Mata Sila membulat menatap sosok dengan seragam hijau-hijau yang sedang tersenyum kearahnya. Hanya sebentar, karena pria itu buru-buru masuk ke ruang bersalin. Mereka baru saja mendengar kabar dari perawat bahwa pembukaan Mila sudah lengkap, dan sudah siap untuk melahirkan. Tentu saja mereka merasa senang. Akhirnya setelah 5 jam lebih menunggu, Sila bisa sedikit tersenyum.
Tatapan mata Sila masih belum beralih dari pintu yang sudah tertutup. Di dalam sana sang sahabat sedang berjuang untuk melahirkan buah hatinya. Bulu kudunya berdiri membayangkan wajah kesakitan Mila. Ia menghembuskan nafas kasar. Berdoa agar proses melahirkan bisa berjalan lancar dan cepat. Ibu dan bayinya sehat semua. Kedua tangannya terjalin kuat di atas pangkuan. Tak jauh dari tempat Sila duduk. Kedua pasang orang tua Mila dan Alif terlihat tegang. Bibir mereka terus melantunkan doa agar semuanya berjalan lancar.
Suara ketukan besi berlapis karet yang beradu dengan porselin membuat mereka yang berada di depan ruang bersalin yang hening menoleh. Sila segera berdiri, kemudian berjalan menghampiri pria yang sedang melangkah pelan kearahnya dengan tongkat di tangan kanan. Sila memang memberi tahu keberadaan dirinya kepada Alle, supaya pria itu tidak datang ke rumahnya sebelum ia memberi kabar. Namun ternyata Alle justru menyusulnya ke rumah sakit setelah mengetahui bahwa ia sedang menunggu Mila yang hendak melahirkan. Sila mengambil alih tongkat di tangan Alle, kemudian membawa lengan kanan pria itu melingkari bahunya. Mereka berjalan mendekat orang tua Mila dan Alif. Di depan keempat orang tua itu Sila mengenalkan Alle, sebelum kemudian membawa Alle duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati. Mereka menunggu dalam diam. Beberapa kali desah berat Sila terdengar. Alle hanya melirik gadis di sebelahnya yang terlihat begitu tegang.
Lebih dari 30 menit berlalu, akhirnya mereka bisa mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang. Sila menoleh, menatap Alle dengan mata berbinar, dan senyum mengembang.
“ Sudah lahir.” Kata Sila yang ditanggapi Alle dengan mengangguk, serta tersenyum. Sila terlihat begitu lega dan bahagia. Gadis itu bergerak bangkit, kemudian berjalan cepat kearah 4 orang tua yang juga terlihat tak kalah bahagianya. Mereka berpelukan. Sang Ibu bahkan terlihat sudah meneteskan air mata. Air mata bahagia seorang Ibu yang menanti kehadiran sang cucu. Tak berapa lama, pintu ruang bersalin terbuka. Seorang perawat keluar dengan membawa seorang bayi dalam pelukan. Ia sempat berhenti di depan keluarga pasien untuk memberi selamat atas kelahiran bayi perempuan di tengah keluarga mereka. Bayi merah yang terlihat sangat cantik dengan rambut hitam lebat.
Alle berdiri dengan tongkat penyangga, lalu berjalan mendekati kelima orang yang sedang meluapkan kebahagiaan mereka setelah melihat bayi mungil yang baru saja Mila lahirkan.
“ Hey … “ Sila menoleh. Dia hampir saja melupakan keberadaan Alle.
“ Sorry … sampe lupa kalau ada kamu.” Ringisan Sila membuat Alle berdecak. Dia tahu Sila terlalu bahagia dengan kelahiran bayi mungil itu, setelah berjam-jam menunggu dengan perasaan tidak tenang. Jadi kali ini dia tidak akan memperpanjang masalah. Dia bisa memaklumi apa yang Sila lakukan. Mengabaikan keberadaannya. Pahit memang … tapi dia hanya perlu menelannya kan ?
Pintu ruang bersalin kembali terbuka sehingga semua tatapan beralih ke sana. Seorang Dokter bersama 2 perawat yang mendorong brankar keluar. Mila, yang di temani sang suami akan di pindahkan ke ruang rawat. Sang Dokter menghampiri keluarga Mila.
“ Selamat Tante … Om … bayi dan ibunya sehat.” Sang Dokter tersenyum ke arah ke empat orang tua yang tentu saja sedang mengembangkan senyum lebar mereka.
“ Terima kasih sudah membantu proses kelahiran cucu pertama Tante.” Mama Alif menepuk bahu Dokter pria di hadapannya yang kebetulan adalah salah satu kerabat jauh mereka. Sang Dokter mengangguk dengan senyum kecil. Kepala pria tersebut menoleh ke samping. Masih dengan senyum kecil tersungging di bibir, pria itu menyapa.
“ Halo Dokter Faisila. Apa kabar ?” kedua mata Sila mengerjap, sementara yang lain menatap Sila dan Dokter yang tak lain adalah Dokter Banyu secara bergantian. Tidak menyangka kedua orang tersebut sudah saling mengenal. Begitulah yang mereka para orang tua pikirkan. Sementara sepasang mata lainnya menatap Sila penuh tanda tanya.
