Save Me 3

1512 Words
Hari ulang tahun Republik Indonesia kali ini aku kedatangan tamu, yaitu kakak tingkat di kampus. Hari ini beliau bermalam di rumahku, berhubung aku adalah anggota remaja masjid sekaligus karang taruna di desa, akhirnya aku ajak beliau ke kajian. Sepulangnya, Teh Wati, kakak tingkatku berkata, "Say, kita foto dulu, yuk, buat kenangan." Aku beberapa kali memotret dirinya yang terlihat senang dengan koleksi boneka-boneka yang menghiasi kamarku. "Sini gantian, Teteh yang fotoin kamu." Teh Wati meminta ponsel. "Nggak usah, Teh." "Udah sini." Beliau memaksa untuk mengambil gambar diriku. Akhirnya, momen kedekatan aku dengan Teh Wati terabadikan. Setelah beliau menginap, aku berniat mengantarkan sampai jalan raya. Namun, hujan deras menerjang kami di tengah jalan. "Say, hujannya deras banget. Minggir dulu aja, ya," ujar beliau. Akhirnya, kami pun berteduh di salah satu bangunan kosong. Semakin lama, hujan ini bukannya reda, malah bertambah deras. "Ya Allah dingin banget," lirihku. "Dingin?" katanya. "Iya, Teh, dingin banget. Padahal, dulu aku suka banget hujan-hujanan, lho. Nggak tahu sekarang itu kayak nggak buat sama dingin." "Kamu kurus, sih! Jadi nggak ada lemak yang melindungi tubuh kamu. Makanya jangan kurus-kurus badan, tuh." Ucapan beliau membuatku sedikit terpaku. Sungguh, aku pun tak mau memiliki badan kurus. Padahal, makan sudah tiga kali sehari, tak pernah kehabisan uang jajan dan semua yang aku mau orang tua pun selalu memenuhi. Lantas, apakah kekurusan ini adalah sebuah kesengajaan? Aku menyadari, semakin hari berat badanku semakin menurun, yang semula nyaris 50kg. Sekarang, 45 saja tidak ada. Tapi, semua itu tak mempengaruhi kegiatan. Katanya, badanku kurus, tapi anehnya pipiku selalu chubby kala itu. Jadi, aku tidak terlihat seperti tengkorak hidup. Kerena... sejak kapan ada tengkorak itu chubby?, *** Esok hari, aku menjalani aktivitas kuliah seperti biasanya. Statusku sebagai mahasiswi kebidanan di sini belum genap satu semester. Jadi terpaksa, seragam hitam putihlah yang sementara kupakai sebelum mendapatkan seragam kebidanan yang sesungguhnya. Setiap kali merasa lelah saat di kampus, salah satu cara untuk melepaskan penat atau hanya sekadar menunggu dosen mata kuliah adalah dengan istirahat sejenak di indekos teman yang letaknya tepat di belakang gedung kampus. Kala itu, aku mendapat kabar bahwa dosen tidak bisa datang. Segera mungkin aku pun pulang bersama teman lain yang juga menumpang istirahat. "Kamu mau langsung pulang, Say?" tanya temanku. "Iya, nih, kebetulan ini juga sore Jumat, aku harus udah sampai di rumah sebelum magrib," ujarku. "Ada apa emangnya?" "Aku pengin ke kuburan nenek." Belum genap seratus hari, aku baru saja merasakan kehilangan. Satu penyemangatku dalam hidup kini sudah berada di sisi Allah, yaitu Nenek. Bandung, 31 Juli 2014, tepat selepas azan magrib Kamis malamz Jum'at, nenek menghembuskan napas terakhir. Padahal, tanggal 4 Agustus kala itu, kali pertamanys aku menuntut ilmu untuk menjadi seorang bidan muda. Jika menceritakan bagaimana peristiwa berpisahnya aku dengan nenek, sangat menyedihkan! Sampai saat ini aku pun tidak percaya bahwa beliau sudah tiada. *** Sampai di kuburan, aku membersihkan makam. Saat itu tiba-tiba saja terlintas bayanganku beberapa bulan lalu, yaitu ketika beliau mengetahui aku akan kuliah di kebidanan. Pagi itu aku bersiap-siap memakai sepatu. Bukan untuk sekolah tetapi karena akan berkunjung ke kampus kebidanan yang akan menjadi tempatku kuliah. Pagi itu nenek bertanya, "Mau ke sekolah?" Aku tersenyum dan Mama menjawab pertanyaan nenek. "Enggak, Mak. Septi mau pergi ke kampus." "Kampus? Kampus apa? Ngapain?" "Septi udah selesai sekolahnya, nanti mau kuliah. Mau daftar kuliah di kebidnan. Nanti Septi mau jadi bidan, Mak." Mendengar penjelasan Mama, wajah sumringah jelas terlihat pada diri Nenek. "Ya udah, nanti kalau Embok sakit, diperiksanya ya, sama Septi aja, ya.." Bayanganku terberai ketika air mata menetes di atas punggung tanganku. Aku benar-benar sedih. Sambil menatap tempat peristirahatan terakhir Nenek, aku berdoa supaya beliau diberikan tempat ternyaman di sisi Allah. Aku menangis karena masih ingat bayangan saat Nenek begktu bangga ketika mengetahui bahwa aku adalah calon bidan. Tetapi takdir Allah berkata lain. Belum sempat aku belajar ilmu kebidanan. Allah lebih dulu memanggil nenekku.  Kehilangan beliau adalah hal paling sedih yang pernah aku rasakan dalam hidup kala itu. Kini, satu Penyemangat-ku telah pergi dan tak akan pernah kembali. *** Keesokan harinya tak ada jadwal kuliah. Jadi dari lagi hingga siang nanti aku libur. Sebentar lagi akan tiba musim hujan, karena hari libur, aku pun meminta Mama untuk mencari orang agar membetulkan sumber kobocoran yang ada di kamar. Lalu, setelah itu .ama meminta kakak sepupuku dan satu temannya untuk membenarkan genting yang pecah. Aku terus mengikuti dan memperhatikan aktivitas mereka. Tetapi, melihat tangga berdiri tegak tepat di hadapanku, membuat kaki ini terasa geli ingin segera menaikinya. Dulu, aku adalah gadis yang amat tomboi, jangankan menaiki anak tangga, memanjat pohon yang tinggi saja aku mampu! "Gimana, udah ketemu belum yang bocornya?" teriakku dari bawah. Tetapi mereka tak menjawab. Bahkan, tidak ada suara yang menandakan bahwa mereka sedang membetulkan sumber kebocoran. Karena penasaran, akhirnya aku nekad. "Ah, aku naik saja!" lirihku. Nyaris sampai di ujung anak tangga, aku bisa melihat mereka sedang makan buah mangga dan jambu. "Woy, pantesan... aku nanya diem aja. Malah enak-enakan makan. Bukannya benerin genteng," protesku. Mereka hanya menunjukan ekspresi wajah yang menggelikan, bermaksud membuatku iri. Kakak sepupuku menjulurkan lidahnya dan menggoyangkan kepala. "Ih amit-amit, nyebelin banget," gumamku. "Mamah, ini Ang Eko malah makan jambu. Nggak benerin genteng," ujarku dengan nada tinggi dengan tetap berdiri di atas anak tangga. Dari bawah, Mama berteriak, "Ya udah biarin aja, yang penting nanti dibenerin." Mendengar ucapan Mama, keningku mengerut, saat melihat ke arah kakak sepupu, ia kembali menjulurlkan lidah dan matanya melotot sambil menggoyangkan kepala. "Ih... ngeselin! Ya udah aku juga mau naik." Akhirnya aku pun berhasil naik ke atap rumah. Saat ini aku merasa kembali ke masa sebelum berhijrah. Tak lama kemudian, terdengar arahan dari bawah. Mama meminta Ang Eko untuk mengawasi aku. Karena bagaimana pun, sudah lama aku tidak melakukan aktivitas seperti ini. Terlebih, aku menggunakan gamis dan kerudung lebar, sungguh ribet! *** Tak terasa, aku sudah menjalani masa kuliah sampai di akhir semester satu. Ujian sudah berjalan dengan lancar, selanjutnya adalah UHAP, atau bisa dikatakan ujian praktik kebidanan di sekitar kampus saja. Aku merasakan, memang semakin hari berat badanku terus menurun. Aku hanya berpikir, ini