle. Ia sudah memesan 2 porsi nasi goreng komplit, dan 2 gelas teh hangat. Kedua tangan terlipat di atas meja. Ia memperhatikan Alle yang masih terlihat enggan bertemu tatap dengannya. “ Hei … aku kan sudah minta maaf. Janji besok aku revisi ke Dokter Banyu deh.” Sila nyengir sembari mengangkat tangan kanan menunjukkan jari telunjuk dan tengan bersamaan. Alle Berdecak. Enak saja bilang di revisi. Emang makalah di revisi ? “ Beneran Al … janji.” Ulang Sila melihat Alle yang justru menatap dengan sorot sinis. Dalam hati ia merutuk Alle yang gampang sekali ngambek. “ Aku tuh lagi kesel sama kamu. Nggak nyadar ?” Alle memajukan tubuhnya hingga hanya berjarak dua jengkal dari wajah Sila. Mata Sila mengerjap. Segera memundurkan tubuh. Tidak ingin Alle mendengar detak jantungnya yang tiba-tiba meningkat. Pria itu berbahaya untuk jantungnya. Alle membenarkan posisi duduk ketika pelayan datang membawa dua piring nasi goreng yang masih mengepul, dengan dua gelas besar teh hangat yang juga masih mengepulkan sedikit asap. Ia mengucapkan terima kasih sebelum mulai menyantap hidangannya. Sila mengikuti. Mereka berdua makan dengan khitmad tanpa memutus dengan obrolan. Hanya 15 menit mereka sudah menyelesaikan makanan mereka, kemudian keluar kedai. Kembali berjalan menuju tempat Sila memarkir mobil. Keheningan lagi-lagi menjadi teman perjalanan mereka berdua. Dering ponsel membuat Sila sedikit merasa lega. Paling tidak dia bisa ngobrol dengan siapapun yang menghubunginya dari pada terus menutup rapat mulut. Sang teman seperjalanan masih ogah membuka mulut. Ia sudah memasang handsfree ketika ponsel di samping kiri justru diambil tangan lain. Alle tanpa permisi menjawab panggilan pada ponselnya. Sila sebenarnya ingin mengomel, tapi ia masih harus berkonsentrasi pada jalanan. Akhirnya ia hanya berguman tak jelas sembari menekan pedal gas lebih dalam. “ Ya halo…” Hening. Alle tidak mendengar suara dari orang yang menghubungi ponsel Sila. Kening pria itu mengernyit sejenak. Sementara itu, di tempatnya Ulin menurunkan ponsel yang melekat di telinga hanya untuk melihat nomor siapa yang ia hubungi. Seharusnya suara Sila yang menyapa, tapi kenapa justru suara pria yang masuk ke dalam gendang telinganya. Matanya menyipit. Sudah benar. Yang dia hubungi benar nomor sang sahabat. Dengan ragu ia kembali membawa ponsel ke telinga. Ia berdehem. “ Maaf … Sila ??” “ Sila sedang nyetir. Tidak bisa mengangkat telepon." Ulin masih mencoba menerka siapa pria yang mengangkat ponsel Sila. Sejak kapan Sila dekat dengan seorang pria ? apa dia sudah bisa move on dari Hesa ? beberapa pertanyaan berputar dalam otaknya yang tidak begitu besar. “ Maaf… dengan siapa ya ?” Alle menoleh sebentar kearah Sila yang terlihat bersungut-sungut. Bibir gadis itu sudah maju 2 centi. Kali ini ingin rasanya Alle tertawa, tapi ia ingat sedang ngambek pada gadis itu. “ Allegra … “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD