Sila masih berada di klinik. Setelah pasien terakhir pulang, ia memutuskan untuk sedikit merapikan kliniknya. Dengan dibantu Anggra, ia memilah file dan merapikannya. Alle sudah pulang dari rumah sakit, dan secara berkala, dua hari sekali ia mengunjungi pria itu di apartemen nya. Menurut cerita sang Mama, Alle lebih memilih tinggal di apartement sejak kembali dari Jepang. Hanya sesekali ia menginap di rumah sang Mama. Terlalu banyak kenangan di rumah itu yang membuat Alle tidak bisa tenang. Pria itu terlalu terpukul atas kehilangan sang kakak kembar, setelah setahun sebelumnya kehilangan si bungsu keluarga Permana. Dari Raya pula, Sila tahu bahwa ternyata Alle tinggal di Jepang selama hampir 6 tahun. Tepat setelah Alva meninggal. Kondisi pria itu sendiri sudah jauh lebih baik. Gips di kaki sudah di lepas seminggu lalu, dan sekarang sudah mulai bisa berjalan meskipun masih harus menggunakan tongkat. Hubungannya dengan Alle juga sedikit lebih baik. Tidak sekaku saat pertama ia mengunjungi pria itu untuk mengganti kasa, dan mengobati luka-luka yang belum kering.
“ Dok … yang ini di taruh di mana ?” Anggra mengangkat satu tumpuk file yang sudah ia pisah sesuai instruki dari Sila. Sila mengedarkan pandangan ke ruangan yang tidak terlalu besar tersebut, kemudian menunjuk sebuah bookshell tak jauh dari dispenser air minum.
“ Taruh dalam lemari itu saja. Itu data pasien 6 bulan pertama. Jadi kemungkinan akan jarang kita butuhkan.” Anggra menggangguk kemudian berjalan menuju tempat yang dimaksud oleh Sila. Dia sudah bekerja membantu Sila sejak klinik di buka 9 bulan yang lalu. Ia yang menawarkan diri membantu Dokter muda yang membuatnya kagum. Seorang Dokter yang tidak memikirkan uang sama sekali. Justru sebaliknya, ia membeli obat serta membayar gajinya memakai uang pribadi. Sungguh luar biasa.
“ O..o…” Anggra bergumam ketika kepalanya melongok keluar klinik, dan mendapati sebuah mobil sport hitam terparkir di depan. Ia menoleh ke belakang. Sang Dokter masih sibuk dengan tumpukan file. Ia bahkan tidak menyadari deru suara mobil.
“ Dok …” panggil Anggra. Sila masih menunduk. Memilah-milah lembar kertas di lantai. Wanita itu sedang duduk bersila di atas lantai menghadap kertas-kertas.
“ Dokter Faisila … !!“ Panggil ulang Anggra sedikit lebih keras ketika dilihatnya sang Dokter hanya menaggapi dengan gumaman. “ Sepertinya ada tamu di depan.” Lanjut Anggra, kepalanya sudah kembali melongok ke luar klinik. Mobil hitam itu masih terparkir. Sang pemilik belum terlihat keluar. Sila beranjak dari duduknya, berjalan mendekati Anggra yang terlihat begitu penasaran melihat ke luar klinik.
“ Siapa ?” Tanya Sila setelah tinggal berjarak beberapa langkah dari tempat Sila berdiri. Kedua bahu asistennya itu terangkat tanpa membalik kepala yang masih fokus ke luar.
“ Mobilnya bagus banget sih Dok. Kayaknya nggak mungkin datang mau berobat gratis ke sini.” Kening Sila langsung berkerut. Ia ikut melongok ke luar seperti yang dilakukan sang asisten. Matanya mengerjap kala mengenali mobil yang terparkir di halaman kliniknya. Ia berdecak kesal. Apa yang dilakukan pria itu malam-malam begini di depan kliniknya ? ia menggeser bahu Anggra agar bisa keluar. Anggra menatap sang Dokter penuh rasa ingin tahu. Ingin tahu siapa pemilik mobil mewah tersebut. Ia terkikik kala melihat sang Dokter dengan sebelah tangan berada di pinggang, dan sebelah tangan mengetuk pintu kaca mobil cukup keras. Perlahan pintu kaca berwarna hitam itu terbuka. Sayangnya ia tidak bisa melihat sang pengemudi dengan jelas karena pintu kaca hanya terbuka setengah, dan terhalang tubuh sang Dokter.
Sila menggelengkan kepala begitu pintu kaca mobil mulai turun. Sementara di dalam mobil, Alle sudah bersiap mendengar apapun yang akan dilontarkan mulut pedas Faisila.
“ Kamu apa-apaan pakai nyetir mobil sendiri. Trus mau apa malam-malam ke sini ? kaki kamu sudah benar-benar sembuh ??” tanya Sila bertubi dengan wajah garang. Pria di dalam mobil itu hanya berdecak, kemudian menoleh ke kursi samping untuk mengambil satu plastik bening berisi beberapa roti. Ia mengangkatnya di depan Sila yang masih menunduk di depan kaca mobil.
“ Aku beli roti. Masih anget. Habis makan aku mau minta obat penghilang rasa nyeri.” Kening Sila berlipat-lipat.
“ Punyaku habis, dan aku lupa belum beli.” Jelas Alle. Sila mencebikkan bibirnya. Kemudian menggeser tubuh ketika Alle perlahan membuka pintu mobil. Ia mengambil uluran plastik dari tangan Alle, sementara pria itu mengambil tongkat kecil, kemudian perlahan menurunkan kaki kanan. Sila mengamati sambil menggelengkan kepala. Alle akhirnya bisa berdiri dengan sedikit susah payah. Ia menatap Sila dengan kedua alis terangkat tinggi, seolah ingin mengatakan … lihat, aku bisa kan ?. Sila mendengus kemudian berbalik untuk berjalan kembali masuk ke dalam klinik. Alle mengikuti Sila memasuki klinik. Pertama kali ia datang ke klinik Sila. Ia mengedarkan mata, dan mendapati seorang gadis yang sedang duduk diantara kertas-kertas, tersenyum kearahnya. Ia hanya membalas dengan senyum kecil.
“ Sorry tempatnya berantakan.” Sila menggeser sebuah kursi ke depan meja yang biasa dipakai Anggra untuk mendaftar para pasien. Alle duduk setelah Sila mengedikkan dagu kearah kursi. Sila beranjak mengambil dua botol air mineral kemudian duduk di kursi seberang Alle. Ia letakkan satu botol air mineral ke hadapan Alle, sementara satu botol lagi langsung ia buka, dan teguk beberapa kali. Ia mengambil satu bungkus roti.
“ Ang … nih dapat roti dari Mas Alle.” Sila menoleh ke belakang, ke arah Anggra yang masih sibuk dengan kegiatan memilah data para pasien. Anggra beranjak, lalu berjalan mendekati Sila. Menerima uluran Roti dari tangan sang Dokter.
“ Makasih Mas .. “ ucap Anggra dengan senyum manis. Dalam hati ia membatin … cakep amat sih Mas nya. Sila yang melihat Anggra tersenyum malu terkekeh. Ia melirik Alle yang mengerutkan kening. Anggra berbalik untuk kembali ke tempatnya semula dengan bibir terkulum menahan senyum.
“ Kamu beneran ke sini malam-malam karena kehabisan antibiotik ?” Sila memajukan tubuh, kedua matanya memicing kearah pria yang mendengus mendengar pertanyaannya.
“ Emangnya ngapain aku repot-repot ke sini … malam-malam begini kalau nggak karena urgent ??” ia melengos, mencari pemandangan lain selain wajah Dokter muda di hadapannya. Mengamati ruang klinik Sila lebih menyenangkan dibanding melihat wajah penuh kecurigaan Sila. Ia kesal. Kesal karena sepertinya Sila tahu bukan itu alasan utama ia datang malam-malam, menempuh perjalanan hampir satu jam dengan kondisi kaki yang masih sakit. Ia kembali menoleh ketika terdengar suara derit kursi. Sila mendorong ke belakang kursi yang ia duduki, kemudian berlalu masuk ke dalam. Alle hanya mengamati hingga punggung Sila tak lagi terlihat setelah memasuki sebuah ruangan yang ia tebak merupakan ruang pemeriksaan pasien. Tak lama, gadis itu kembali terlihat dengan plastik kecil di tangan.
“ Nih … diminum 3x sehari. Ini emang obat generik, tapi bagus kok.” Kata Sila sembari meletakkan plastik yang ternyata berisi obat yang Alle minta. Sila kembali duduk di kursi semula, lalu bergerak mengambil satu bungkus roti.
“ Emang udah nggak sakit buat nyetir ?” Tanya Sila sembari membuka bungkus roti. Bau harum seketika memenuhi indra penciumannya. Alle mengedikkan kedua bahu. Tentu saja masih sakit. Ia bahkan sampai meringis sepanjang jalan tiap harus menggunakan kaki kanan untuk menekan pedal. Tapi tidak mungkin ia memberi tahu Sila, atau wanita itu akan mengomelinya sepanjang jalan kenangan. Satu bulan dekat dengan wanita itu membuat Alle tahu apa yang membuat mendiang kakak kembarnya begitu mencintai Sila. Gadis itu begitu apa adanya. Dia bukan tipe gadis yang selalu berusaha terlihat menawan, anggun di depan orang lain. Gadis itu juga tulus, serta berdedikasi tinggi pada profesinya. Alle merasa kecil di depan seorang Sila. Sila memang sangat pantas bersama Alva. Alva, pria yang akan bisa mengimbangi Sila dengan kecerdasannya, juga kesabaran yang pria itu miliki. Ia mendesah kala kembali mengingat segala kelebihan yang dimiliki sang kakak kembar yang sudah berpulang. Sangat di sayangkan. Ia juga semakin memahami sosok Sila. Sebesar apa wanita itu mencintai almarhum Alva.
“ Apa iya sudah nggak sakit ?” Sila masih penasaran. Dari hasil rontgen terakhir, retak pada kaki kanan pria itu masih terlihat meskipun sedikit. Gips pada kaki kanan Alle memang sudah dilepas, dan sekarang hanya menggunakan perban elastis. Alle tidak menanggapi pertanyaan yang Sila ajukan. Ia terlihat sibuk mengunyah roti di tangannya, sambil sesekali meneguk air mineral dari dalam botol. Sila berdecak mengamati pria dihadapannya. Berbeda sekali dengan Hesa nya. Hesa tidak akan mengacuhkannya seperti yang Alle lakukan. Hesa akan selalu memberikan perhatian penuh saat bersamanya. Sila menarik nafas dalam. Matanya tiba-tiba memanas. Tatapannya lurus kearah Alle, namun yang ada dalam pikirannya adalah Hesa … Alvaro Mahesa. Seandainya Hesa masih ada, mungkin saat ini yang sedang duduk dan makan roti bersamanya adalah pria itu, bukan adik kembarnya. Sila mengerjapkan mata saat terasa semakin memanas. Ia mengatur nafas berulang kali kala merasakan gejolak emosi.
Alle melirik wanita dihadapannya. Perubahan raut wajah dari kesal menjadi sendu membuat keningnya mengernyit dalam. Entah apa yang menjadi pikiran wanita itu hingga tampak begitu sedih. Pikirannya berkecamuk saat memikirkan kemungkinan wanita di hadapannya itu sedang memikirkan mendiang kakaknya. Satu sudut hatinya terasa tercubit.
“ Aku pulang.” Kata Alle. Ia tak tahan melihat wanita itu, dengan pemikiran liar dalam otaknya. Alle beranjak dari duduknya. Ia mengambil plastik berisi obat pemberian Sila, lalu berjalan perlahan. Sila berdiri, mengikuti Alle yang berjalan tertatih.
Alle sudah memegang handle pintu mobil ketika mendengar Sila berucap.
“ Aku antar, biar aku yang nyetir.” Wanita itu langsung mengambil kunci dari tangan Alle, dan membuka pintu pengemudi.