akibat kegiatan yang terlalu padat. Rasanya bahagia, aku sudah berhasil melewati semester satu dengan baik. Walau ada beberapa kendala dan ujian di masa hijrah, tetapi hal itu tak membuatku berkecil hati atau mengurangi semangatku untuk meraih gelar ahli madya kebidanan di usia 20 tahun nanti. Sekarang usiaku baru saja genap 18 tahun, aku hanya ingin fokus pada satu tujuan yaitu wisuda tepat waktu, bekerja dan memeriksakan keadaanku dari uang hasil kerja sendiri. Masih selalu terngiang saran dokter, agar aku melakukan CT Scan. Sejujurnya aku ingin, tapi, aku tak mau terus membebankan orang tua. Jajan dan kepentingan kuliahku setiap minggu saja setara cicilan motor satu bulan, belum lagi biaya kuliah. Aku tak mau memberi kabar buruk mengenai keadaanku, meski ini belum pasti. Pulang kuliah kali ini, aku menerjang hujan yang amat deras. Rasanya sangat dingin, tetapi hal itu tak membuatku berhenti mengendarai motor. Karena, aku sudah menggunakam mantel anti air. Aku tak percaya, ternyata, dulu aku sekuat itu, ya, mengendarai motor dengan jarak yang begitu jauh dengan menerjang hujan yang teramat deras. Kala itu, aku melamun di sepanjang jalan. "Ya Allah, beginilah Papa di Jakarta. Ternyata, inilah rasanya menerjang hujan deras." Aku menangis di balik helm merah muda yang kupakai. Dulu, aku sering mendengar Papa berkabar kepada Mama, bahwa beliau terjebak banjir di Jakarta, hujan deras bahkan pernah tak bisa pulang ke Depok karena harus menunggu air surut. "Ya Allah, seberat itu pengorbananmu Papa. Maafkan aku yang tak pernah bersyukur dan menghargai jerih payahmu selama ini," teriaku masih dalam perjalanan. Sampainya di rumah, aku segera melepas semua mantel, lalu masuk. "Kehujanan enggak?" tanya Mama, panik. "Enggak, Ma. Kan, pakai jas hujan. Tapi bagian bawah rok sama kaus kaki basah kuyup. Badan lembab semua." "Ya udah cepetan ganti baju. Sekalian mandi." Aku pun menuruti perintah Mama. Usai mandi, aku berbaring, memainkan ponsel dan berselancar di f*******:. Aku mengetik dalam mesin pencarian. ‘Kenapa saya merasa seperti ada cairan di dalam kepala?’ Belum sempat menampilkan hasil, aku merasa seperti ada yang mengalir dari hidung. Telapak tangan ini refleks membersihkan hidung karena terasa geli. Sungguh terkejut ketika melihat cairan di tangan. "Ya Allah. Darah?" lirihku. Aku panik, ingin keluar mencari tissu, tetapi rasanya tidak mungkin dengan keadaan hidung penuh darah seperti ini. Aku pun menunduk, tetapi, darah yang kupikir adalah mimisan ini menetes mengotori lantai. Di tempat baju kotor, terlihat ada kaus kaki. Terpaksa, aku pun membersihkan darah ini dengan benda tersebut. "Ya Allah. Kenapa aku sering banget mimisan?" pertanyaan itu yang selalu terbesit dalam hati. Seketika air mata pun menetes, aku takut jika terjadi hal buruk pada diri ini. Rasanya, aku ingin memberitahu keluarga, tetapi tak tega. Aku tak ingin melihat mereka sedih. "Aku yakin, Engkau Maha Baik Ya Allah." Hati ini meyakinkan. *** Setelah menjalani kesejarian sebagai mahasiswi kebidanan, tak terasa, akhirnya aku mampu melewati itu semua dengan penuh juangan. Aku tak percaya telah sampai juga di akhir semester satu. Tetapi aku sadar, ini bukanlah akhir perjuanganku. Justru ini adalah permulaan. Di depan, pasti ada banyak ujian yang harus aku hadapi sebelum akhirnya meraih gelar mulia yaitu Ahli Madya Kebidanan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD