“Papa tidak bisa memaksakan kehendak Papa padaku. Aku sudah dewasa. Aku tahu mana yang baik untukku. Dan dia –” dia menunjuk Arya dengan berapi-api. “Dia tidak baik untukku. Aku tidak mencintainya. Menyukainya pun tidak. Tidak sedikit pun. Sebaliknya aku muak padanya. Papa tahu kenapa?” dengan wajah merah padam karena gejolak amarah Sila menatap sang Papa. “Karena melihatnya sama seperti melihat wanita itu. dan aku BEN-CI.” Sila menekan kata terakhirnya. Sorot mata penuh amarah itu menusuk tepat ke jantung Bram. Pria itu menatap nanar sang putri yang lagi-lagi menegaskan dinding pemisah diantara dirinya dan sang Istri. Luka yang ia torehkan ke hati sang putri begitu dalam hingga meski sudah 10 tahun, luka itu masih belum hilang. Entah sampai kapan ia harus menunggu sampai bisa memiliki hub