“ Nggak nyangka ya kita ketemu di sini. Beberapa hari ini saya tidak sempat jogging karena banyak operasi.” Lanjut Banyu sembari masih memperhatikan Sila yang belum membuka mulut. Gadis itu masih menatap seolah tidak mempercayai apa yang dia lihat. Dokter Banyu tertawa, kemudian mengalihkan pandangan kembali ke empat orang tua yang sudah ia kenal.
“ Mari ke ruang perawatan Mila Om … Tante … “ keempat orang yang di maksud mengangguk kemudian berjalan beriringan mengikuti Dokter Banyu. Sila menoleh ke arah Alle. Mereka bertatapan selama beberapa detik, sebelum Sila mengedikkan kepala ke arah mereka yang sudah berjalan menjauh. Ia kembali mengambil tongkat di tangan Alle, lalu melingkarkan sebelah lengan pria itu ke bahunya. Alle mengikuti langkah Sila.
“ Teman di rumah sakit ?” tanya iseng Alle. Dalam hati ia menebak mereka bukan teman kerja di rumah sakit melihat Sila yang terkejut ketika bertemu dengan Dokter kandungan tersebut. Sila melirik pria yang sedang ia papah.
“ Bukan. Aku malah baru tahu kalau dia Dokter hari ini.” Sila sendiri kaget waktu pertama melihat pria yang ia kenal bernama Banyu dengan seragam hijau-hijau, kemudian masuk ke dalam ruang bersalin. Selama ini mereka tidak pernah berbincang masalah pekerjaan masing-masing ketika bertemu di taman, atau jogging bersama. Kegiatan yang rutin Sila lakukan setiap pagi untuk menjaga kesehatan, serta stamina tubuh. Mereka hanya membicarakan hal-hal umum seperti hobi, makanan kesukaan, tempat nongkrong favorit. Lagi pula mereka bertemu juga tidak pernah lama karena harus segera bersiap untuk melakukan aktivitas masing-masing. Dia tidak menyangka kalau pria itu ternyata seorang Dokter kandungan.
“ Oh … tidak … “ gumam Sila yang membuat Alle menunduk untuk mengamati gadis itu.
“ Ada apa ?” Sila baru saja mengingat perkataan sang sahabat yang ingin mengenalkan dia pada Dokter kandungannya, yang dia bilang masih single dan juga tampan. Satu lagi bukti bahwa dunia memang sempit. Orang yang ingin Mila kenalkan ternyata adalah orang yang sudah ia kenal.
“ Dia orang yang ingin Mila kenalkan padaku.” Sila mengedikkan kedua bahu. “Orang yang sama. Ibunya bahkan terang-terangan ingin menjodohkan kami.” Sila terkekeh sendiri saat mengingat wanita tua itu. Ibu Dokter Banyu yang begitu bersemangat menjodohkan anak sulungnya. Alle menatap gadis yang sedang terkekeh itu dengan urat-urat leher yang mulai menonjol. Umpatan sudah ada diujung lidah, namun dengan keras ia tahan.
***
Sila dan Alle masuk ke ruang rawat Mila setelah orang tua serta mertua wanita itu lebih dulu masuk bersama sang Dokter. Sila tersenyum melihat Alif yang sedang menyuapi sang istri. Ah … Sila merasa iri pada sahabat baiknya itu. Lihatlah Mila yang tampak begitu bahagia. Ia sudah resmi menjadi serang Ibu. Suaminya begitu setia mendampingi wanita itu. Ia mengerjap kala merasakan kedua matanya tiba-tiba memanas. Dia memang terlalu sensitif setiap kali melihat pasangan yang terlihat begitu bahagia. Selalu mengingatkannya pada sosok terindah yang telah pergi. Tangan Alle yang berada di bahu gadis itu mengusap pelan lengan Sila saat merasakan cengkeraman gadis itu di pinggangnya. Dia bisa merasakan emosi gadis itu. Sila menarik nafas panjang. Ia memasang senyum lebar, lalu mengajak Alle mendekati ranjang pasien. Para orang tua sudah berpindah ke sofa. Mereka sedang mendiskusikan nama yang cocok untuk cucu pertama mereka.
“ Selamat Mommy … “ ucap Sila sembari melepaskan lengan Alle dari bahunya, lalu mendekat untuk memeluk sang sahabat. Mila mengerucutkan mulutnya sesaat sebelum tersenyum lebar menyambut pelukan sang sahabat.
“ Terima kasih Aunty Sila.” Mila terkekeh. Ia sungguh merasa sangat lega, dan bahagia. Bayi kecilnya sudah lahir. Sila melepaskan pelukan. Matanya melirik tangan Alif. Ia mengulum bibir rapat-rapat. Tawanya sudah akan meledak. Mila yang melihat tingkah aneh sang sahabat mengernyit bingung. Ia menatap sang sahabat penuh tanya. Ketika mata Sila kembali menangkap bekas cakaran di punggung tangan, juga pergelangan tangan Alif, ia tak lagi bisa menahan tawa. Ruangan yang semula hening itu mendadak gaduh dengan tawa keras Sila. Ia bahkan sampai memegangi perut, membuat semua orang menatap bingung Dokter muda tersebut.
“ Kamu beneran menganiaya Mas Alif Mil ?”